Hukum Orang yang Menolak Membayar Zakat – Kitab Zakat – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 004 Kitab Zakat - Fikih Empat Madzhab

Bab: Hukum Orang yang Menolak Membayar Zakat.

 

  1. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa orang yang menolak membayar zakat karena menganggapnya boleh dan tidak meyakini kewajibannya hukumnya kafir keluar dari Islam, bila dia bukan termasuk orang yang baru masuk Islam. Sedangkan bila dia baru masuk Islam maka harus diberitahu terlebih dahulu tentang hukum-hukumnya. Bila dia tetap tidak mau mengakui kewajibannya maka dia dibunuh karena telah kafir setelah disuruh bertobat terlebih dahulu. (7991).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang meyakini kewajibannya tapi tidak mau membayarnya dan bahwa memerangi orang yang memungutnya, apakah dia kafir atau tidak?

Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia tidak kafir.”

Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada beberapa riwayat yang berbeda darinya. Diriwayatkan darinya (Pertama) bahwa pelakunya kafir dan harus dibunuh setelah harta zakat tersebut diminta kembali dan setelah disuruh bertobat. Kedua, dia harus diperangi dan dibunuh bila tidak mau membayarnya, tapi tidak kafir.

Ibnu Ḥabīb, salah seorang ‘ulamā’ madzhab Mālikī berkata: “Bila dia tidak membayar zakat karena meremehkannya (melecehkannya) maka dia kafir. Begitu pula orang yang meninggalkan puasa, haji dan seluruh rukun Islam.

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang meyakini kewajibannya tapi tidak mau membayar zakat karena bakhil dan kikir dan tidak melawan orang-orang yang memungutnya.

Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia tidak kafir dan tidak dibunuh.”

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang tindakan yang harus dilakukan terhadapnya (pada no. 593).

Abū Ḥanīfah, “Dia harus diminta membayarnya dan dipenjara sampai mau membayar.”

Asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Qadīm-nya berkata: “Zakatnya harus diambil bersama separuh hartanya.” (8002).

Sedangkan dalam Qaul Jadīd-nya dia berkata: “Zakatnya harus diambil dan dia dimaafkan.” Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Mālik.

Aḥmad berkata: “Penguasa harus menagihnya dan menyuruhnya bertobat selama 3 hari. Bila dia mau membayarnya maka dibiarkan, tapi bila tidak maka dia harus dibunuh, hanya saja dia tidak dihukumi kafir.”

 

Catatan:

  1. 799). Lih. al-Majmū‘ (5/307), al-Mughnī (2/434), dan asy-Syarh-ul-Kabir (2/667).
  2. 800). Qaul Qadīm Imām asy-Syāfi‘ī di atas diperkuat dengan hadits riwayat an-Nasā’ī yang diriwayatkan dari jalur Bahz bin Ḥakīm bahwa dia berkata: Ayahku menceritakan kepadaku dari kakekku bahwa dia berkata: Aku mendengar Nabi s.a.w. bersabda:

    Setiap onta yang mencari rumput sendiri (dengan digembalakan), untuk setiap 40 ekor zakatnya seekor Binti Labūn. Tidak boleh dipisahkan anak onta itu untuk mengurangi perhitungan zakat. Barang siapa memberinya karena mengharap pahala, ia akan mendapat pahala. Barang siapa menolak untuk mengeluarkannya, kami akan mengambilnya beserta setengah hartanya karena ia merupakan perintah keras dari Tuhan kami. Keluarga Muḥammad tidak halal mengambil zakat sedikit pun.” (HR. an-Nasā’ī (2443), Abū Dāūd (1575).)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *