Kemesraan Dengan Allah – Kitab-ush-Shidq

JALAN CINTA MENUJU ALLAH
 
Dari naskah ath-Tharīqu ilā Allāh atau Kitāb ash-Shidq
 
Oleh: Abū Sa‘īd al-Kharrāz
Penerbit: Pustaka Shufi

Rangkaian Pos: Pintu-pintu Kebenaran - Kitab-ush-Shidq

BAGIAN TIGABELAS

KEMESRAAN DENGAN ALLAH

 

Sebagian orang waskita berkata: “Mesra dengan Allah s.w.t. yang Maha Tinggi pujian-Nya adalah lebih enak dan memikat hati daripada perasaan rindu. Orang yang rindu kepada Allah s.w.t. akan mempunyai hubungan emosional yang muncul karena disebabkan oleh kerinduannya yang terus-menerus kepada-Nya. Sedangkan orang yang bermesraan dengan-Nya adalah orang yang lebih dekat kepada-Nya daripada orang yang merindu.” (351)

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muḥammad s.a.w. ketika beliau dikunjungi Jibrīl a.s. dalam rupa seorang lelaki yang lalu kemudian bertanya kepada beliau mengenai rukun Islam, iman dan iḥsān. Berkaitan dengan pertanyaan tentang rukun iḥsān, maka Nabi s.a.w. menjawab: “Rukun iḥsān adalah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Dan jikalau kamu tidak bisa melihatnya, yakinilah bahwa Allah melihatmu.” Jawaban beliau ini dibenarkan oleh Jibrīl a.s. Selain itu, diriwayatkan pula dari Nabi Muḥammad s.a.w. bahwasanya beliau melihat-Nya. Dan jikalau kamu tidak melihat-Nya, yakinilah bahwa Dia melihatmu!”

Semua itu membuktikan bahwa Allah s.w.t. itu sangat dekat dengan kita serta senantiasa membantu dalam segala urusan kita. Jika Allah s.w.t. terasa dekat, maka mudah untuk mengeluarkan hakikat perkara dalam setiap maqām, yakni menurut derajat dan kedudukan masing-masing. Barang siapa yang mempunyai maqām khauf (takut), maka dirinya akan merasakan khawatir, gentar, serta takut bahwa Allah s.w.t. akan mengetahui keadaannya, karena ia yakin bahwasanya Allah s.w.t. melihatnya. (362).

Barang siapa yang mempunyai maqām cinta (al-ḥubb), maka ia akan merasakan hakikat kedekatannya yang berupa perasaan gembira, sukaria, keni‘matan, dan berlomba-lomba untuk memperoleh keridhāan Allah s.w.t. serta berbakti kepadanya, agar Dia bisa melihatnya berlomba-lomba dan sangat gemar untuk berbakti kepada-Nya serta sangat mencintai-Nya. Dan ia pun akan menjadi orang yang bersabar ketika ditimpa musibah, karena Allah akan memberinya pahala sebagaimana janji Allah dalam firman-Nya:

إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ

Sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang bersabar.” (al-Baqarah: 153).

وَ اصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا

Dan bersabarlah atas perintah Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam penjagaan Kami.” (ath-Thūr: 48)

Demikian pula dengan laku orang-orang yang berada dalam setiap maqām, mereka menyembah-Nya dengan mendekatkan diri kepada-Nya, karena mereka yakin bahwa Allah s.w.t. senantiasa menjaganya. Dan apabila mereka masuk dalam ritual shalat, mereka beranggapan sedang bepergian untuk menemui Tuhan dan tidak akan kembali. Adapun orang awam, paling tinggi ‘amalan mereka hanya sampai pada apa-apa yang diperintah oleh Allah serta apa yang dilarang-Nya, tidak lebih dan tidak kurang. Dan karena harapan mereka terlalu tipis, mereka selalu mencampuradukkan semuanya dan tidak pernah memikirkan hakikatnya.

Bukti tanda besarnya kemesraan seorang hamba dengan Allah s.w.t. adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Urwah Ibn-uz-Zubair r.a. bahwasanya beliau pernah meminang putri ‘Abd Allāh Ibn ‘Umar r.a. Tapi karena Ibn ‘Umar sedang bertawaf di Ka‘bah, maka beliau tidak menjawab dan tidak memberikan keputusan. Usai tawaf, Ibn ‘Umar menemui ‘Urwah dan berkata: “Engkau mengatakan sesuatu kepadaku di kala aku masih bertawaf. Sebenarnya, apabila aku bertawaf, aku senantiasa merasakan kehadiran Allah s.w.t. berada di hadapanku.” Dengan demikian, jelas bahwa seorang yang sedang bermesraan dengan Allah s.w.t. akan merasakan Dzāt yang dirindukannya itu selalu berada bersamanya.

Selain itu, diriwayatkan pula dari ‘Abd al-Wāḥid Ibn Zaid al-Bashrī r.a. bahwasanya beliau pernah bertanya kepada Abū ‘Āshim asy-Syāmī r.a.: “Tidakkah engkau merindukan Allah s.w.t.?” Beliau menjawab: “Tidak! Sebab rindu itu mesti kepada hal yang ghaib yang tidak ada di hadapanmu. Jadi, andaikata yang ghaib itu bisa kelihatan di hadapanmu, maka siapa lagi yang harus kamu rindukan?! Tentunya, kamu tidak akan merindukannya lagi.”

Diriwayatkan dari Dāūd ath-Thā’ī r.a., seorang Shūfī Agung, bahwasanya beliau berkata: “Sebenarnya kalian merindukan yang ghaib.” Menurut sebagian ‘ulamā’, apa yang disebutkan oleh Dāūd merupakan hakikat eksistensi Allah s.w.t, karena Dia amat dekat dari yang diperkirakan. Dengan demikian, orang yang telah bermesraan dengan Allah s.w.t. senantiasa seolah merasa di sisi-Nya, karena pada hakikatnya Allah s.w.t. terus-menerus bersama mereka. Dia melihat dan tidak pernah ghaib. Dan semua perasaaan itu datang dari Allah s.w.t. sebagai ketenangan dan penyejuk hati serta rahmat dan kegembiraan yang dikaruniakan Allah khusus untuk mereka semua di dunia. Sebab kalau tidak, tentu mereka tidak akan bisa melihat dan mendekati kepada-Nya.

Di antara tanda bahwa seorang hamba telah bermesraan dengan Allah s.w.t. dan mendekatkan diri kepada-Nya, hendaklah ia senantiasa menyebut Allah di hatinya, senantiasa beramal yang mampu mendekatkan dirinya pada Allah, dan tidak melupakan-Nya dalam segala kondisi dan waktu. Selain itu, hendaklah Allah s.w.t. menjadi prioritas utama bagi si hamba dibandingkan dengan perkara-perkara yang lain. Oleh karena itu, apabila disebutkan bahwa cahaya kedekatan Allah s.w.t. bisa menenangkan hati hamba-Nya, maka si hamba pasti bisa melihat semua perkara yang dihadapinya dengan menggunakan matahari. Dengan demikian, ia bisa membuktikan hakikat segala perkara tersebut. (373) Hal ini dibuktikan dengan adanya riwayat dari ‘Āmir Ibn ‘Abdillah r.a. yang mengatakan bahwa beliau berkata: “Tidak ada satu benda pun yang ku lihat, melainkan ku rasakan bahwa Allah s.w.t. lebih dekat bagiku daripada benda tersebut.

Tanda sifat lainnya adalah seyogianya ia merasa jemu dengan semua anggota keluarganya dan khalayak ramai, dan suka serta merasa senang apabila menjauhkan diri dari mereka dan duduk menyendiri. Ia pun juga senang tinggal di kamar yang gelap, dan benci kepada lampu. Apabila berada di dalam kamar, pintunya dikunci dari dalam, ataupun jika berada dalam suatu ruangan, maka ruangan itu disekat dengan tabir supaya terjauh dari pandangan orang ramai. Di dalam kamar ia menyatukan hatinya serta bermesraan dengan Tuhannya, sampai merasakan puncak kenikmatan bermunajat kepada-Nya. Selain itu, ia pun merasakan dirinya lepas dari segala gangguan yang bisa mengeruhkan keintimannya bersama dengan Dzāt yang dimesrainya.

Sifat lainnya adalah ia akan merasa kurang senang apabila matahari mulai terbit, karena, baginya, sinar matahari tersebut telah mengganggu ketenangannya dalam melaksanakan salat. Dia merasa kuran nyaman bila bertemu dengan orang ramai, dan jika pun terpaksa duduk bersama mereka, ia akan segera merasa jemu. Sebab, baginya, perjumpaan dengan mereka, ataupun duduk bersamanya hanya buang waktu dan merugikan saja. Dan apabila kegelapan malam datang menyelubunginya, dan orang-orang mulai menutup mata terlelap dalam tidur serta semua benda sudah tidak terbayang lagi, maka ketika itulah si hamba tersebut akan berkhalwat dengan Tuhannya. Kala itu, rasa sedihnya menggelora, nafasnya turun-naik, hati kecilnya terus-menerus meratap, dan ia menuntut apa-apa yang dijanjikan Tuhannya. Ia juga memohon kepada-Nya dengan sepenuh hati akan berbagai faedah dan karunia-Nya. Maka, ketika itulah ia akan memperoleh sebagian yang dimintanya dan terpenuhi pula apa yang diinginkannya.

Kemudian, segala perasaan khawatir dan takut terhadap banyak tempat yang menjadi ketakutan banyak orang akan lenyap dari dirinya. Baginya, tidak ada beda antara tempat yang dipenuhi dengan bangunan, tempat yang rata dengan reruntuhan, ataupun tempat kosong yang tidak dihuni orang. Baginya sama pula antara adanya orang ramai ataupun tidak ada orang sama sekali. Karena segala yang menyibukkan jiwanya tiada lain adalah ‘amalan yang mendekatkan dirinya kepada Allah serta kenikmatan mengingat dan menyebut-Nya. Dan perasaan ruhaninya dapat mengatasi segala hal yang lainnya, baik yang lahir maupun yang bāthin.

Demikianlah uraian ringkas tentang sifat-sifat mesra yang muncul kepada Allah s.w.t. yang dipandang perlu untuk disebutkan di sini. Dan maqām-maqām kemesraan lainnya yang lebih banyak dan lebih mulia telah diuraikan dalam sebuah buku lainnya. Dan hanya kepada Allah saja, kami memohonkan taufīq.

Catatan:

  1. 35). Nabi Muḥammad s.a.w. telah menerangkan kepada kita bahwa Allah sangat dekat dengan kita dalam sabdanya: “Waktu seorang hamba sangat dekat kepada Tuhannya adalah di saat ia bersujud. Karena itu, perbanyaklah doa di waktu itu, dan yakinilah bahwa doamu akan dikabulkan.”
  2. 36). Takut yang sejati adalah rasa takut yang dilingkungi ‘ilmu dan pengetahuan sebagaimana firman Allah s.w.t.: “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah dari para hamba-Nya adalah orang-orang yang ber‘ilmu.” (Fāthir: 28).
  3. 37). Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan: “Jika Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi alat pendengarannya, sarana penglihatannya, dan alat bertindaknya, serta media berjalannya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *