Bertawakkal – Kitab-ush-Shidq

JALAN CINTA MENUJU ALLAH
 
Dari naskah ath-Tharīqu ilā Allāh atau Kitāb ash-Shidq
 
Oleh: Abū Sa‘īd al-Kharrāz
Penerbit: Pustaka Shufi

Rangkaian Pos: Pintu-pintu Kebenaran - Kitab-ush-Shidq

BAGIAN ENAM

BERTAWAKKAL

 

Ada cukup banyak firman Allah s.w.t. yang berkaitan dengan masalah tawakkal. Di antaranya adalah sebagai berikut:

وَ عَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Dan, kepada Allah-lah, orang-orang Mu’min itu bertawakkal!” (Āli ‘Imrān: 122)

وَ عَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Dan kepada Allah-lah kalian semua harus bertawakkal, sekiranya kalian semua adalah orang-orang Mu’min.” (al-Mā’idah: 23)

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (Āli ‘Imrān: 159)

Selain itu, ada pula sabda-sabda Nabi Muḥammad s.a.w. yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu:

يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أُمَّتِيْ سَبْعُوْنَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ وَ هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَ لاَ يَكْتَوُوْنَ وَ لاَ يَسْتَرِقُّوْنَ وَ عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.

Sebanyak tujuh puluh ribu umatku akan masuk Surga tanpa dihisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah mengundi nasib, tidak pernah mencaci, dan tidak pernah menggunakan mantra, serta senantiasa bertawakkal kepada Tuhan mereka.

لَوْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُوْ خِمَاصًا وَ تَرُوْحُ بِطَانًا

Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian, sebagaimana yang diberikan-Nya kepada burung-burung yang setiap pagi terbang dalam kondisi lapar dan pulang sore harinya dalam kondisi yang kenyang.

Dan berkaitan dengan hal ini, ‘Abdullah Ibn Mas‘ūd berkata: “Kemuliaan dan kekayaan senantiasa bepergian mencari tawakkal, dan apabila telah bertemu, maka mereka akan tenang.”

Makna Tawakkal

Makna tawakkal adalah mempercayakan diri kepada Allah s.w.t., bergantung dan berlapang dada kepada-Nya serta merasa aman terhadap segala yang dijanjikan-Nya. Selain itu, tawakkal juga sering diartikan dengan membebaskan hati dari kesulitan yang berkaitan dengan segala urusan dunia, seperti masalah rezeki dan yang lainnya yang segalanya diserahkan kepada Allah s.w.t. Di samping itu, ia pun harus mengetahui bahwa segala yang diperlukan hamba dari mulai urusan dunia hingga Akhirat adalah kepunyaan Allah s.w.t. Dia yang mengurus dan menyampaikannya serta yang menahannya pula, dan bukan yang selainnya. Paralel dengan itu, ia pun harus menunjukkan sikap tidak takutnya kepada selain Allah s.w.t.

Singkatnya, hanya kepada Allah s.w.t. saja, ia berikan kepercayaan. Selain itu, ia pun mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa pertolongan Allah s.w.t. itu luas dan pasti. Dan oleh karena itu, tidak ada suatu kebaikan pun yang bisa menyentuh kita, kecuali dengan kuasa Allah s.w.t. Demikian juga sebaliknya, tidak ada suatu kejahatan pun yang bisa menimpa kita, kecuali dengan idzin-Nya pula. Karena itu, pernah diriwayatkan dari al-Fudhail bahwa orang yang bertawakkal dan menyerahkan diri kepada Allah s.w.t., tidak akan pernah menuduh-Nya tidak adil dan tidak akan takut disia-siakan Allah.

Demikianlah sikap orang yang bertawakkal kepada-Nya, sehingga seandainya pun Allah memberinya karunia atas kekayaan dunia, niscaya ia tidak menyimpannya hingga besok, tapi ia malah menyadari kalau semua pemberian tersebut pada hakikatnya adalah milik Allah s.w.t., dan ia hanya sebagai penyimpannya. Dan jika ada yang membutuhkan pertolongannya, maka ia segera akan memenuhinya, sebab ia meyakini kalau dalam miliknya tersebut ada juga hak milik saudaranya.

Harta Wajib Diinfaqkan.

Harta harus diberikan, pertama-tama kepada orang yang menyembunyikan kesulitannya, lalu kepada kerabat, kepada orang saleh, dan kemudian kepada kaum Muslimīn. Dan apabila terlihat bahwa salah satu dari mereka berada dalam keadaan cemas dan kondisi membutuhkan, maka ia harus segera memberi bantuan agar kesusahannya segera terhapuskan.

Diriwayatkan bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. pernah bersabda: “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal atau dengan memboroskan harta, melainkan dengan beranggapan bahwa apa yang ada dalam kekuasaan Allah s.w.t. lebih terjamin daripada apa yang ada dalam tanganmu. Sehingga, jika kamu ditimpa suatu musibah, kamu akan merasa gembira dengan pahala bersabar atas musibah tersebut daripada berharap segera terhapusnya musibah tersebut dengan cepat.

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Bilāl r.a. berkata: “Aku datang menjumpai Nabi s.a.w. dengan membawa sedikit kurma. Melihat itu, Nabi bertanya: “Apa yang kamu bawa?” “Saya membawa sedikit kurma untuk makanan buka puasa anda,” jawab Bilāl. “Berikan kurma itu pada orang lain, wahai Bilāl! Kamu jangan pernah merasa takut kekurangan makan, karena Allah-lah sang Pemilik Singgasana ‘Arsy. Mestinya, kamu merasa bimbang apakah benda itu akan berasap di neraka Jahannam atau tidak?!” Seru Nabi s.a.w. dengan keras.

Selain itu diriwayatkan pula dari Siti ‘Ā’isyah r.a. bahwasanya beliau berkata: “Aku ini tidak seperti saudaraku, Asmā’. Ia tidak pernah menyimpan makanan untuk besok, sedangkan aku termasuk orang yang suka menyimpannya.” Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Siti ‘Ā’isyah r.a. pernah membagi-bagikan uang, hingga tidak ada yang tersisa sedikit pun. Setelah itu, beliau ditegur oleh pembantunya: “Mengapa anda tidak menyisakan uang untuk membeli daging?” “Mengapa kamu tidak mengingatkanku sejak dari tadi?!” jawab Siti ‘Ā’isyah.

Masih dari Siti ‘Ā’isyah r.a. dikatakan bahwa pada malam di saat Rasūlullāh s.a.w. akan wafat, tampak bahwa beliau sangat gelisah. Dan pada keesokan harinya, baginda langsung bertanya kepada Siti ‘Ā’isyah: “Apa yang kamu lakukan dengan sekeping emas itu?” Pada hal nilai emas itu hanya enam puluh lima dirham saja. Dan akhirnya, baginda menyuruh Siti ‘Ā’isyah untuk memberikannya kepada orang lain. Demikianlah Nabi Muḥammad s.a.w. sangat merasa khawatir jika saat itu ditaqdīrkan wafat, apa yang harus dikatakan kepada Tuhannya, sementara emas tersebut masih berada dalam simpanannya. Selain itu, pernah diriwayatkan pula bahwasanya Masrūq r.a. berkata: “Hatiku akan merasa sangat tenang, apabila pelayanku mengatakan bahwa pada hari ini kita tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan.” (281).

T: “Apakah bertawakkal itu dengan cara memunculkan sebabnya, atau dengan memutuskan sebabnya?

J: “Dengan memutuskan kebanyakan sebabnya, kemudian melangkah kepada Penyebabnya, yaitu Allah s.w.t., hingga kamu merasa amat tenang kepada-Nya.” (292)

T: “Bolehkah orang yang bertawakkal berobat atau berupaya menyembuhkan penyakitnya?

J: “Ada tiga jawaban untuk hal ini. Pertama: Allah s.w.t. mengisyaratkan untuk tidak perlu berobat. Salah satu dalīlnya adalah sabda Nabi Muḥammad s.a.w.: “Tujuh puluh ribu umatku akan masuk Surga tanpa dihisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengundi nasib, tidak mencaci, dan tidak juga menggunakan mantra-mantra, melainkan senantiasa bertawakkal kepada Allah s.w.t.” Selain itu, ada pula beberapa hadits lainnya, di antaranya adalah:

مَا تَوَكَّلَ مَنْ اِكْتَوَى وَ اسْتَرْقَى

Tidak disebut bertawakkal orang yang berkeluh dan menggunakan mantra.”

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيْرَةُ فَقَدْ قَارَنَ الشِّرْكَ

Siapa yang percaya kepada ramalan nasib, sesungguhnya ia telah melakukan syirik.”

Kedua, dalam keterangan lainnya, Nabi Muḥammad s.a.w. juga membolehkan berobat, baik dengan minum obat, minum air jampi, atau pun juga berjampi. Dan Nabi sendiri pernah membekam Ubai Ibn Ka‘ab r.a. untuk menyembuhkan penyakitnya. Dan pendapat inilah yang dipegangi al-Mughīrah Ibn Syu‘bah, yang menyatakan bahwa tidak bisa disebut sebagai bertawakkal orang yang berobat dengan menggunakan jampi dan mantra, dan ia tidak termasuk bagian dari tujuh puluh ribu orang yang dikhususkan Nabi s.a.w. Dan demikian pula, tafsiran yang diberikan oleh sebagian ahli tafsir.

Ada pun selain dari mereka, maka hukumnya boleh, selama tidak mengurangi sikap tawakkalnya serta mempunyai wawasan tentangnya dan harapan kesembuhan dari Allah s.w.t. yang menjadi penyebab sakit dan sembuhnya. Baginya, tidak ada persoalan apakah Allah mau memberinya manfaat dari usaha berobatnya atau pun tidak. Sebab, tidak mustaḥīl ada orang yang mengharapkan sembuh dengan meminum obat, tapi justru penyakitnya bertambah parah. Dan tidak sedikit pula orang yang mati karena minum obat atau pun berbekam. Sehingga tidak jarang, ketika seseorang berobat dengan harapan agar obat tersebut bisa bermanfaat, namun tiba-tiba obat tersebut justru membahayakannya. Demikian pula sebaliknya, ketika ia merasa takut akan bahaya sesuatu perkara, tapi ternyata perkara tersebut justru bermanfaat.

Oleh karena itu, orang yang benar dalam bertawakkal, niscaya akan mempunyai kepercayaan yang penuh akan Tuhannya. Dan ia bertawakkal kepada Allah, karena percaya hanya Allah semata yang bisa memenuhi segala harapannya. Implikasinya, muncul keyakinan bahwa dirinya tidak akan bisa memperoleh sesuatu yang diinginkannya selagi Allah tidak memberikannya?! Dengan demikian, hanya Allah semata yang bisa mencukupinya dan Dialah yang bisa memenuhi kehendak hamba-hambaNya.

 

Bertawakkal Minta Dicukupkan

T: “Bagaimana hukumnya, jika ada yang berkata: “Saya bertawakkal kepada Allah supaya dicukupi segala kebutuhan saya.”

J: “Ucapan ini mengandung dua maksud. Pertama, dengan bertawakal ia berharap agar Allah s.w.t. menampung rasa gelisah dan keluh-kesahnya serta sekaligus memasrahkan dirinya pada ketentuan taqdīr yang telah ditentukan oleh Allah s.w.t. Ini adalah pendapat kami dan orang-orang yang berpegang teguh atas taqdīr Allah s.w.t. Kedua, apabila meminta, niscaya Allah s.w.t. akan mencukupi kebutuhannya. Misalnya ia berkata: “Aku pasti tidak akan diterkam binatang buas, lantaran aku bertawakkal kepada Allah s.w.t.” Atau ia berkata: “Apa yang biasanya bisa kuperolehi dengan usaha, kini dapat aku peroleh tanpa berusaha lantaran bertawakkal kepada Allah s.w.t. Dengan sikap tawakkal, aku meminta yang aku inginkan dan menolak yang aku benci.” Menurut kami, kata-kata seperti ini tidak tepat. Sebab orang yang bertawakkal tidak selamanya bisa memperoleh apa yang diharapkan. Ada kalanya dicukupi dan ada kalanya tidak, pada hal sikap tawakkal itu tidak bisa berlebih atau pun berkurang.

T: “Coba tolong jelaskan rinciannya!”

J: “Contohnya, ketika Nabi Yaḥyā Ibn Zakariyyā a.s. dibunuh oleh seorang wanita kejam dengan kepala yang diletakkan di tempat cucian tangan ayahnya, apakah Nabi Yaḥyā kala itu tidak bertawakkal?! Begitu pula dengan kasus Nabi Zakariyyā a.s. yang dibelah dengan gergaji, apakah beliau pun tidak bertawakkal?! Demikian pula dengan para nabi yang lain, ada yang dibunuh dan ada juga yang dianiaya, paha hal mereka adalah orang-orang yang paling benar dan paling kuat keimanannya kepada Allah s.w.t. Coba renungkan pula saat Nabi Muḥammad s.a.w. bersama Abū Bakar r.a. melarikan serta menyembunyikan diri di dalam Gua atau ketika kepala beliau dipukul dengan pedang dalam perang Uhud sehingga mengeluarkan darah yang membasahi wajahnya, apakah beliau tidak bertawakkal?

Sejatinya, tawakkal adalah menyerahkan diri kepada Allah s.w.t. dan merasa nyaman kepada-Nya, serta menerima segala ketentuan taqdīr yang telah digariskan atas hamba-hambaNya, karena Dia berbuat apa yang disukai-Nya.

Dalam hal ini, ‘Abdullāh Ibn Mas‘ūd r.a. pernah meriwayatkan dari Rasūlullāh s.a.w. bahwa: “Barang siapa bertawakal kepada Allah s.w.t., niscaya Dia mencukupinya dan mengendalikan semua urusannya. Dan Allah telah menentukan ukuran bagi segala sesuatu.” Yang dimaksud dengan ukuran di sini adalah upaya dan ikhtiar yang merupakan puncak tawakkal yang bisa dicapai seorang hamba dalam bertawakkal. Karena itu, tidak bisa disebut bertawakkal, orang yang mengatakan: “Segala keperluanku telah ditunaikan.”

Tafsirannya, menurut Ibn Mas‘ūd, bahwa orang yang bertawakkal kepada Allah s.w.t. adalah orang yang mengembalikan segala urusannya kepada Allah s.w.t. sembari dibarengi keyakinan dalam hati bahwa tidak ada yang sempurna, kecuali dengan kuasa dan kehendak-Nya. Sebab Dia adalah Tuhan yang memberi dan menahan atas kehendak-Nya.

Dengan demikian, orang yang bertawakkal kepada Allah s.w.t. tidak akan pernah merasa bingung apabila keinginannya tidak terkabul, dan selalu menyadari bahwa dirinya tidak akan bisa memperoleh sesuatu apa pun dengan hanya bertawakkal semata. Sebab, hanya keinginan kuat terhadap sesuatu tidak akan menyebabkan dirinya diberi atau tidak, dan hanya Allah s.w.t. saja yang menentukan menolak dan memberi.

Terkadang keinginan seorang hamba yang tidak bertawakkal justru dipenuhi dan dikabulkan, dan sebaliknya permintaan seorang hamba yang bertawakkal penuh kepada Allah s.w.t. malah tidak diberi. Umpamanya, banyak orang majusi, orang kafir, pelaku maksiat, pengabai perintah Allah, dan orang yang tidak mengimani-Nya, sering kali melalaikan perintah Allah s.w.t., bahkan mengufuri-Nya, namun nyatanya segala keperluan mereka terpenuhi. Dan sebaliknya, banyak orang yang bertawakkal dengan penuh keyakinan kepada Allah s.w.t., nyatanya tidak semua kebutuhannya terpenuhi, bahkan tidak jarang yang hingga menemui ajalnya dalam kondisi kurus-kering dan kesusahan hidup.

 

Hakikat Tawakkal

Ketahuilah Hakikat tawakkal adalah tidak menggantungkan diri kepada faktor-faktor keduniawian, menjauhi sifat tamak dan rakus serta tidak berharap banyak akan manusia, karena orang yang bertawakkal akan selalu memfokuskan perhatiannya hanya kepada yang di hadapannya dan merasa ridhā serta ikhlas atas segala ketentuan Allah. Dengan penuh kesadaran, ia mengetahui bahwa dirinya tidak akan bisa mempercepat apa-apa yang dikehendaki Allah untuk dilambatkan. Demikian pula sebaliknya, ia tidak akan bisa menangguhkan segala sesuatu yang dikehendaki segera oleh Allah. Namun ia tetap saja terus bertawakkal seraya membebaskan dirinya dari rasa kecewa dan sikap tidak sabar serta putus asa. Dan ketika itulah, maka jiwanya akan merasa tenang lantaran pengetahuan yang telah dimasukkan ke dalam bāthinnya. Akhirnya, ia akan berpendirian bahwa apa-apa yang dikehendaki Allah pasti akan ditaqdīrkan dan apa-apa yang ditaqdīrkan-Nya pasti akan terjadi jua.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ahli ḥikmah, yaitu: “Buang angan-anganmu dengan cara menerima apa adanya (qanā‘ah), layaknya kamu menuntut balas atas musuhmu dengan qishash. Sementara itu, sebagian sahabat ada yang berkata: “Suatu hari aku datang ke rumah Rasūlullāh s.a.w. dan aku lihat masih ada sedikit kurma yang tertinggal. Setelah aku datang, beliau bersabda padaku: “Ambillah kurma itu. Jika kamu tidak datang untuk mengambilnya, tentu ia akan dibawa ke tempatmu untuk kau terima dan itu berarti sudah menjadi rezekimu. Dan di mana pun kamu berada, niscaya akan kamu dapatkan juga.”

Muḥammad Ibn Ya‘qūb telah menceritakan kepada saya, dari Aḥmad Ibn Ḥanbal, dari Marwān Ibn Mu‘āwiyyah, dari al-Mu‘allā dan bersumber dari Anas Ibn Mālik r.a. bahwasanya Nabi Muḥammad s.a.w. telah menerima hadiah beberapa ekor burung merpati. Seperti biasa, beliau langsung membagi-bagikannya kepada para sahabatnya masing-masing seekor. Dan pada keesokan harinya, aku datang membawa kelebihan satu ekor burung kepada beliau yang langsung bersabda: “Bukankah aku telah melarangmu menyimpan rezeki hingga keesokan harinya?

Banyak sekali contoh sikap tawakkal lainnya yang seharusnya menjadi cerminan bagi seorang hamba. Dan apalagi, puncak sikap tawakkal lebih mulia dan lebih tinggi daripada yang telah disebutkan.

Catatan:

  1. 28). Sebab jika beliau mempunyai suatu harta, hal itu akan menyibukkan dirinya terhadap harta tersebut dan mengabaikannya untuk mengajak umatnya mencari ketenangan Allah. Berbeda dengan kita yang jika tidak mempunyai harta, maka jiwa kita akan sibuk memikirkan bagaimana cara untuk memperolehnya. Itulah bedanya antara orang yang masih terpikat oleh kenikmatan dunia dengan orang yang sudah sama sekali tidak mengingatnya.
  2. 29). Dalam hal ini, Allah telah berfirman: “Bukankah Allah telah mencukupi segala keperluan hamba-Nya.” (az-Zumar: 36).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *