Wara’ Kepada Allah s.w.t. – Kitab-ush-Shidq

JALAN CINTA MENUJU ALLAH
 
Dari naskah ath-Tharīqu ilā Allāh atau Kitāb ash-Shidq
 
Oleh: Abū Sa‘īd al-Kharrāz
Penerbit: Pustaka Shufi

Rangkaian Pos: Pintu-pintu Kebenaran - Kitab-ush-Shidq

BAGIAN TIGA

WARA‘ KEPADA ALLAH

 

Benar dalam wara‘ adalah menjauhkan diri dari segala perkara yang samar (syubhat) dan meninggalkan segala yang menyesatkan. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muḥammad s.a.w. dalam dua haditsnya berikut ini:

لاَ يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعُ مَا لاَ بَأْسَ بِهِ مَخَافَةَ مَا بِهِ بَأْسٌ

Seorang hamba belum bisa disebut sebagai orang yang bertaqwā sebelum meninggalkan perkara-perkara yang tidak penting, karena merasa takut (tidak bisa melaksanakan) perkara-perkara yang diwajibkan baginya.” (H.R. Ibn Mājah dan at-Tirmizī).

الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَ الْحَرَامُ بَيِّنٌ ذلِكَ أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ فَمَنْ تَرَكَ الشُّبُهَاتِ مَخَافَةً أَنْ يَقَعَ فِي الْحَرَامِ فَقَدِ اسْتَبْرَاءَ لِعِرْضِهِ

Halal itu jelas dan haram juga jelas, di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar (syubhat). Barang siapa meninggalkan yang samar karena takut jatuh ke dalam perkara yang haram, sesungguhnya ia telah melepaskan (kesamaran tersebut) bagi kehormatannya.” (91).

Berkaitan dengan hal ini, Ibn Sīrīn r.a. berkata: “Tidak ada yang paling mudah dalam Islam, selain wara‘, sebab perkara apa pun yang masih samar ketentuan hukumnya, aku akan segera meninggalkannya.” Selain itu, al-Fudhail r.a. telah berkata: “Banyak orang berkata bahwa wara‘ itu berat. Sesungguhnya, tidak serumit itu. Tinggalkan apa yang meragukan, dan beralihlah pada yang tidak meragukan. Ambil yang halal dan baik dari yang kamu temukan. Oleh karena itu, maksimalkan usahamu dalam mencari sesuatu yang bersih dan halal.” Hal ini sebagaimana yang disinyalir firman Allah s.w.t.:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَ اعْمَلُوْا صَالِحًا

Wahai para rasūl! Makanlah makanan yang baik dan lakukanlah ‘amal shāliḥ. (al-Mu’minūn: 51)

Di samping itu, Nabi Muḥammad s.a.w. pun pernah bersabda kepada Sa‘ad r.a.: “Jika kamu ingin Allah s.w.t. menerima doamu, maka makanlah dari makanan yang halal. (102).” Selain itu, pernah pula Siti ‘Ā’isyah r.a. bertanya kepada beliau: “Wahai Rasūl! Siapakah yang dikatakan sebagai Mu’min sejati?” Beliau menjawab: “Mu’min sejati adalah orang yang setiap sore hari selalu meneliti dari mana makanannya berasal.

Catatan:

  1. 9). Dalam riwayat lain, disebutkan: “Halal itu jelas dan haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara samar (syubuhat) yang tidak diketahui orang banyak. Barang siapa menjaga diri dari perkara yang samar, maka ia telah memelihara agama dan kehormatannya. Dan barang siapa terjerumus ke dalam perkara yang samar, maka ia bisa terjatuh kepada yang haram, bagaikan seorang penggembala yang suka menggembala di tepi jurang, yang akhirnya akan terjatuh ke dalam jurang. Waspadalah, setiap raja mempunyai wilayah terlarang, dan zona larangan Allah s.w.t. adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ingatlah, dalam setiap jasad ada segumpal daging, jika ia terpelihara, maka seluruh jasad akan ikut terpelihara. Namun, jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad tersebut. Ia adalah hati.
  2. 10). Dalam sebuah riwayat yang lain, Nabi Muḥammad s.a.w. pernah bersabda: Beliau lalu menyebutkan tentang seseorang yang telah pergi berjalan jauh dan mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berkata: “Ya Allah! Ya Allah! Ya Tuhan!, sedangkan ia makan makanan yang haram dan berpakaian yang haram pula, bagaimana doanya akan dikabulkan?

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *