Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir asy-Syaukani (3/7)

Dari Buku:
TAFSIR FATHUL-QADIR
(Jilid 12, Juz ‘Amma)
Oleh: Imam asy-Syaukani

Penerjemah: Amir Hamzah, Besus Hidayat Amin
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Munir – asy-Syaukani

(فَقَالَ إِنْ هذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ) “lalu dia berkata: “(al-Qur’ān) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu)” Yakni, ia mempelajarinya dari orang lain dan meriwayatkan darinya. Sihir adalah menampakkan kebatilan dalam gambar kebenaran, atau tipuan sesuai yang telah dijelaskan di dalam surah al-Baqarah. Dikatakan: engkau meriwayatkan hadits secara keseluruhan, apabila engkau menyebutkannya dari selainmu. Di antara contoh penggunaan lafazh ini adalah perkataan al-A‘sya:

إِنَّ الَّذِيْ….. فِيْهِ تَحَاربْتُمَا بَيْن لِلسَّامِعِ وَ الْأَثِرِ

Sesungguhnya yang kalian berdua perdebatkan itu nampak jelas bagi yang mendengar dan memperhatikan.”

(إِنْ هذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ) “ini tidak lain hanyalah perkataan manusia” Yakni, ini merupakan kata-kata manusia dan bukan ucapan Allah, ini merupakan penguat untuk yang sebelumnya. Juga, nanti akan dijelaskan bahwa al-Walīd bin al-Mughīrah mengucapkan perkataan ini untuk menyenangkan kaumnya bahwa ia memiliki cita rasa yang tinggi dan pesona yang mengagumkan, hingga akhir perkataan.

Ketika al-Walīd bin al-Mughīrah mengungkapkan perkataan ini, sesuai yang diceritakan oleh Allah, maka Allah s.w.t. berfirman: (سَأُصْلِيْهِ سَقَرَ) “Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.” Yakni, Aku akan memasukkannya (سأدخله) ke dalam neraka. Dan Saqar adalah salah satu neraka dan tingkatan neraka Jahannam. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kalimat ini merupakan badal dari firman-Nya: (سَأُرْهِقُهُ صَعُوْدًا) “Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan.”

Kemudian Allah lebih menegaskan lagi deskripsi tentang neraka dan dahsyatnya perkaranya. Dia berfirman: (وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ) “Tahukah kamu apakah (neraka) Saqar itu?” yakni, Apakah yang membuatmu mengetahui sesuatu itu? Orang-orang ‘Arab biasa mengatakan: (وَ مَا أَدْرَاكَ مَا كَذَا) “Tahukah kamu mengapa demikian”, manakala mereka ingin membesarkan perkaranya dan menggambarkan kedahsyatan urusannya. (مَا) yang pertama sebagai mubtada’ dan kalimat (مَا سَقَرُ) adalah khabar mubtada’.

Kemudian Allah menjelaskan perihalnya dan berfirman: (لَا تُبْقِيْ وَ لَا تَذَرُ) “Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan.” Kalimat ini sebagai permulaan untuk menjelaskan perihal Saqar dan mengungkap sifatnya. Suatu pendapat mengatakan ia adalah posisi nashab sebagai ḥāl, dan ‘āmil yang bertindak di sana adalah maka pengagungan, karena firman-Nya: (وَ مَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ) “Tahukah kamu apakah (neraka) Saqar itu?” menunjukkan pengagungan dan dramatisir. Seakan-akan Allah menyatakan: “Agungkanlah perihal Saqar dalam kondisi ini. Pendapat yang pertama lebih tepat.

Dan, maf‘ūl (obyek) dari kedua kata kerja ini dihilangkan. As-Suddī berkata: “Tidak meninggalkan daging dan tidak menyisakan tulang.” ‘Athā’ berkata: “Tidak membiarkan mati orang yang ada di dalamnya dan tidak membiarkannya hidup.” Ada yang mengatakan itu adalah dua kata yang memiliki arti yang sama, diulangi penyebutannya untuk menguatkan. Seperti perkataanmu: “Menjauhlah dariku dan enyahkah dari sisiku,”

(لَوَّاحَةٌ لِّلْبَشَرِ) “(Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia.” Jumhur ulama membaca (لَوَّاحَةٌ) dengan rafa‘ karena kedudukannya sebagai khabar mubtada’ yang maḥdzūf (dihilangkan). Ada yang mengatakan bahwa itu sebagai na‘t (sifat) untuk Saqar. Dan yang pertama lebih tepat. Al-Ḥasan, ‘Athiyyah al-‘Aufī, Nashr bin ‘Āshim, ‘Īsā bin ‘Umar, Ibnu Abī ‘Ablā, dan Zaid bin ‘Alī membaca dengan nashab sebagai ḥāl, atau pengkhususan terhadap (تهويل) “kedahsyatan”.

Dikatakan (لَاحَ يَلُوْحُ) yakni (ظهر) “tampak/jelas). Dan maknanya: Jelas bagi manusia. Al-Ḥasan mengatakan: “Neraka Jahannam menjadi nampak dan melampai (bergerak berayun-ayun – karena tinggi dan ramping) kepada manusia sehingga mereka menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.” Sebagaimana firman Allah: (وَ بُرِّزَتِ الْجَحِيْمُ لِمَنْ يَرَى) “Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat.” (an-Nāzi‘āt [79]: 36). Ada pendapat lain yang mengatakan: (لَوَّاحَةٌ لِّلْبَشَرِ) “(Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia.” Yakni, mengubah dan menghitamkan. Mujāhid berkata: Orang-orang ‘Arab biasa mengatakan: (لاَحَةُ الْحَرِّ وَ الْبَرْدِ وَ السَّقْمِ وَ الْحَزَنِ) apabila cuaca itu mengubahnya (mengubah manusia menjadi sakit dan sedih). Dan ini lebih tepat daripada yang pertama, dan yang dipegang oleh mayoritas ulama tafsir. Di antara contoh penggunaan lafazh ini adalah perkataan seorang penyair:

وَ تَعَجَّبُ هِنْدٌ أَنْ رَأَتْنِيْ شَاحِبَا تَقُوْلُ لِشَيْءٍ لَوَحته السَّمَايِمِ

Hindun terkejut melihatku bermuka pucat….
ia mengatakan bahwa racun telah mengubah sesuatu.

Yakni, mengubahnya. Juga perkataan Ru‘bah bin al-‘Ajjāj:

Yang dimaksud dengan “manusia”, entah kulit manusia bagian luar, sebagaimana dikatan oleh mayoritas ulama, atau maksudnya adalah penghuni neraka dari kalangan manusia, sebagaimana dikatakan oleh al-Akhfasy.

(عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ) “Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).” Para ahli tafsir berkata: Ada sembilan belas malaikat, dan mereka adalah penjaganya. Ada yang mengatakan sembilan belas barisan para malaikat, dan ada pula yang mengatakan sembilan belas kapten dan masing-masing kapten membawahi sekelompok malaikat. Pendapat yang pertama lebih tepat. Ats-Tsa’labah berkata: “Hal ini tidak diingkari, karena jika satu malaikat saja dapat mencabut seluruh jiwa makhluk, maka lebih memungkinkan sembilan belas malaikat untuk menyiksa sebagian makhluk.

Jumhur ulama membaca (تِسْعَةَ عَشَرَ) dengan harakat fatḥah pada syīn yang terdapat pada kata (عَشَر), sementara Abū Ja‘far Ibnu Qa‘qa‘ dan Thalḥah bin Sulaimān membaca dengan sukūn.

Diriwayatkan oleh al-Bukhārī, Muslim, dan lainnya dari Jābir bin ‘Abdullāh bahwa Abū Salamah bin ‘Abd-ir-Raḥmān berkata: Sesungguhnya ayat yang pertama kali diturunkan dari al-Qur’ān adalah (يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ.) “Hai orang yang berkemul (berselimut)” Lalu Yaḥyā bin Abī Katsīr mengatakan kepadanya: “Para ulama menyatakan bahwa ayat yang pertama kali turun adalah: (اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ) “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (al-‘Alaq: 1), maka Abū Salamah berkata: “Aku pernah bertanya kepada Jābir bin ‘Abdullāh mengenai hal itu, aku mengatakan kepadanya seperti yang kau katakan kepadaku, maka Jābir menjawab: “Aku sekali-kali tidak akan mengatakan sesuatu kepadamu kecuali apa yang dikatakan oleh Rasūlullāh kepada kami, beliau bersabda:

جَاوَرْتُ بِحِرَاء، فَلَمَّا قَضَيْتُ جَوَارِيْ هَبَطْتُ، فَنُوْدِيْتُ، فَنَظَرْتُ عَنْ يَمِيْنِيْ فَلَمْ أَرَ شَيْئًا، وَ نَظَرْتُ عَنْ شِمَالِيْ، فَلَمْ أَرَ شَيْئًا، وَ نَظَرْتُ خَلْفِيْ فَلَمْ أَرَ شَيْئًا، فَرَفَعْتُ رَأْسِيْ فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِيْ جَاءَنِيْ بِحَرَاء جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَ الْأَرْضِ، فَحَثَّيْتُ مِنْهُ رَعْبًا، فَرَجَعْتُ، فَقُلْتُ: دَثِّرُوْنِيْ فَدَثَّرُوْنِيْ، فَنَزَلَتْ: (يأَيُّهَا ٱلْمُدَّثّرُ. قُمْ فَأَنذِرْ) إِلَى قَوْلِهِ: (وَ ٱلرُّجْزَ فَٱهْجُرْ)

Aku berdiam diri di gua Hirā’, dan ketika selesai berdiamnya aku di sana, aku turun, lalu ada yang memanggilku, maka aku menoleh ke sisi kanan dan tidak melihat apa-apa, kemudian aku menoleh ke sisi kiri dan tidak melihat apa-apa, kemudian aku menoleh ke belakang dan tidak melihat apapun, kemudian aku mendongakkan kepalaku ke atas, dan ternyata malaikat yang mendatangiku di gua Hira’ itu tengah duduk di sebuah kursi antara langit dan bumi, aku pun merinding karena merasa takut kepadanya, maka aku pulang dan aku katakan (kepada Khadijah): “Selimutilah aku…..” ia pun menyelimutiku, lalu turunlah:Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunglah, lalu berilah peringatan!” – hingga firman-Nya – “dan perbuatan dosa tinggalkanlah.” (1641).

Di dalam penafsiran surah al-‘Alaq akan ada yang mengindikasikan bahwa ia adalah surah yang pertama kali diturunkan dari al-Qur’ān, dan hal ini mungkin dikombinasikan.

Al-Ḥākim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dan ia menilainya shaḥīḥ, mengenai: (يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ.) “Hai orang yang berkemul (berselimut)” Ibnu ‘Abbās berkomentar: “Kemaslah perkara ini dan laksanakanlah.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr, Ibnu Mundzir, Ibnu Abī Ḥātim, dan Ibnu Mardawaih darinya (Ibnu ‘Abbās) tentang (يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ.) “Hai orang yang berkemul (berselimut)”, dia berkomentar: “Orang yang tidur.”, tentang: (وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ) “dan pakaianmu, bersihkanlah,” ia berkomentar: “Jangan sampai pakaian yang kau kenakan itu berasal dari usaha yang batil.”, tentang: (وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ) “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah”, ia berkomentar: “Berhala-berhala”, tentang: (وَ لَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ) “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” Ia menjelaskan: “Janganlah kau memberi dan mencari-cari mengharapkan yang lebih baik dari yang kau berikan itu.”

Diriwayatkan oleh al-Firyābī, ‘Abd bin Ḥumaid, Ibnu Jarīr, Ibnu Mundzir, Ibnu Abī Ḥātim, al-Ḥākim dan ia menilainya shaḥīḥ darinya (Ibnu ‘Abbas) juga, tentang: (وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ) “dan pakaianmu, bersihkanlah,” ia berkomentar: “Dari kotoran dosa.” Dan biasa disebut dalam percakapan ‘Arab: “Memurnikan pakaian” Ibnu Mardawaih meriwayatkan darinya juga tentang: (وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ) “dan pakaianmu, bersihkanlah,” ia berkomentar: “Dari tindak penipuan dan pengkhianatan, janganlah kau menjadi penipu dan pengkhianat.”

Diriwayatkan oleh Sa‘īd bin Manshūr, ‘Abd bin Ḥumaid, Ibnu Jarīr, Ibnu Mundzīr, Ibnu Abī Ḥātim, Ibn-ul-‘Anbarī, Ibnu Mardawaih, dari ‘Ikrimah, darinya (Ibnu ‘Abbās), ia pernah ditanya mengenai firman-Nya: (وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ) “dan pakaianmu, bersihkanlah,” ia menjawab: “Janganlah kau mengenakannya untuk pengkhianatan dan bermaksiat.” Kemudian ia berkata: “Tidakkah kalian mendengar perkataan Ghilān bin Salamah:

وَ إِنِّيْ بِحَمْدِ اللهِ لَا ثَوْبَ فَاجِرٍ لَبِسْتُ وَ لَا مِنْ غَدْرَةٍ أَتَقَنَّعُ

Sesungguhnya aku, segala puji bagi Allah, tidak mengenakan
pakaian kemaksiatan dan tidak pula kain kesombongan.”

Ath-Thabrānī dan al-Baihaqī di dalam Sunan-nya darinya juga tentang: (وَ لَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ) “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak,” ia berkomentar: “Janganlah engkau memberi kepada seseorang dan menginginkan agar dia memberimu lebih banyak dari yang kau berikan.” Diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih darinya juga tentang: (فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ) “Apabila ditiup sangkakala”, ia berkomentar: “Terompet.”, tentang: (يَوْمٌ عَسِيْرٌ) “hari yang sulit”, ia berkomentar: “Keras”. Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan darinya tentang: (ذَرْنِيْ وَ مَنْ خَلَقْتُ وَحِيْدًا) “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian”, ia menjelaskan: “Al-Walīd bin al-Mughīrah.”

Diriwayatkan oleh al-Ḥākim dan ia menilainya shaḥīḥ dan al-Baihaqī di dalam ad-Dalā’il darinya juga bahwa al-Walīd bin al-Mughīrah mendatangi Nabi s.a.w dan beliau membacakan al-Qur’ān kepadanya, dan seakan-akan itu membuatnya terkesan. Kemudian hal itu disampaikan kepada Abū Jahal, dan Abū Jahal pun mendatanginya dan berkata: “Wahai paman, sesungguhnya kaummu akan mengumpulkan harta dan memberikannya kepadamu, dan engkau datang kepada Muḥammad untuk menawarkan yang sebelumnya.” Al-Walīd berkata: “Kaum Quraisy telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling banyak harta di antara mereka.” Abū Jahal berkata: “Maka ungkapkanlah hujatan padanya (al-Qur’ān) sehingga kaummu mengetahui bahwa kau mengingkari Muḥammad dan membencinya.” Al-Walīd berkata: “Lantas apa yang harus aku katakan? Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang lebih mengerti tentang syair daripada aku, tentang syair pujian dan celaan, tentang syair-syair jin, demi Allah, ini (al-Qur’ān) tidak menyerupai sedikit pun dari syair-syair itu. Demi Allah, apa yang dibacakannya itu memiliki cita rasa yang tinggi dan pesona yang mengagumkan, berbuah manis di atasnya, meninggikan yang rendah, ia begitu tinggi dan tidak ada yang menandinginya.” Abū Jahal berkata: “Demi Allah, kaummu tidak akan rela hingga engkau menghujatnya.” Maka al-Walīd berkata: “Baiklah, biarkah aku berfikir.” Kemudian setelah al-Walīd cukup berfikir, ia pun berkata: “Sesungguhnya al-Qur’ān itu adalah sihir dan Muḥammad mempelajarinya dari orang lain.” Maka turunlah firman Allah: (ذَرْنِيْ وَ مَنْ خَلَقْتُ وَحِيْدًا) “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian.” (1652).

‘Abd-ur-Razzāq juga meriwayatkan ini dari ‘Ikrimah secara mursal, juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr, Ibnu Isḥāq, Ibnu Mundzir, dan lainnya.

Ibnu Jarīr, Ibnu Abī Ḥātim, dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththāb, bahwa ia pernah ditanya tentang: (وَ جَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَّمْدُوْدًا) “Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak”, ia menjawab: “Dari penghasilan perbulan.” Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang: (وَ جَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَّمْدُوْدًا) “Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak”, ia berkomentar: “Seribu dinar.”

Catatan:

  1. 164). Muttafaq ‘alaih; al-Bukhārī (4924) dan Muslim (1/144).
  2. 165). Diriwayatkan oleh al-Ḥākim (2/506) dan ia berkomentar: “Shaḥīḥ berdasarkan syarat al-Bukhārī dan Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkan di dalam kitab keduanya, dan adz-Dzahabī menyepakatinya. Al-Baihaqī di dalam ad-Dalā’il (2/199, 200), Ibnu Katsīr melansirnya di dalam al-Bidāyatu wan-Nihāyah (3/16), Ibnu Katsīr berkata: “Adapun hadits al-Baihaqī dari sisi ini sangat janggal (gharīb jiddān). Saya katakan: Kisah ini dilansir oleh Ibnu Isḥāq di dalam al-Maghāzi bahwa ketika ‘Utbah bin Rabī‘ah mendatangi Nabi s.a.w., beliau membacakan kepadanya awal surah Fushshilat, dan ini hadits ḥasan. Wallāhu a‘lam.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *