Bab: Zakat Perhiasan.
- Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) berbeda pendapat tentang zakat perhiasan yang dibolehkan bila ia dipakai dan dipinjamkan.
Mālik dan Aḥmad berkata: “Tidak ada zakatnya.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Ada zakatnya”.
Menurut asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada dua pendapat seperti dua madzhab di atas. (7571).
- Mereka sepakat bahwa apabila seseorang menentang dan memakai bejana emas dan perak atau mengumpulkannya maka dia telah bermaksiat kepada Allah s.w.t. dan wajib mengeluarkan zakatnya. (7582).
- Mereka sepakat bahwa menyempurnakan Nishāb-nya hanya dengan menimbangnya. (7593).
- Mereka berbeda pendapat, apakah ia dizakati dengan nilainya atau dengan timbangannya (bobotnya)?
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila yang dibayarkan dari barangnya maka zakatnya 1/40 (Seperempat puluh). Sedangkan bila yang hendak dibayarkan dari selain jenisnya maka wajib ditaksir terlebih dahulu lalu dibayar 1/40 dari nilainya.”
Mālik berkata: “Zakatnya dikeluarkan berdasarkan timbangannya (bobotnya).”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Yang wajib adalah melihat sifatnya, bukan timbangannya (bobotnya). Jadi zakatnya dikeluarkan sesuai nilainya.” (7604).
- Mereka berbeda pendapat apabila seseorang memiliki 200 Dirham normal (tidak pecah) lalu membayarkan zakatnya dengan yang lain, apakah hukumnya sah?
Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila dia telah membayar dengan lima yang pecahan maka hukumnya sah meskipun tidak baik, dan dia tidak wajib mengeluarkan di antara keduanya.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Tidak sah, meskipun dia mengeluarkan sisanya.” Lalu apakah dia boleh menuntut kembali yang telah diberikan atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat fuqahā’ Syāfi‘iyyah.
Aḥmad berkata: “Bila dia membayarkan dengan pecahan maka harus dilihat perbedaan antara keduanya lalu dikeluarkan zakatnya dan hukumnya sah.”
Mālik berkata: “Tidak boleh mengeluarkan dengan selain yang wajib dizakati, kecuali untuk Dinar dan Dirham yang boleh mengeluarkan salah satunya untuk yang lainnya selama gantinya tidak mengurangi nilai asalnya.” (7615).
Catatan:
- 757). Lih. al-Majmū‘ (5/529), al-Hidāyah (1/112), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/422), at-Taḥqīq (4/361), dan al-Mughnī (2/603).
- 758). Lih. al-Majmū‘ (5/494), al-Mughnī (2/608), dan at-Talqīn (151).
- 759). Imām an-Nawawī mengutip Ijma‘ tentang masalah ini dalam kitabnya “al-Majmū‘.” Dia berkata: “Madzhab kami dan madzhab para ‘ulamā’ adalah yang menjadi acuan dalam Nishāb enas dan perak adalah timbangannya (bobotnya), bukan jumlahnya.”
Lih. al-Majmū‘ (5/504), al-Istidzkār (2/137), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/425). - 760). Lih. al-Majmū‘ (5/503), al-Mughnī (2/606), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/424), dan al-Istidzkār (2/138).
- 761). Lih. al-Majmū‘ (5/491), al-Mughnī (2/601), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/425), dan at-Talqīn (150).