Malu Kepada Allah – Kitab-ush-Shidq

JALAN CINTA MENUJU ALLAH
 
Dari naskah ath-Tharīqu ilā Allāh atau Kitāb ash-Shidq
 
Oleh: Abū Sa‘īd al-Kharrāz
Penerbit: Pustaka Shufi

Rangkaian Pos: Pintu-pintu Kebenaran - Kitab-ush-Shidq

BAGIAN DELAPAN

MALU KEPADA ALLAH

 

Diriwayatkan dari Nabi Muḥammad s.a.w. bahwasanya beliau bersabda:

الْحَيَاءُ مِنَ الإِيْمَانِ

Malu adalah sebagian dari iman.” (H.R. Muslim dan at-Tirmidzī).

الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ

Malu adalah segala kebaikan.” (H.R. Muslim dan Abū Dāūd).

اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهَ حَقَّ الْحَيَاءِ مَنِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَ مَا حَوَى وَ الْبَطَنَ وَ مَا وَعَى وَلْيَذْكُرِ الْمَقَابِرَ وَ الْبَلَى وَ مَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا

Malu kepada Allah s.w.t. adalah sebenar-benarnya rasa malu. Barang siapa yang mengaku malu hanya kepada Allah semata, hendaklah ia memelihara kepala dan fikirannya, perut dan makanannya, serta kubur dan siksanya. Dan barang siapa yang menginginkan. Akhirat, hendaklah ia meninggalkan segala keindahan dunia.

اِسْتَحِ مِنَ اللهِ كَمَا تَسْتَحِيْ مِنْ رَجُلٍ صَالِحٍ مِنْ قَوْمِكَ

Malulah kepada Allah, sebagaimana kamu malu kepada orang shāliḥ dari kaummu.” (301)

Diceritakan, suatu waktu pernah ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasūlullāh: “Wahai, Rasūlullāh! Di tempat mana kami harus menutup aurat dan di tempat mana tidak perlu menutupnya?” “Tutup auratmu, kecuali di hadapan istri dan hamba wanitamu.” jawab Rasūlullāh: “Jika kita duduk sendirian?” buru si sahabat: “Allah-lah Dzāt yang lebih patut untuk kamu malu kepada-Nya.” jawab Rasūl.

Karena itu, Sayyidinā Abū Bakar r.a. senantiasa menutup kepalanya setiap kali masuk ke kamar mandi: “Aku malu kepada Tuhanku,” demikian katanya.

Semua ini menunjukkan bahwa Allah s.w.t. adalah meliputi semua manusia. Dan karena itu, orang yang benar-benar merasa malu terhadap Allah s.w.t., akan percaya dan yakin bahwa Dia senantiasa melihat dan menelitinya dalam segala kondisi.

T: “Faktor apa saja yang bisa menumbuhkan rasa malu kepada Allah s.w.t.?”

J: “Ada tiga hal yang mampu menimbulkan sifat malu. Pertama, senantiasa mengingat banyaknya kebaikan dan anugerah dari Allah s.w.t., meski tidak banyak disyukuri, dan bahkan banyak perbuatan jahat yang dilakukan kepada-Nya. Kedua, menyadari bahwa Allah s.w.t. selalu mengawasi segala gerak-gerik hamba-Nya. Ketiga, selalu mengingat bahwa kelak akan ditanya tentang segala perbuatan di dunia di hadapan-Nya.

T: “Faktor apa yang bisa mempertahankan dan mengukuhkan sifat malu?”
J: “Faktornya adalah rasa takut kepada Allah s.w.t., sehingga jika muncul hawa keinginan liar, maka hati akan menjadi gemetar dan merasa khawatir kalau hal itu diketahui Allah s.w.t. Karena itu, langgengkanlah sifat malu kepada Allah s.w.t., sebab apabila ia sudah tertanam dalam hati, niscaya akan terus bertambah dari waktu ke waktu.” (312).

T: “Apa faktor yang bisa menimbulkan sifat malu?”

J: “Rasa bimbang bahwa Allah s.w.t. akan meninggalkan, mengutuk, dan tidak meridai segala amalan kita.”

T: “Faktor apa yang bisa mempengaruhi hati seorang hamba untuk mau menyimpan sifat malu kepada Allah s.w.t.?”

J: “Manakala ia bisa menganggap agung segala perkara yang dilihatnya, sehingga hatinya akan langsung membesarkan Allah s.w.t. dan takut serta malu kepada-Nya.”

T: “Apa indikasi telah tertanamnya rasa takut dalam hati seorang ‘Ārif billāh?”

J: “Jika ia berpandangan bahwa seekor ular sama bernilainya dengan seekor lalat.”

T: “Apa yang menyebabkan sifat malu menjadi berkurang?”

J: “Dengan tidak memperhitungkan pahala dari ‘amal perbuatannya dan tidak menjauhi sifat wara‘.

T: “Apa yang harus dilakukan oleh seorang pemalu?”

J: “Membiasakan khusyū‘, rendah hati, menundukkan kepala, menjaga pandangan, tidak selalu mengangkat kepala ke langit, sedikit berbicara, takut terlihat aurat dalam kamar mandi, meninggalkan senda gurau dan tertawa, dan malu ketika akan melakukan perkara yang diharuskan oleh Allah s.w.t.. yaitu menggauli isteri dan apalagi jika melakukan sesuatu yang salah dan dilarang oleh Allah s.w.t.”

Tingkat malu setiap manusia kepada Allah s.w.t. berbeda satu sama lain bergantung pada kedekatan Allah kepada diri mereka dan kedekatan mereka kepada Allah s.w.t.

Catatan:

  1. 30). Ini hanya sebagai perumpamaan yang kecil saja. Karena malu kepada Allah s.w.t. harus sesuai dengan ukuran kebesaran-Nya. Padahal, tidak ada seorang pun yang bisa memberikan penghargaan akan Allah s.w.t. sesuai kadar keagungan-Nya, karena tidak ada orang yang bisa mengukur hakekat kebesaran Tuhan, melainkan Dzāt-Nya sendiri.
  2. 31). Di antaranya firman Allah s.w.t.: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwā, apabila mereka ditipu Setan yang datang mengunjunginya, maka mereka akan ingat kembali, dan ketika itu mereka menjadi orang-orang yang mempunyai keputusan hati.” (al-A‘rāf: 201).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *