Zuhud – Kitab-ush-Shidq (1/2)

JALAN CINTA MENUJU ALLAH
 
Dari naskah ath-Tharīqu ilā Allāh atau Kitāb ash-Shidq
 
Oleh: Abū Sa‘īd al-Kharrāz
Penerbit: Pustaka Shufi

Rangkaian Pos: Pintu-pintu Kebenaran - Kitab-ush-Shidq

BAGIAN LIMA

ZUHUD

 

Allah s.w.t. telah menghinakan dunia, dan bahkan menamainya dengan pelbagai sebutan yang belum pernah diberikan kepada manusia. Hal ini sebagaimana yang disebutkan Allah s.w.t. dalam firman-Nya beriku ini:

اعْلَمُوْا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَ لَهْوٌ وَ زِينَةٌ وَ تَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَ تَكَاثُرٌ فِي الأَمْوَالِ وَ الأَوْلاَدِ

Ketahuilah oleh kalian! Bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda-gurau, hiasan, dan bermegah-megahan di antara sesama, dan juga arena berlomba mengumpulkan harta kekayaan dan anak-anak….” (al-Ḥadīd 57: 20).

Dengan demikian, bukankah orang yang mempunyai pemikiran yang sehat semestinya harus merasa malu di hadapan Allah s.w.t., manakala Dia melihat dirinya sedang bersuka-cita dalam permainan dunia yang penuh tipu daya? Oleh karena itu, orang yang hatinya telah dipenuhi oleh cahaya kebijakan akan mampu menyimpulkan bahwa dunia adalah hawa nafsu dengan segala hasratnya. Kesimpulan ini dikuatkan pula dengan adanya bukti dari firman Allah s.w.t. berikut ini:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَ الْبَنِينَ وَ الْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَ الْفِضَّةِ وَ الْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَ الأَنْعَامِ وَ الْحَرْثِ ذلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berkeinginan: cinta syahwat terhadap wanita, anak-pinak, kekayaan yang melimpah ruah dari emas-emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Semuanya adalah sekelumit kesenangan hidup di dunia.” (Āli ‘Imrān 3: 14)

Segala yang disebutkan dalam firman Allah s.w.t. di atas merupakan perkara-perkara yang ingin dicicipi dan dinikmati oleh hawa nafsu, sehingga ia akan lalai dari mengingat Akhirat dan ancamannya. Namun sebaliknya, apabila ada seorang hamba yang dapat menjauhi apa-apa yang diinginkan oleh hawa nafsu, niscaya ia pun akan mampu meninggalkan dunia.

Selain itu, terkadang ada pula seorang hamba fakir, yang tidak mempunyai apa-apa, senantiasa berharap akan memperoleh kemewahan dunia dan sangat ingin menikmatinya. Bahkan, kerap kali mengatakan, kalau bisa memperoleh apa-apa yang dicita-citakannya tersebut, niscaya ia akan memuaskan hawa nafsunya. Oleh karena itu, orang yang semacam ini bisa pula dikatakan sebagai orang yang mencintai dunia juga, meski ia akan menerima perhitungan (ḥisāb) yang lebih ringan dibandingkan dengan orang-orang yang sudah memperoleh kemewahan dunia dan meni‘mati kelezatannya.

Tingkatan Zuhud

Zuhud mempunyai beberapa tingkatan. Tingkatan pertama dan yang paling utama adalah zuhud dari memperturutkan keinginan hawa nafsu. Jika seorang hamba telah bisa menundukkan hawa nafsunya, niscaya ia tidak akan merasa keberatan dalam melaksanakan (‘ibādah) di kala siang mau pun malam. Dan jika jiwanya telah benar-benar mencintai Allah s.w.t., maka ia tidak akan merasa kesulitan untuk melawan dan mengekang kemauan hawa nafsunya. Baik dari mencari keinginan hawa nafsu, keni‘matan hidup, atau pun bergaul dengan teman-temannya yang lalai dan yang tenggelam dalam lautan kehendak hawa nafsu. (161)

Sebab ia menyadari bahwa malapetaka terbesar bagi seorang hamba adalah bersahabat dengan orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu, seyogianya ia hanya mengambil yang secukupnya saja dari persoalan makanan, minuman, pakaian, rumah tangga, tidur, bicara, mendengar, meninggalkan angan-angan, serta menjauhkan diri dari keindahan dunia. Sebab hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:

الدُّنْيَا خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ

Dunia itu serba enak dan sangat memikat.”

Mengacu pada keterangan hadis di atas, seorang hamba semestinya selalu ingat bahwa dunia akan lenyap dan binasa. Karena itu, cita-cita dan harapannya akan kemewahan dunia adalah kecil. Dan bahkan sebaliknya, ia senantiasa mengingat kematian, dan bahwa kematian itu akan datang menjemputnya, sehingga ia senantiasa menyiapkan diri untuk kebahagiaan Akhirat dan menanti penuh harapan akan waktu kepindahannya ke Akhirat, negerinya yang abadi. Jika sudah mengingat semua ini, niscaya ia akan terus-menerus ber‘ibādah dengan bersungguh-sungguh. Oleh karena itu, ia harus menjauhi keinginan bersenang-senang dan selalu memikirkan persediaan untuk kehidupan di Akhirat serta bersungguh-sungguh dalam ber‘ibādah. Dan inilah yang disebut sebagai zuhud tingkat pertama.

Makna Zuhud

Sufyān ats-Tsaurī, Waqī‘ Ibn al-Jarrāḥ, dan Aḥmad Ibn Ḥanbal r.a. telah berkata, bahwa ma‘na zuhud yang sejati adalah tidak berpanjang angan-angan (thūl-ul-āmāl). Ujaran tersebut sesuai dengan yang dikatakan para waskita, bahwa barang siapa yang pendek angan dan cita-cita, niscaya tidak akan mampu merasakan keni‘matan hidup di dunia. Sebab, ia akan senantiasa sadar, dan tidak akan pernah lalai apalagi alpa. Dan menurut sebagian ‘ulamā’ yang lain, orang yang berzuhud dari masalah dunia berarti mencintai Akhirat, sebab ia telah melihat Akhirat dengan segala kondisinya seolah-olah berada di hadapannya. Ia seolah-olah telah dapat melihat siksa dan pahala, dan karena itu ia menjauhi dunia.

Suatu kali pernah diriwayatkan bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. pernah bertanya kepada Ḥāritsah: “Bagaimana kondisimu hari ini, wahai Ḥāritsah?” Sebagai seorang Mu’min, wahai Rasūl,” jawab Ḥāritsah. “Apa hakikat imanmu?” tanya Rasūl lebih lanjut. Ḥāritsah menjawab: “Saya telah menjauhi dunia. Buktinya, saya berpuasa di siang hari dan berjaga di malamnya. Sekarang, saya seolah-olah bisa melihat Singgasana Allah dengan jelas; bisa melihat penghuni Surga yang sedang bersenang-senang; dan melihat penghuni Neraka yang menjerit meminta pertolongan.” Mendengar jawaban Ḥāritsah, maka Nabi pun bersabda: “Jawabanmu benar, seorang Mu’min adalah orang yang hatinya telah diberi cahaya oleh Allah. Karena itu, teruskanlah ‘amal perbuatanmu itu.

Sebagian ‘ulamā’ berkata: “Hakikat zuhud adalah menyingkirkan semua keni‘matan dunia dan qalbu.” Dengan demikian, zuhud dari masalah dunia sangatlah rumit dan tidak bisa dianggap ringan. Karena itu, kezuhudan seorang hamba bergantung pada kadar pengenalan dan pengetahuannya akan Allah s.w.t., sehingga barang siapa yang menjauhkan hatinya dari keni‘matan dunia, ia pun bisa dikatakan sebagai orang yang telah mengenal zuhud. Dan sebaliknya, barang siapa yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak mampu menahan segala kemauannya, maka ia belum bisa dikatakan telah menjauhi dunia dan mencintai Akhirat. Sementara itu, menurut sebagian ‘ulamā’ yang lain, seorang zāhid sejati adalah orang yang tidak pernah mencela dunia dan tidak pula memujinya. Bila dunia datang, ia tidak bergembira, dan bila dunia pergi, ia tidak merasa berduka cita. (172)

Dan menurut para wali – semoga Allah senantiasa mengasihi mereka semua, sebagaimana yang dikutip oleh Abū Sa‘īd, seorang manusia tidak bisa dikatakan sebagai seorang zāhid yang sempurna, manakala ia belum bisa memandang batu dan emas sebagai barang yang sama-sama tidak berharga baginya. Karena batu dan emas tidak akan bisa dianggap sama tidak bernilainya, sebelum ia memperoleh suatu “anugerah” dari Allah s.w.t., yang dengan “anugerah” tersebut ia bisa menjadikan batu menjadi emas. Dan apabila seorang hamba telah mencapai tingkat ini, maka dengan sendirinya kenikmatan dunia akan tersingkir dari lubuk hatinya. Dan konon, setelah wafatnya Rasūlullāh s.a.w. belum ada seorang sahabat pun yang bisa sampai pada derajat zuhud ini, kecuali Abū Bakar ash-Shiddīq r.a.

T: “Untuk tujuan apa seorang hamba harus berzuhud dari urusan dunia?”

J: “Ada banyak tujuan yang bisa ditempuh oleh seorang hamba,” jawab beliau: “Di antaranya adalah untuk mengosongkan hati dari segala usaha dan kerja dunia, dan mengisinya dengan keinginan untuk selalu menaati Allah s.w.t., mengingat-Nya serta beramal semata karena-Nya, sehingga Allah s.w.t. akan mencukupi segala kebutuhan hidupnya dengan tidak perlu bersusah-payah.” Hal ini, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi s.a.w.:

مَنْ جَعَلَ الْهَمَّ هَمًّا وَاحِدًا كَفَاهُ اللهُ سَائِرَ هُمُوْمِهِ

Barang siapa yang menjadikan tujuannya hanya kepada Allah semata, niscaya Allah akan memenuhi segala kebutuhan yang lainnya.”

Dan pernah juga disebutkan bahwa Nabi ‘Īsā a.s. pernah berwasiat kepada para sahabatnya: “Aku pesankan kepada kalian semua untuk berlaku ikhlas dan jangan mencintai dunia. Sebab cinta dunia adalah induk dari segala dosa. Dan ingatlah! Dalam harta dunia itu terdapat banyak penyakit” Mendengar hal itu, maka para sahabatnya bertanya: “Wahai utusan Allah! Adakah obat penawarnya?” Nabi ‘Īsā menjawab: “Jangan turuti kehendaknya.” “Jika kami mengikutinya?” ucap mereka kembali bertanya: “Nanti akan timbul perasaan bangga dan sombong akan keni‘matan dunia.” Jawab Nabi ‘Īsā a.s. “Jika tidak sampai timbul rasa bangga dan kesombongan?” ujar mereka lagi. “Kelak ia akan menjauhkan kalian dari laku berdzikir kepada Allah s.w.t.” jawab Nabi ‘Īsā a.s.

Di samping itu, ada juga orang yang berzuhud bertujuan untuk meringankan tanggung jawabnya di Akhirat dan dapat meniti jembatan (ash-Shirāth) dengan segera, di kala orang-orang yang lainnya dikumpulkan untuk diperiksa dan diteliti tentang pelbagai harta kekayaannya.

Karena itu, pernah diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwasanya Nabi Muḥammad s.a.w. telah bersabda: “Di Padang Maḥsyar aku melihat para sahabatku sedang diperiksa, namun tidak tampak keberadaan ‘Abd-ur-Raḥmān Ibn ‘Auf bersama mereka. Dan ketika kemudian ia tiba, aku bertanya: “Apa yang menyebabkanmu tertahan? “Saya dihisab sesuai dengan kadar banyaknya harta milik saya, sampai-sampai saya bermandikan peluh. Dan jika seandainya air peluh tersebut diminum oleh tujuh ekor unta yang kehausan setelah memakan rumput yang pahit, niscaya akan tetap masih meninggalkan sisa.” Jawab ‘Abd-ur-Raḥmān Ibn ‘Auf.

Dari sumber lain, dikatakan bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda: “Orang yang memiliki banyak harta di dunia, di Hari Kiamat akan menjadi orang yang paling sedikit memilikinya, kecuali yang menafkahkan hartanya dengan tanpa pandang bulu dan penuh keikhlasan kepada hamba-hamba Allah.” (183) Selain itu, ada juga sabda Nabi s.a.w. yang lainnya:

مَا مِنْ غَنِيٍّ وَ لاَ فَقِيْرٍ إِلاَّ وَدَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَّ اللهَ تَعَالَى كَانَ جَعَلَ رِزْقَهُ فِي الدُّنْيَا قُوْتًا

Di Hari Kiamat, baik orang kaya mau pun yang miskin akan sangat berharap bahwasanya Allah s.w.t. akan memberikan rizki-Nya kepada mereka, meski hanya sekadar makanan pokok di dunia saja.” (194)

Di samping itu, dalam riwayat lain dari Abū Dzarr al-Ghiffārī r.a. dikatakan bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

مَا يَسُرُّنِيْ أَنَّ لِيْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا أُنْفِقُهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ تَعَالَى تَأْتِيْ عَلَيَّ ثَالِثَةٌ يَكُوْنُ مِنْهُ عِنْدِيْ شَيْءٌ إِلاَّ دِيْنَارٌ أَرْصُدُهُ لِدَيْنٍ

Aku tidak akan merasa bergembira meski seandainya memiliki emas sebesar Gunung Uhud yang kubelanjakan di jalan Allah, dan ternyata pada hari ketiganya masih ada yang tersisa, kecuali satu dinar saja untuk dipakai membayar hutangku.” (205)

Catatan:

  1. 16. Karena itu, Nabi Muḥammad s.a.w. pernah mengingatkan para sahabatnya, bahwa jihad yang paling berat adalah berperang melawan hawa nafsu. Sebab, jika tidak dikendalikan atas petunjuk agama, maka hawa nafsu akan senantiasa berada dalam kendali Syaithān dan akan menceburkannya dalam perbuatan noda dan dosa.
  2. 17. Di antaranya, firman Allah s.w.t.: “Supaya kamu tidak terlalu bersedih atas apa-apa yang terlepas dari tanganmu, dan tidak terlau bergembira dengan apa-apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (al-Ḥadīd: 23)
  3. 18. Maksudnya, kelebihan harta harus dipergunakan untuk memperoleh keridhāan Allah s.w.t., bukannya ditumpuk demi untuk memperoleh bunga, ataupun dipergunakan pada hal-hal yang dimurkai Allah s.w.t., seperti berlaku boros, bermewah-mewahan, dan apalagi dipergunakan untuk bermaksiat. Sebab, harta merupakan rezeki yang diberikan Allah, dan rezeki tersebut bisa diambil kapan saja.
  4. 19. Hadits Nabi Muḥammad s.a.w.: “Ya Allah! Ya Tuhanku! Jadikanlah rezeki keluarga Muḥammad secukupnya saja.”
  5. Alasannya karena harta simpanan meski satu dīnār pun, apalagi yang jauh lebih banyak, kelak akan dipertanyakan di Hari Kiamat, sedangkan beliau belum bisa memastikan apakah bisa memberikan jawaban yang betul atau tidak. Atau alasannya karena beliau tidak mau ditahan untuk diperiksa di Hari Kiamat berkaitan dengan harta simpanannya. Sebab pada dasarnya, manusia mana yang tidak suka menyimpan harta?! Namun karena merasa takut akan murka Allah s.w.t., maka beliau menahan diri untuk tidak menyimpannya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *