Zakat Binatang Ternak – Kitab Zakat – Fikih Empat Madzhab (1/2)

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 004 Kitab Zakat - Fikih Empat Madzhab

Bab: Zakat Binatang Ternak.

 

  1. Tentang binatang ternak, keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa onta, sapi, dan kambing wajib dikeluarkan zakatnya. Inilah yang dimaksud Bahīmat-ul-An‘ām, dengan syarat ia merupakan binatang ternak. (7141).

 

  1. Mereka sepakat bahwa zakat pada tiga jenis di atas wajib dikeluarkan dengan syarat telah sempurna Nishāb-nya, tetapnya kepemilikan dan genap 1 tahun, dan pemiliknya harus merdeka lagi muslim. (7152).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah disyaratkan harus baligh dan berakal?

Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Tidak disyaratkan harus baligh dan berakal. Zakat juga wajib pada harta anak kecil dan orang gila.

Abū Ḥanīfah berkata: “Disyaratkan harus baligh dan berakal. Harta anak kecil dan orang gila tidak ada zakatnya.” (7163).

 

  1. Mereka sepakat bahwa zakat tidak wajib pada semua yang disebutkan di atas meskipun syarat-syaratnya terpenuhi kecuali bila semuanya merupakan binatang ternak yang digembalakan secara bebas. Kecuali Mālik yang mewajibkan zakat pada sapi dan onta yang digunakan untuk bekerja (‘Awāmil) dan kambing yang diberi makan, seperti yang dia wajibkan pada binatang ternak yang digembalakan secara bebas (Sā’imah) dan binatang ternak yang digembalakan secara liar tanpa penggembala (Ḥawāmil). (7174).

 

  1. Mereka sepakat bahwa Nishāb pertama pada onta adalah 5 ekor dan setiap 5 ekor zakatnya 1 ekor kambing, kemudian setiap 10 ekor zakatnya 2 ekor kambing, kemudian setiap 15 ekor zakatnya 3 ekor kambing, kemudian setiap 20-25 ekor zakatnya 4 ekor kambing. Apabila telah mencapai 26 ekor sampai 35 ekor, zakatnya 1 ekor Bintu Makhadh, yaitu anak onta berusia 1 tahun penuh. Apabila telah mencapai 36 sampai 45 ekor, maka zakatnya 1 ekor Bintu Labūn. Apabila telah mencapai 46 dampai 60 ekor, maka zakatnya 1 ekor Ḥiqqah. Apabila telah mencapai 61 sampai 75 ekor maka zakatnya 1 ekor Jadz‘ah. Apabila telah sampai 76 sampai 90 ekor, maka zakatnya 2 ekor Bintu Labūn. Apabila telah mencapai 91 sampai 120 ekor, maka zakatnya 2 ekor Ḥiqqah. (7185). Apabila lebih satu dari 120 ekor, maka para fuqahā’ berbeda pendapat sebagai berikut:

 

  1. Mereka berbeda pendapat dalam hal ini.

Abū Ḥanīfah berkata: “Perhitungan wajib zakatnya dimulai lagi setelah 120 ekor. Setiap lebih 5 ekor zakatnya 1 ekor kambing dan 2 ekor Ḥiqqah, sampai berjumlah 145 ekor. Apabila telah mencapai 145 ekor maka zakatnya 2 ekor Ḥiqqah dan 1 ekor Bintu Makhadh.”

Kemudian dia berkata: “Apabila telah mencapai 150 ekor maka zakatnya 3 ekor Ḥiqqah. Kemudian wajib zakatnya dimulai lagi dari awal, sehingga setiap 5 ekor zakatnya 1 ekor kambing dan 3 ekor Ḥiqqah, kemudian setiap 10 ekor zakatnya 2 ekor kambing, kemudian setiap 15 ekor zakatnya 3 ekor kambing, kemudian setiap 20 ekor zakatnya 4 ekor kambing, kemudian setiap 25 ekor zakatnya 1 ekor Bintu Makhadh, kemudian setiap 35 ekor zakatnya 1 ekor Bintu Labūn. Apabila telah mencapai 196 ekor maka zakatnya 4 ekor Ḥiqqah sampai berjumlah 200 ekor. Kemudian wajib zakatnya dimulai lagi seterusnya sebagaimana dimulai lagi setelah mencapai 50 ekor setelah 150 ekor.

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad dalam salah satu dari dua riwayatnya yang paling kuat mengatakan: “Bertambah 1 ekor akan merubah kewajiban (wajib zakatnya), sehingga setiap 121 ekor zakatnya 3 ekor Bintu Labūn. Kewajiban ini tetap berlaku pada 120 ekor, sehingga setiap 50 ekor zakatnya 1 ekor Ḥiqqah dan setiap 40 ekor zakatnya 1 ekor Bintu Labūn. Demikianlah peraturannya seterusnya.” (7196).

Aku (Ibnu Hubairah) berkata: “Inilah yang benar menurutku.”

Ada pula riwayat lain dari Aḥmad bahwa kewajibannya tidak berubah kecuali bila bertambah 10 ekor, sehingga tidak ada kewajiban zakat bila bertambah sampai mencapai 130 ekor. Jadi 2 ekor Ḥiqqah wajib diberikan sebagai zakat bila telah mencapai 91 sampai 129 ekor. Apabila mencapai 130 ekor maka zakatnya 1 ekor Ḥiqqah dan dua Bintu Labūn. Inilah pendapat yang dipilih oleh ‘Abd-ul-‘Azīz (7207), salah seorang ‘ulamā’ Ḥanābilah dan juga dinyatakan oleh Abū ‘Ubaid al-Qāsim bin Salām (7218) dan Muḥammad bin Isḥāq. (7229).

Menurut Mālik, ada dua riwayat darinya seperti dua riwayat dari Aḥmad. Hanya saja yang paling kuat menurut ‘ulamā’ Ḥanābilah adalah, yang diriwayatkan oleh Ibn-ul-Qāsim dan Ibnu ‘Abd-il-Ḥakam serta lainnya bahwa apabila jumlahnya lebih dari 120 ekor maka petugas zakatnya boleh memilih, apakah akan mengambil 3 Bintu Labūn atau 2 Ḥiqqah. Sedangkan riwayat lainnya diriwayatkan oleh ‘Abd-ul-Mālik bin ‘Abd-il-‘Azīz (72310) darinya, bahwa kewajiban zakat tidak berubah kecuali bila bertambah 10 ekor sampai menjadi 130 ekor. Apabila jumlahnya demikian maka diambil 1 ekor Ḥiqqah dari setiap 50 ekor dan 1 ekor Bintu Labūn dari setiap 40 ekor.

‘Ulamā’ Mālikiyyah mengatakan: “Inilah pendapat yang paling sah menurut Qiyās.” (72411).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang memiliki 5 ekor onta lalu dikeluarkan 1 ekor (sebagai zakat).

Abū Ḥanīfah dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya sah.”

Mālik dan Aḥmad berkata: “Tidak sah, yang wajib hanya mengeluarkan 1 ekor kambing (sebagai zakat).” (72512).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang memiliki 25 ekor onta sementara dia tidak memiliki 1 ekor Bintu Makhadh atau Ibnu Labūn (untuk dikeluarkan sebagai zakat).

Mālik dan Aḥmad berkata: “Dia wajib membeli 1 ekor Bintu Makhadh.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Dia boleh memilih, apakah akan membelinya atau membeli Ibnu Labūn.”

Abū Ḥanīfah berkata: “Yang sah adalah Bintu Makhadh atau barang yang senilai dengannya.” (72613).

 

  1. Mereka sepakat bahwa onta Khurāsān dan onta yang bagus, baik jantan maupun betina, hukumnya sama. (72714).

 

  1. Mereka sepakat bahwa onta-onta yang masih muda diambil yang kecil darinya, onta-onta sakit diambil yang sakit darinya, dan apabila onta bunting diambil sebagai ganti dari onta yang tidak bunting maka dibolehkan. Hanya saja Mālik berkata: “Boleh mengambil onta sehat dari onta-onta sakit dan onta besar dari onta-onta kecil. Onta bunting tidak boleh diambil untuk menggantikan onta yang tidak bunting.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Yang kecil diambil dari yang kecil hanya berlaku pada kambing saja.”

Para fuqahā’ Syāfi‘iyyah memiliki dua pendapat tentang anak sapi berumur satu bulan dan anak onta yang disapih. (72815).

 

  1. Mereka sepakat bahwa Nishāb pertama pada sapi adalah 30 ekor. Apabila telah mencapai 30 ekor maka zakatnya 1 ekor Tābi‘ (anak sapi berusia genap 1 tahun) jantan atau betina. Apabila telah mencapai 40 ekor maka zakatnya 1 ekor Musinnah (sapi betina berusia 2 tahun penuh dan sedang masuk tahun ketiga). (72916).

 

  1. Mereka berbeda pendapat dalam hal ini.

Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Kemudian tidak ada lagi zakatnya selain Musinnah hingga mencapai 59 ekor. Apabila telah mencapai 60 ekor maka zakatnya 2 ekor Tābi‘ hingga mencapai 69 ekor. Apabila telah mencapai 70 ekor maka zakatnya 1 ekor Tābi‘ dan Musinnah. Apabila telah mencapai 80 ekor maka zakatnya 2 ekor Musinnah. Apabila telah mencapai 90 ekor zakatnya 3 Tābi‘. Apabila telah mencapai 100 ekor maka zakatnya 2 ekor Tābi‘ dan 1 ekor Musinnah. Ketentuannya seperti ini seterusnya setiap bertambah 10 ekor, yaitu dengan mengeluarkan Tābi‘ dan Musinnah.”

Ada beberapa riwayat berbeda dari Abū Ḥanīfah tentang masalah ini. Ada riwayat darinya yang sependapat dengan madzhab jamā‘ah di atas. Dua muridnya, yaitu Abū Yūsuf dan Muḥammad, memilih riwayat ini. Ada pula riwayat lain darinya, bahwa tidak ada zakat untuk sapi yang lebih dari 40 ekor selain Musinnah sampai ia mencapai 50 ekor. Bila telah mencapai 50 ekor maka zakatnya 1 ekor Musinnah dan seperempatnya. Ada pula riwayat lain darinya yang dianut oleh para fuqahā’ Ḥanafiyyah sekarang, yaitu bila lebih dari 40 ekor maka hitungannya demikian sampai mencapai 60 ekor. Apabila lebih 2 ekor maka seperdua puluh (1/20) Musinnah, dan apabila lebih 3 ekor maka 3/4 Musinnah. (73017).

 

  1. Mereka sepakat bahwa kerbau dan sapi hukumnya sama. (73118).

 

  1. Mereka sepakat bahwa orang yang memiliki Nishāb pada sapi liar yang digembalakan secara bebas tidak ada zakatnya. Kecuali Aḥmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya, bahwa dia mewajibkan zakat pada sapi liar. (73219).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang binatang ternak yang jumlahnya di antara 2 jumlah wajib zakat (misalnya jumlahnya antara 5-10 ekor seperti 6 sampai 9), apakah wajib mengeluarkan zakatnya pada jumlah ini dan jumlah Nishāb atau yang wajib hanya yang mencapai Nishāb saja?

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Zakat hanya wajib pada binatang ternak yang telah mencapai Nishāb.”

Menurut Mālik, dalam hal ini ada dua riwayat darinya.

Pertama, zakat wajib pada jumlah yang mencapai Nishāb dan jumlah di antara dua kewajiban (Waqsh).

Kedua, zakat hanya wajib pada jumlah yang mencapai Nishāb saja, bukan jumlah yang ada di antara dua kewajiban (Waqsh).

‘Abd-ul-Wahhāb berkata: “Inilah pendapat yang kuat dalam madzhabnya.”

Menurut asy-Syāfi‘ī, dalam hal ini ada dua pendapat seperti dua riwayat. Hanya saja yang paling kuat adalah bahwa wajib mengeluarkan zakat pada jumlah yang mencapai Nishāb, bukan jumlah di antara dua kewajiban. (73320).

 

  1. Mereka sepakat bahwa apabila kuda dijadikan barang dagangan maka ada zakatnya untuk yang senilai dengannya bila telah mencapai Nishāb.

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang zakat kuda yang tidak dijadikan barang dagangan.

Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Tidak ada zakatnya bila tidak dijadikan barang dagangan.”

Abū Ḥanīfah berkata: “Apabila kuda digembalakan secara bebas maka ada zakatnya, baik jantan maupun betina. Sedangkan bila hanya jantan saja maka tidak ada zakatnya. Pemilik satu jenis wajib mengeluarkan zakatnya dan boleh memilih. Bila dia mau dia bisa memberikan 1 Dinar untuk setiap kuda, dan bila mau dia juga bisa menaksir harganya lalu memberikan 5 Dirham dari setiap 200 Dirham. Genap 1 tahun dan Nishāb-nya dihitung sejak awal tahun bila dia membayar dengan Dirham setelah ditaksir nilainya. Sedangkan bila dia membayar berdasarkan jumlahnya tanpa penaksiran harga maka dia harus membayar 1 Dinar untuk setiap kepala bila telah genap 1 tahun. Ada pula riwayat lain darinya, yaitu bahwa yang memilih adalah petugas penarik zakat. (73421).

 

  1. Mereka sepakat bahwa Baghal (peranakan kuda dan keledai) dan keledai yang dijadikan barang dagangan ada zakatnya. Hukum yang berlaku padanya seperti hukum barang dagangan, yaitu bahwa harus genap 1 tahun dan mencapai Nishab dengan ditaksir harganya. (73522).

 

  1. Mereka sepakat bahwa apabila Baghal dan keledai tidak dijadikan barang dagangan maka tidak ada zakatnya.

Catatan:

  1. 714). Lih. al-Istidzkār (2/127), al-Ijmā‘ karya Ibn-ul-Mundzir (28).
  2. 715). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/446), al-Hidāyah (1/103), dan al-Majmū‘ (5/297).
  3. 716). Lih. al-Majmū‘ (5/302), al-Hidāyah (1/103), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/386), dan al-Mughnī (2/488).
  4. 717). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/457), Raḥmat-ul-Ummah (75), al-Majmū‘ (5/324), dan al-Mughnī (2/438).
    ‘Awāmil adalah binatang ternak yang digunakan untuk pertanian, mengangkut barang-barang dan mengairi sawah ladang.
    Sā’imah adalah binatang yang digembalakan tanpa biaya (secara liar dan alami).
    Ḥawāmil adalah binatang ternak yang dibiarkan di alam bebas tanpa penggembala.
    Lih. al-Mishbāḥ-ul-Munīr (390).
  5. 718). Lih. al-Majmū‘ (5/365), al-Mughnī (2/445), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/467), dan al-Hidāyah (1/105).
  6. 719). Lihat masalah ke-17 yang di dalamnya terjadi perselisihan pendapat antara al-Khiraqī dengan Abū Bakar ‘Abd-ul-‘Azīz dalam Thabaqāt-ul-Ḥanābilah (2/74). Pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hubairah tadi adalah yang dipilih oleh al-Khiraqī. Lih. Mukhtashar-ul-Khiraqī (41).
  7. 720). Dia adalah Abū ‘Ubaid al-Qāsim bin Salām al-Baghdādī, seorang imam ahli bahasa, fikih, hadits dan al-Qur’ān. Isḥāq bin Rahawaih berkomentar tentangnya: “Kami butuh kepadanya, sementara dia tidak butuh kepada kita.”
    Al-Ḥarbī berkomentar tentangnya: “Dia seperti bukit yang ditiupkan roh di dalamnya.”
    Di antara karya-karyany adalah Gharīb-ul-Ḥadīts yang dikarangnya selama 40 tahun dan al-Amwāl. Dia wafat pada tahun 224 Hijriyyah.
    Lih. al-Bidāyatu wan-Nihāyah (10/316).
  8. 721). Dia adalah Muḥammad bin Isḥāq bin Yasar Abū Bakar al-Madanī, pengarang kitab as-Sīrat-un-Nabawiyyah.
    Az-Zuhrī berkomentar tentangnya: “Di Madīnah senantiasa ada banyak ilmu selama ada Ibnu Isḥāq di dalamnya.”
    Dia wafat pada tahu 152 Hijriyyah. Lih. as-Siyar (7/30).
  9. 722). Dia adalah ‘Abdullāh bin ‘Abd-il-Ḥakam bin A‘yun bin al-Laits. Dia seorang laki-laki shalih yang Tsiqah yang menjadi peneliti dalam madzhab Mālikī. Dia adalah ahli fikih yang sangat jujur, cerdas dan santun. Di Mesir dia menjadi guru besar para ‘ulamā’ setelah Asyhab. Dia adalah teman Imām asy-Syāfi‘ī. Di antara karya-karyanya adalah: al-Mukhtashar-ul-Kabīr, al-Ausath, al-Ashghar, al-Aḥwāl. Dia wafat pada tahun 291 Hijriyyah. Lih. ad-Dibāj-ul-Madzhab (1/364).
  10. 723). Dia adalah ‘Abd-ul-Mālik bin ‘Abd-il-‘Azīz bin ‘Abdillāh bin Abī Salamah al-Majisyūn Abū Marwān, seorang ‘ulamā’ Madīnah bermadzhab Mālikī. Di antara karyanya adalah: Riḥlah Kitāb Kabīr dalam bidang fikih. Al-Majisyūn adalah nama jenis pewarna yang dibuat di Madīnah. Dia wafat pada tahun 212 Hijriyyah. Lih. Hadiyyat-ul-‘Ārifīn (1/623), al-Fihrist (1/199).
  11. 724). Lih. al-Mughnī (2/445) dst., al-Hidāyah (1/106), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/443), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/467), at-Taḥqīq (4/291), dan al-Majmū‘ (5/356).
  12. 725). Lih. al-Majmū‘ (5/360), al-Mughnī (2/440), dan Raḥmat-ul-Ummah (76).
  13. 726). Lih. al-Mughnī (2/442), al-Majmū‘ (5/367), dan Raḥmat-ul-Ummah (76).
  14. 727). Lih. al-Hidāyah (1/106), asy-Syarḥ-ul-Kabīr (2/512), dan Raḥmat-ul-Ummah (76).
  15. 728). Lih. at-Talqīn (162), al-Mabsūth (2/212), al-Mughnī (2/466), dan al-Muhadzdzab (1/276).
  16. 729). Lih. al-Mughnī (2/456), Raḥmat-ul-Ummah (76), al-Hidāyah (1/106), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/471).
  17. 730). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/471), al-Mughnī (2/457), al-Hidāyah (1/106), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/447).
  18. 731). Lih. al-Ijmā‘ karya Ibn-ul-Mundzir (29).
    Ibnu Qudamah berkata: “Sejauh yang kami ketahui tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini.” Lih. al-Mughnī (2/459).
  19. 732). Lih. al-Mughnī (2/459).
  20. 733). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/447), at-Talqīn (161), al-Majmū‘ (5/359), dan at-Taḥqīq (4/299).
  21. 734). Lih. al-Majmū‘ (5/311), dan at-Taḥqīq (4/329), al-Hidāyah (1/108), dan at-Talqīn (149).
  22. 735). Lih. al-Hidāyah (1/108), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/466), al-Mughnī (2/486), dan at-Talqīn (149).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *