Zakat Binatang Ternak – Kitab Zakat – Fikih Empat Madzhab (2/2)

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 004 Kitab Zakat - Fikih Empat Madzhab

[……] (736) (Lanjutan Bab Sebelumnya).

  1. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa awal Nishāb pada kambing adalah 40 ekor. Bila telah mencapai 40 ekor maka zakatnya 1 ekor kambing, kemudian tidak ada zakat lagi meskipun bertambah dari 40 ekor sampai mencapai 120 ekor, jadi yang wajib tetap 1 ekor kambing. Apabila lebih satu dari 120 ekor (yakni 121 ekor) maka zakatnya 2 ekor kambing sampai mencapai 200 ekor. Apabila lebih satu dari 200 ekor maka zakatnya 3 ekor kambing hingga mencapai 300 ekor. Apabila mencapai 400 ekor maka zakatnya 4 ekor kambing. Kemudian setiap 100 ekor zakatnya 1 ekor kambing. Ini berlaku untuk domba dan biri-biri (sejenis kambing kacang). (7371).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang memiliki 20 ekor kambing lalu kambing-kambing tersebut melahirkan 20 anak kambing.

Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad – dalam riwayat yang masyhur – berkata: “Satu tahunnya dimulai lagi sejak Nishāb-nya genap.”

Mālik dan Aḥmad dalam riwayat lain berkata: “Apabila telah berlalu 1 tahun sejak induk betinanya melahirkan anak maka wajib mengeluarkan zakat.” (7382).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang anak kambing, domba jantan dan anak sapi yang mencapai Nishāb sedang mereka terpisah dari induk (ibu) mereka, apakah wajib mengeluarkan zakat?

Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Apabila seseorang memiliki 40 ekor anak kambing dan 30 ekor anak sapi (pedet) maka 1 tahunnya dimulai sejak memiliki jumlah tersebut. Begitu pula bila induk betinanya melahirkan anak lalu mati sebelum genap 1 tahun, maka 1 tahun untuk anak kambing dan anak sapi didasarkan pada 1 tahun yang berlaku pada induknya.”

Hanya saja Mālik berkata: “Zakat yang dikeluarkan adalah domba berusia 6 bulan atau biri-biri (kambing kacang) berusia 1 tahun.”

Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak wajib mengeluarkan zakat dan sah penetapan 1 tahunnya. Hitungan 1 tahun untuk induk betina tidap perlu disempurnakan, kecuali bila ada induknya yang tersisa meskipun hanya 1 ekor.”

Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari Aḥmad. (7393).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang kambing campuran dari hasil perkawinan silang antara kijang dengan kambing, atau antara sapi betina jinak dengan sapi liar.

Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila yang betina liar maka tidak wajib mengeluarkan zakat, sedangkan bila yang betina jinak maka wajib mengeluarkan zakat.”

Pendapat Mālik juga sama dengan pendapat Abū Ḥanīfah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashr. (7404).

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Tidak wajib mengeluarkan zakatnya.”

Aḥmad berkata: “Wajib mengeluarkan zakatnya, baik induk betinanya jinak dan induk jantannya liar atau induk betinanya liar dan induk jantannya jinak.” (7415).

 

  1. Mereka berbeda pendapat apabila kambingnya besar-besar, mana yang diambil sebagai zakat?

Abū Ḥanīfah berkata: “Zakatnya diambil dari dua jenis sekaligus, baik domba maupun biri-biri berusia 1 tahun ke atas.”

Mālik berkata: “Yang diambil hanya domba berusia 6 bulan ke atas.”

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Yang diambil hanya domba berusia 6 bulan dan biri-biri berusia 1 tahun ke atas.” (7426).

 

  1. Mereka berbeda pendapat bila seseorang memiliki kambing yang semuanya betina atau terdiri dari jantan dan betina atau hanya jantan saja, mana yang diambil zakatnya dari masing-masing jenis tersebut?

Abū Ḥanīfah berkata: “Boleh mengambil yang jantan dari masing-masing jenis tersebut.”

Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Apabila semuanya betina atau jantan dan betina maka yang sah hanya yang betina, sedangkan bila semuanya jantan maka yang sah hanya jantan.” (7437).

Definisi-Definisi Istilah yang Disebutkan Dalam Bab Ini (7448).

Jadza‘ah dari domba: Anak kambing berusia 6 bulan.

Tsaniyyah dari kambing kacang: Kambing berusia 1 tahun.

Bintu Makhadh: Anak onta betina berusia 1 tahun yang sedang masuk tahun kedua. Dinamakan demikian karena induknya merasakan sakit saat melahirkannya.

Ibnu Labūn: Anak onta jantan berusia 2 tahun yang sedang masuk tahun ketiga.

Bintu Labūn: Anak onta betina berusia 2 tahun dan sedang masuk tahun ketiga. Dinamakan demikian karena induknya saat itu memiliki air susu.

Ḥiqqah: Onta betina berusia 3 tahun yang sedang masuk tahun keempat. Dinamakan demikian karena ia sudah bisa ditunggangi dan dijadikan binatang pemuat barang. Untuk jantan disebut Ḥiqqun. Ada pula yang mengatakan bahwa disebut demikian karena ia sudah bisa didekati pejantan.

Jadza‘ah dari onta: Onta berusia 4 tahun yang sedang masuk tahun kelima. Ia adalah usia paling tua yang diambil zakatnya.

Tābi‘: Anak sapi berusia 1 tahun.

Musinnah: Anak sapi berusia 2 tahun.

Nishāb: Kadar yang berkaitan dengan kewajiban zakat.

Waqsh: Jumlah di antara dua kewajiban zakat. Kata ini bisa diucapkan Waqash dan bisa pula Waqsh.

Sā’imah: Binatang ternak yang dalam 1 tahun lebih banyak mencari rumput sendiri (digembalakan dengan dibiarkan bebas mencari makan sendiri).

Bab: Khulthah.

  1. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa Khulthah (hewan zakat yang kepemilikannya berserikat) mempengaruhi wajibnya zakat pada binatang ternak. Hanya saja Abū Ḥanīfah berkata: “Ia tidak berpengaruh padanya.”

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah ia berpengaruh pada selain binatang ternak?

Mālik, Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – , dan asy-Syāfi‘ī – dalam salah satu dari dua pendapatnya – berkata: “Ia tidak berpengaruh padanya.”

Asy-Syāfi‘ī dalam pendapat lainnya dan Aḥmad dalam riwayat lainnya berkata: “Ia berpengaruh pada seluruh harta.”

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang kadarnya.

Mālik berkata: “Pengaruhnya adalah bahwa masing-masing mencapai Nishāb.”

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Pengaruh pada yang demikian hukumnya sah dan masing-masing dari keduanya kurang dari Nishāb.” (7459).

Catatan:

  1. 737). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/472), al-Ijma‘ karya Ibu-ul-Mundzir (29), dan al-Istidzkār (2/183).
  2. 738). Lih. al-Istidzkār (2/198), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/473), al-Mughnī (2/370), dan al-Majmū‘ (5/241).
  3. 739). Lih. al-Hidāyah (1/108), al-Mughnī (2/473), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/453), dan Raḥmat-ul-Ummah (77).
  4. 740). Dia adalah al-Qādhī ‘Abd-ul-Wahhāb Abū Muḥammad bin Nashr. Dia wafat pada tahun 422 Hijriyyah. Biografinya telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya.
  5. 741). Lih. asy-Syarḥ-ul-Kabīr (2/435), al-Majmū‘ (5/311), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/453).
  6. 742). Lih. al-Mughnī (2/473), al-Majmū‘ (5/393), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/455), dan at-Taḥqīq (4/313).
  7. 743). Lih. al-Majmū‘ (5/392), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/460), al-Hidāyah (1/107), dan Raḥmat-ul-Ummah (77).
  8. 744). Judul ini dibuat oleh peneliti (Muḥaqqiq) untuk memudahkan pembaca dalam memahami isi buku ini.
  9. 745). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/473), al-Muhadzdzab (1/278), al-Mughnī (2/476), dan at-Taḥqīq (4/314).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *