Zakat Barang Dagangan – Kitab Zakat – Fikih Empat Madzhab (1/2)

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 004 Kitab Zakat - Fikih Empat Madzhab

Bab: Zakat Barang Dagangan. (7621)

 

  1. Tentang binatang ternak, keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa barang dagangan wajib dizakati bila nilainya telah mencapai Nishāb perak dan emas, dan zakatnya adalah 1/40 (seperempat puluh). (7632).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang penetapan wajibnya berdasarkan genap 1 tahun.

Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Apabila telah genap 1 tahun maka harus ditaksir nilainya. Bila nilainya telah mencapai Nishāb maka wajib dikeluarkan zakatnya.”

Mālik berkata: “Apabila dia tidak mengetahui kondisi pasar maka dia boleh menunggu satu bulan dalam tahun tersebut untuk menaksir harganya lalu mengeluarkan zakatnya dengan emas dan perak yang dia miliki. Sedangkan bila dia menunggu kondisi pasar maka dia tidak wajib menaksir nilainya setiap tahun sampai dia menjualnya dengan emas atau perak lalu mengeluarkan zakatnya untuk 1 tahun.” (7643).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah zakat pada barang dagangan wajib pada nilainya (harganya) atau bendanya?

Abū Ḥanīfah berkata: “Zakat pada barang dagangan wajib pada bendanya, tapi yang dianggap tetap nilainya. Apabila ia telah mencapai Nishab, bila dia mau dia bisa mengeluarkan 1/40 dari jenisnya, dan bila mau dia juga boleh mengeluarkn 1/40 dari nilainya.”

Mālik dan Aḥmad berkata: “Zakat wajib pada nilainya, bukan pada bendanya, dan ia dikeluarkan dari nilainya.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Yang wajib adalah mengeluarkan dengan nilainya.”

Dalam hal ini hanya ada satu pendapat. Lalu apakah zakatnya dikeluarkan dari bendanya atau dari nilainya? Dalam hal ini ada dua pendapat. (7654).

 

559). Mereka berbeda pendapat tentang sifat penaksiran nilainya.

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Nilainya ditaksir dengan sesuatu yang paling berguna bagi orang-orang miskin baik harta benda atau mata uang, dan tidak berlaku apa yang dibeli dengannya.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Nilainya ditaksir dengan harga yang digunakan untuk membeli. Bila dia membeli barang dengan kompensasi (cara barter) maka harus ditaksir nilainya dengan mata uang negeri setempat.” (7665).

 

  1. Mereka berbeda pendapat apabila seseorang sengaja menghindar (melarikan diri) dari zakat, misalnya dia memberikan sesuatu sebelum genap 1 tahun.

Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Zakatnya gugur darinya meskipun dia telah berbuat salah.”

Mālik dan Aḥmad berkata: “Zakat tidak gugur darinya.” (7676).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah zakat wajib pada tanggungan atau pada harta?

Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Zakat wajib pada harta.”

Menurut asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada dua pendapat.

Pertama, zakat wajib pada harta.

Kedua, zakat wajib pada tanggungan.

Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada dua riwayat darinya.

Pertama, zakat wajib pada tanggungan. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqī. (7687).

Kedua, zakat wajib pada harta. (7698).

Faidah dari perbedaan pendapat ini adalah, bahwa apabila seseorang memiliki 40 ekor kambing dan telah genap 2 tahun, maka dia wajib mengeluarkan zakatnya untuk 2 tahun, menurut pendapat yang mengatakan bahwa zakat wajib pada tanggungan. Sedangkan bagi yang mengatakan bahwa zakat wajib pada harta maka dia wajib mengeluarkan zakat untuk 1 tahun.

 

  1. Mereka sepakat bahwa mengeluarkan zakat tidak sah kecuali dengan niat. (7709).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah boleh niat boleh didahulukan sebelum mengeluarkan zakat?

Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak sah mengeluarkan zakat kecuali dengan niat yang bersamaan dengan saat mengeluarkannya atau untuk membayar kadar yang wajib.”

Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Pembayaran zakat hukumnya sah bila dibarengi dengan niat.”

Aḥmad berkata: “Hukumnya disunnahkan. Apabila niat lebih dulu beberapa saat sebelum menyerahkan maka dibolehkan, sedangkan bila jeda waktunya lama maka tidak boleh, seperti Thahārah, haji dan shalat.” (77110).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang adanya kemampuan untuk membayar zakat, apakah ia merupakan syarat wajibnya zakat atau tidak?

Abū Ḥanīfah berkata: “Ia bukan syarat wajib zakat. Hanya saja bila harta rusak setelah wajib mengeluarkan zakat maka kewajiban zakat menjadi gugur, baik dia mampu membayarnya atau tidak.”

Mālik berkata: “Kemampuan untuk membayar merupakan syarat wajibnya. Apabila Nishāb-nya rusak atau sebagiannya rusak setelah ada kemampuan membayar maka zakat tetap wajib dibayar.”

Menurut asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada dua pendapat.

Pertama, sesungguhnya kemampuan membayar merupakan salah satu syarat wajibnya. Berdasarkan hal ini, apabila sebagian Nishāb rusak maka zakat gugur pada semua harta tersebut.

Kedua, ia merupakan salah satu syarat penjaminan. Berdasarkan pendapat ini maka zakat gugur bila hartanya rusak.

Berdasarkan dua pendapat ini mereka sepakat bahwa apabila harta rusak setelah ada kemampuan membayar maka kewajiban zakat tidak gugur.

Aḥmad berkata: “Adanya kemampuan membayar bukan syarat wajibnya zakat dan bukan pula syarat penjaminannya. Apabila harta rusak setelah genap 1 tahun maka zakat tetap menjadi tanggungannya, baik dia mampu membayar atau tidak.” (77211).

 

  1. Mereka sepakat bahwa boleh menyegerakan pembayaran zakat sebelum genap 1 tahun bila telah mencapai Nishāb. Kecuali Mālik yang mengatakan: “Tidak boleh menyegerakan pembayaran zakat (membayar sebelum waktunya).” (77312).

 

  1. Mereka sepakat bahwa tidak boleh menyerahkan harga dalam pembayaran zakat. Kecuali Abū Ḥanīfah yang mengatakan bahwa hukumnya boleh. (77413).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang berkurangnya Nishāb pada sebagian tahun, apakah ia menghalangi wajibnya zakat?

Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila Nishāb dicapai pada awal dan akhir tahun tapi berkurang di tengah tahun maka hal tersebut tidak menghalangi wajibnya zakat secara mutlak.”

Mālik dan Aḥmad berkata: “Berkurangnya Nishāb pada sebagian tahun menghalangi wajibnya zakat, dan tidak ada bedanya antara barang dagangan dengan harta benda lainnya.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Berkurangnya Nishāb pada barang dagangan tidak menghalagi wajibnya zakat. Adapun untuk harta benda lainnya maka ia menghalanginya.”

Pendapat ini sama dengan madzhab Mālik dan Aḥmad.

Aḥmad berkata: “Berkurangnya satu biji atau dua biji tidak mempengaruhi berkurangnya Nishāb.” (77514).

 

  1. Mereka sepakat bahwa barang yang dimanfaatkan tidak ada zakatnya sampai genap 1 tahun seperti harta benda lainnya. (77615).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang harta anak kecil dan orang gila.

Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak ada zakat pada harta keduanya.”

Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Ada zakat pada harta keduanya.” (77716).

 

  1. Mereka sepakat bahwa harta budak Mukātab tidak dipungut zakat. (77817).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang harta yang ada di tangan budak.

Abū Ḥanīfah, Aḥmad – dalam riwayat yang masyhur darinya – dan asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Jadīd-nya berkata: “Yang wajib membayar zakat majikannya.”

Asy-Syāfi‘ī dalam Qaul Qadīm-nya dan Aḥmad dalam riwayat lain berkata: “Yang membayar zakat si budak bila dia memilikinya.”

Pendapat ini berdasarkan pada masalah: Apabila majikan memberikan sesuatu kepada budaknya sebagai hak milik, apakah budak tersebut memiliki harta tersebut atau tidak?

Mālik berkata: “Apabila majikan memberikan harta kepada budaknya sebagai hak milik maka kewajiban membayar zakat gugur dari orang yang memberikan harta tersebut, karena ia telah keluar dari tangannya, disamping itu kepemilikannya bersifat terbatas.” (77918).

Catatan:

  1. 762). ‘Arūdh (barang dagangan) adalah barang-barang selain emas dan perak dengan berbagai jenisnya baik binatang, harta tak bergerak (tanah dsb.), pakaian dan harta lainnya. Lih. al-Mishbāḥ-ul-Munīr (242).
  2. 763). Lih. al-Ijma‘ karya Ibn-ul-Mundzir (34) dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/460).
  3. 764). Lih. al-Mughnī (2/623), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/430), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/482), dan al-Muhadzdzab (1/296).
  4. 765). Imām an-Nawawī menyebut pendapat ketiga dari asy-Syāfi‘ī, yaitu bahwa orang tersebut boleh memilih antara keduanya.

    Lih. al-Majmū‘ (6/28), al-Mughnī (2/624), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/428).

  5. 766). Lih. al-Hidāyah (1/112), al-Muhadzdzab (1/296), dan al-Mughnī (2/625).
  6. 767). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/453), dan al-Umm (3/64).
  7. 768). Lih. Mukhtashar-ul-Khiraqī (44).
  8. 769). Lih. al-Mughnī (2/536), al-Umm (3/43), al-Majmū‘ (5/345), dan at-Tanbīh (37).
  9. 770). Lih. al-Majmū‘ (6/157), Raḥmat-ul-Ummah (74), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/479).
  10. 771). Lih. al-Mughnī (2/495), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/511), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/489), dan Raḥmat-ul-Ummah (74).
  11. 772). Lih. al-Mughnī (2/539), al-Majmū‘ (5/342), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/545).
  12. 773). Lih. al-Mughnī (2/507), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/489), al-Hidāyah (1/111), dan Raḥmat-ul-Ummah (74).
  13. 774). Zhāhir madzhab dari Aḥmad adalah bahwa tidak boleh mengeluarkan harga untuk zakat (misalnya membayar zakat dalam bentuk uang dsb.). Akan tetapi ada riwayat lain dari Aḥmad bahwa untuk selain zakat fitrah boleh membayar zakat dengan harga.Abū Dāūd berkata: Aḥmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menjual buah-buahan yang ada di kebun kurmanya. Di menjawab bahwa sepersepuluhnya ditanggung oleh penjual. Kemudian dia ditanya: “Apakah dia boleh mengeluarkan kurma dan harganya?” Jawabnya: “Bila dia mau dia boleh mengeluarkan kurma dan bila mau dia boleh mengeluarkan harga.”Lih. asy-Syarḥ-ul-Kabīr (2/521), al-Majmū‘ (5/402), al-Hidāyah (1/109), dan at-Taḥqīq (4/323).
  14. 775). Lih. al-Hidāyah (1/112), al-Majmū‘ (6/16), (5/327), dan al-Mughnī (2/494).
  15. 776). Lih. al-Mughnī (2/492), al-Majmū‘ (4/305), dan at-Taḥqīq (4/305).
  16. 777). Lih. al-Hidāyah (1/103), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/446), Raḥmat-ul-Ummah (73), dan al-Mughnī (2/488).
  17. 778). Lih. al-Mughnī (2/490), Raḥmat-ul-Ummah (73), dan al-Hidāyah (1/104).
  18. 779). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/447), al-Mughnī (2/489), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/389), dan al-Majmū‘ (5/303).