Harta Terpendam – Kitab Zakat – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 004 Kitab Zakat - Fikih Empat Madzhab

Bab: Harta Terpendam.

 

  1. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa zakat harta terpendam (Rikāz) adalah 1/5. Rikāz adalah harta terpendam pada masa Jahiliyyah untuk semua jenis harta. Kecuali asy-Syāfi‘ī yang mengatakan dalam Qaul Jadīd-nya: “Tidak wajib mengeluarkan seperlima kecuali untuk emas dan perak saja.” Pendapat ini juga dinyatakan oleh Mālik.

Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila harta tersebut ditemukan di padang pasir negeri musuh (negara kafir) maka tidak dipungut seperlima, dan ia menjadi milik orang yang menemukannya.” (7921).

 

  1. Mereka sepakat bahwa Nishāb tidak berlaku dalam harta terpendam. Kecuali menurut salah satu dari dua pendapat asy-Syāfi‘ī bahwa Nishāb berlaku padanya.” (7932).

 

  1. Mereka sepakat bahwa perhitungan 1 tahun tidak berlaku dalam harta terpendam. (7943).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang penyaluran zakat harta terpendam.

Pendapat Abū Ḥanīfah sama dengan pendapatnya tentang zakat tentang tambang.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Penyalurannya adalah seperti penyaluran zakat barang tambang.”

Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat.

Pertama, penyalurannya (pembagiannya) seperti penyaluran harta Fai.

Kedua, penyalurannya seperti penyaluran zakat.

Mālik berkata: “Harta terpendam, ghanīmah, Jizyah, pungutan yang diambil dari pedagang kafir Dzimmī, harta yang diambil ketika mengadakan perjanjian damai dengan orang-orang kafir dan harta yang merupakan hasil tanah, semuanya disalurkan sesuai kebijakan Imām (penguasa) sesuai jumlah yang dibutuhkan.” (7954).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang menemukan harta terpendam di rumahnya yang asalnya merupakan milik orang lain.

Abū Ḥanīfah berkata: “Harta tersebut diambil seperlimanya lalu sisanya untuk pemilik tanah dan ahli warisnya setelahnya. Bila ahli warisnya tidak ada maka untuk Bait-ul-Māl.”

Menurut ‘ulamā’ Mālikiyyah, dalam hal ini ada beberapa riwayat yang berbeda dari mereka. Di antara mereka ada yang mengatakan: “Ia menjadi milik orang yang menemukannya setelah diambil seperlimanya.”

Ada pula yang mengatakan: “Ia menjadi milik pemilik tanah yang pertama.”

Ada pula yang mengatakan: “Harus dilihat dulu tanah tempat ditemukannya harta tersebut. Bila ia dimiliki secara paksa maka ia menjadi milik pasukan yang menaklukkannya. Sedangkan bila ia dimiliki tanpa dengan peperangan maka menjadi milik orang yang mengadakan perjanjian damai di tanah tersebut.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Ia menjadi milik orang yang menemukannya bila dia mengklaimnya. Bila dia tidak mengklaimnya maka ia menjadi milik pemilik pertama.”

Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat darinya.

Pertama, ia menjadi miliknya setelah diambil seperlimanya.

Kedua, seperti pendapat Imām asy-Syāfi‘ī. (7965)

 

  1. Mereka sepakat bahwa tidak ada zakat atas semua barang yang keluar dari laut seperti mutiara, Marjān, Zabarjad, Anbar, minyak kesturi, ikan dan lainnya, meskipun mencapai Nishāb. Kecuali menurut salah satu dari dua riwayat dari Aḥmad bahwa apabila nilainya mencapai Nishāb maka wajib mengeluarkan zakatnya. Pendapat ini disepakati oleh Abū Yūsuf tapi hanya untuk mutiara dan Anbar. (7976).

 

  1. Mereka sepakat bahwa rumah tempat tinggi, pakaian yang dipakai di tubuh, perabotan rumah tangga, binatang tunggangan, pelayan dan senjata-senjata yang digunakan tidak ada zakatnya. (7987).

Catatan:

  1. 792). Lih. al-Majmū‘ (6/48), al-Ijma‘ (32), al-Hidāyah (1/116), dan al-Mughnī (2/613).
  2. 793). Lih. al-Mughnī (2/618), al-Majmū‘ (6/57), dan Raḥmat-ul-Ummah (82).
  3. 794). Lih. al-Mudawwanah (2/404), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/551), al-Mughnī (2/619), dan al-Majmū‘ (6/58).
  4. 795). Lih. al-Majmū‘ (6/60), Raḥmat-ul-Ummah (82), al-Mughnī (2/614), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/547).
  5. 796). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/548), al-Mughnī (2/612), al-Istidzkār (3/148), dan al-Majmū‘ (6/48).
  6. 797). Lih. al-Mughnī (2/619), al-Hidāyah (1/117), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/554), dan al-Majmū‘ (6/38).
  7. 798). Masalah ini merupakan masalah pertama yang dibahas dalam pembahasan zakat yang ada di buku yang dicetak.
    Lih. al-Hidāyah (1/104), dan al-Isyrāf (2/167).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *