Mencari yang Halal – Kitab-ush-Shidq (1/3)

JALAN CINTA MENUJU ALLAH
 
Dari naskah ath-Tharīqu ilā Allāh atau Kitāb ash-Shidq
 
Oleh: Abū Sa‘īd al-Kharrāz
Penerbit: Pustaka Shufi

Rangkaian Pos: Pintu-pintu Kebenaran - Kitab-ush-Shidq

BAGIAN EMPAT

MENCARI YANG HALAL

 

Benar dalam perkara yang halal adalah apabila kamu memperoleh rezeki yang halal, namun hanya mengambil sekadarnya saja sesuai keperluanmu untuk mencukupi hidup. Karena itu, jangan pernah membebani jiwamu melebihi kapasitas kemampuannya, sebab niscaya ia tidak akan mampu menanggungnya. Dan selain itu, tentunya ia pun tidak akan kuat bersabar dalam menentang dan meminimalisir tuntutan hawa nafsu. Dengan demikian, seyogianya kamu mengambil sekadar yang diperlukan saja, dengan tidak bersikap kikir atau pun berlaku boros, baik dalam soal makanan, pakaian mau pun tempat tinggal. Jangan berlaku berlebihan, karena pertanggungjawabannya sangat berat kelak di Hari Kiamat dan perhitungannya akan memakan waktu yang amat panjang. Karenanya, wajar jika kemudian ada sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Imām ‘Alī Ibn Abī Thālib r.a. pernah ditanya: “Wahai bapaknya Ḥasan! Tolong jelaskan sifat dunia kepada kami!” Imām ‘Alī menjawab: “Halalnya akan dihisab, dan haramnya akan disiksa.”

Jika ada seorang hamba yang lemah, (111) tiba-tiba memiliki harta yang halal, seyogianya ia menjaganya dan tidak memboroskannya dengan dibagikan kepada orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Tapi, ia harus membelanjakannya secara sederhana, sebab jika ia berlaku boros, niscaya ia tidak akan bisa bersabar lagi dan selalu merasa pesimis akan masa depannya. Dan kala itu, ia akan tergelincir pada suatu kondisi yang lebih buruk dari sebelumnya. Oleh karena itu, keputusannya untuk menahan harta tersebut harus dihindari, karena hal itu menunjukkan bahwa ia telah kehilangan kepercayaan kepada Allah s.w.t. serta tidak merasa yakin akan keputusan-Nya. Karenanya, ia harus terus-menerus menghindari keinginan hawa nafsunya, sampai keteguhan hatinya kembali menguat dan kukuh akan keputusan Allah s.w.t.

“Tapi bagaimana mungkin para nabi boleh memiliki harta kekayaan yang melimpah?” tanya saya penasaran: “Umpamanya Nabi Dāūd, Nabi Sulaimān, Nabi Ibrāhīm. Nabi Ayyūb, dan lain sebagainya. Begitu pula Nabi Yūsuf a.s. yang menjadi bendaharawan negeri, dan Nabi Muḥammad s.a.w. serta sebagian hamba Allah s.w.t. yang shāliḥ sesudahnya?”

“Masalah yang kamu kemukakan merupakan masalah yang pelik dan berat untuk dijawab,” kata beliau: “Namun demikian, ketahuilah! para nabi, para ‘ulamā’, dan hamba-hambaNya yang shāliḥ adalah orang-orang kepercayaan Allah s.w.t. di atas muka bumi ini yang bertugas mengurus rahasia-Nya. Mereka merupakan orang-orang yang patuh terhadap perintah Allah s.w.t. dan menjauhi segala larangan-Nya. Mereka juga senantiasa berada dalam pengawasan Allah s.w.t. serta sekaligus menjadi tempat peletakan amanat-Nya. Mereka adalah orang-orang yang mewakili Tuhan dalam membimbing semua makhlūq dan hamba-hambaNya. Mereka benar-benar mengenal segala perintah Allah s.w.t. dan larangan-Nya. Mereka memahami alasan Allah s.w.t. menciptakannya, apa yang diharapkan dari mereka dan untuk apa mereka diseru? Mereka telah menjawab semua kesulitan ini seraya sepakat untuk mencintai-Nya dan tunduk di bawah perintah dan kemauan-Nya.

Selain itu, mereka pun bersedia menjadi hamba-hamba Allah yang berfikiran sehat, tunduk dan patuh kepada-Nya dan memelihara segala wasiat-Nya. Mereka mendengar segala perintah-Nya dengan hati yang terbuka dan perasaan yang suci. Mereka tidak pernah lupa mengingat Allah dan memohon kepada-Nya. Dan telinga mereka pun senantiasa mendengar firman-firmanNya.

آمِنُوْا بِاللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ أَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ

Berimanlah kalian semua kepada Allah dan rasūl-Nya, dan infaqkanlah sebagian dari harta yang Allah kuasakan kepadamu.” (al-Ḥadīd 57: 7)

ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلاَئِفَ فِي الأَرْضِ مِنْ بَعْدِهِم لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ

Kemudian Kami jadikan kalian semua sebagai khalīfah-khalīfah di muka bumi ini sesudah mereka supaya Kami bisa menyaksikan apa-apa yang kalian perbuat.” (Yūnus 10: 14)

للهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِي الأَرْضِ

Milik Allah segala yang ada di langit dan di bumi.” (al-Baqarah 2: 284)

أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَ الأَمْرُ

Ingatlah, adalah hak Allah untuk mencipta dan memerintah.” (al-A‘rāf 7: 54)

Mereka semua mempunyai keyakinan yang penuh bahwa diri mereka adalah kepunyaan Allah s.w.t. Begitu pula dengan segala yang dikaruniakan dan dikuasakan Allah pada mereka, adalah kepunyaan-Nya. Namun pada saat sekarang, mereka berada dalam masa ujian dan cobaan dengan berbagai bencana dunia.

Keluhan ‘Umar Ibn al-Khaththāb

Diriwayatkan bahwasanya ‘Umar Ibn al-Khaththāb r.a. ketika mendengar firman Allah s.w.t.: “Bukankah telah datang kepada manusia suatu masa, yang tidak ada suatu apa pun yang bisa dikatakan.” (ad-Dahr: 1) beliau langsung berkata: “Alangkah baiknya, jika firman Allah s.w.t. tadi berhenti di situ, dan tidak berlanjut pada yang berikutnya:Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur. Dan Kami akan mengujinya.” (ad-Dahr: 2).

Karena itu, manakala beliau mendengar firman Allah s.w.t tersebut, seluruh tubuhnya akan gemetar, seolah-olah tidak bertenaga. Lebih lanjut beliau mengatakan: “Alangkah baiknya jika aku tidak diciptakan oleh Allah!” Beliau berkata demikian, karena sangat mengenal akan kewajiban dan hak Allah s.w.t. atas dirinya. Beliau sangat mengenal kadar perintah dan larangan Allah s.w.t., padahal kebanyakan hamba-Nya yang lain tidak mampu menunaikan hak-hak tersebut sebagaimana yang ditunaikan oleh beliau sendiri.

Orang-orang seperti ‘Umar Ibn al-Khaththāb r.a. senantiasa menjunjung tinggi hak Allah s.w.t. Di samping itu, mereka kerap kali merasa khawatir, sekiranya mereka lalai akan hak-hak tersebut, sedang ḥujjah dan bukti Allah atas diri mereka sangatlah jelas dan terang. Mereka takut akan semua ancaman Allah s.w.t. yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang tidak melakukan hak-Nya.

Selain itu, diriwayatkan pula bahwasanya al-Ḥasan r.a. berkata: “Sesungguhnya pengeluaran Nabi Ādam a.s. dari Surga ke dunia oleh Allah s.w.t. adalah balasan atas kesalahannya. Dengan demikian, pada hakikatnya dunia merupakan penjara bagi beliau, karena dijauhkan dari sisi-Nya dan diletakkan di tempat yang penuh dengan cobaan dan ujian.” Tegasnya, barang siapa yang memiliki harta benda, sedangkan ia termasuk orang yang benar dalam beramal shāliḥ kepada Allah s.w.t., dan mempercayai dengan sepenuh hati bahwa harta tersebut adalah milik Allah yang dikuasakan kepadanya, serta dengan demikian harta tersebut bukanlah miliknya yang mutlak, melainkan ujian dari Allah s.w.t., hingga ia meletakkan harta tersebut pada tempatnya yang tepat. Sebab, nikmat itu pada hakikatnya adalah musibah dan bencana, terkecuali bagi hamba-hamba yang menyukurinya dengan menggunakan nikmat tersebut dalam jalan ketaatan yang diridai oleh Allah s.w.t. (122)

Catatan:

  1. 11). Lemah yang dimaksud adalah kondisi hati yang tidak mempunyai ketenangan dan kekokohan akan taqdīr Allah s.w.t.
  2. 12). Yaitu pada jalan-jalan yang dianjurkan oleh Syara‘, seperti bersedekah dan membantu orang lain, khususnya kerabat yang dekat dan yang jauh, karena harta yang berada dalam kuasanya belum disebut sebagai harta miliknya, selama belum dibelanjakan. Karena itu, mungkin saja harta tersebut akan musnah akibat terbakar api dalam suatu bencana, dicuri orang lain, atau dirampas dan ditipu orang, ataupun berpindah tangan kepada ahli waris, jika ia meninggal dunia, atau yang seumpamanya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *