Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir asy-Syaukani (5/7)

Dari Buku:
TAFSIR FATHUL-QADIR
(Jilid 12, Juz ‘Amma)
Oleh: Imam asy-Syaukani

Penerjemah: Amir Hamzah, Besus Hidayat Amin
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Muddatstsir 74 ~ Tafsir al-Munir – asy-Syaukani

Kemudian Allah membantah orang-orang yang mendustakan dan mengecam mereka. Dia berfirman: (كَلَّا وَ الْقَمَرِ.) “Sekali-kali tidak, demi bulan”, al-Farrā’ berkata: (كَلَّا) merupakan penghubung sumpah, asumsinya adalah: (وَ الْقَمَرِ.) “Demi bulan”. Ada yang berpendapat: “Benar, demi bulan.” Ibnu Jarīr berkata: maknanya: Bantahan untuk orang yang mengklaim dapat menghadapi para penjaga neraka, yakni: Kondisinya tidak seperti yang mereka katakan, kemudian Allah bersumpah akan hal itu dengan bulan dan dengan yang lain setelahnya. Inilah yang tepat dari makna ayat ini.

(وَ اللَّيْلِ إِذْ أَدْبَرَ.) “dan malam ketika telah berlalu”. Yakni: lewat. Jumhur ulama membaca (إِذَا) dengan tambahan alif, dan (دَبَرَ) dengan wazan (ضَرَبَ) sebagai zharaf untuk waktu yang akan datang. Sementara Nāfi‘, Ḥafsh, dan Ḥamzah membaca (إِذْ) tanpa alif, dan (أَدْبَرَ) dengan wazan (أَكْرَمَ) sebagai zharaf untuk waktu yang lampau. (دَبَرَ) dan (أَدْبَرَ) merupakan dua kata yang sama makna, seperti dikatakan (أقبل الزمان) dan (قبل الزمان), juga (دبر الليل) dan (أدبر الليل), apabila malam dan telah pergi dan berlalu.

(وَ الصُّبْحِ إِذَا أَسْفَرَ.) “dan shubuh apabila mulai terang”. Yakni: bersinar dan nampak jelas.

(إِنَّهَا لَإِحْدَى الْكُبَرِ) “Sesungguhnya Saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar”, ini adalah penimpal sumpah. Dan dhamīr yang ada kembali kepada Saqar. Yakni: Sesungguhnya Saqar itu merupakan salah satu malapetaka dan bencana yang sangat besar. (الْكُبَر) adalah jama‘ dari (كُبْرَى). Muqātil berkata: (الْكُبَر) adalah salah satu nama neraka. Ada yang mengatakan: (إِنَّهَا) “sesungguhnya ia” di sini, yakni: Pendustaan mereka terhadap Nabi s.a.w. mengenai salah satu bencana yang sangat besar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa datangnya Hari Kiamat merupakan salah satu bencana terbesar. Di antara contoh penggunaan kata ini adalah perkataan seorang penyair:

يَابْنَ الْمُعَلَّى نَزَلَتْ إِحْدَى الْكُبَرِ دَاهِيَةُ الدُّهْرِ وَ صَمَّاءُ الْغَبَرِ

Wahai Ibnu Mu‘allā, telah turun salah satu malapetaka
bencana besar yang tak kunjung berhenti.”

Jumhur ulama membaca (لَإِحْدَى) “salah satu” dengan hamzah, sementara Nashr bin ‘Āsim, Ibnu Muḥaishin, dan Ibnu Katsīr dalam salah satu riwayat darinya, membaca (إِنَّهَا لَإِحْدَى) tanpa hamzah. Al-Kalbī berkata: Yang dimaksud (الْكُبَر) di sini adalah tahapan-tahapan dan pintu-pintunya.

(نَذِيْرًا لِّلْبَشَرِ.) “sebagai ancaman bagi manusiaManshūb-nya (نَذِيْرًا) sebagai ḥāl (keterangan kondisi) dari dhamīr yang ada pada (إِنَّهَا), ini dinyatakan oleh az-Zujjāj. Juga, diriwayatkan darinya dan dari al-Kisā’ī dan Abū ‘Alī al-Fārisī bahwa ia merupakan hal dari (قُمْ فَأَنْذِرْ), yakni: Bangunlah wahai Muḥammad, peringatkanlah ketika kondisimu menjadi pembawa peringatan bagi manusia.

Al-Farrā’ berkata: Itu (نَذِيْرًا) adalah mashdar yang berarti (الْإِنْذَارُ) “peringatan”, di-nashab-kan oleh kata kerja yang diestimasikan (fi‘il muqaddar). Ada pendapat yang mengatakan ia manshūb sebagai tamyīz untuk (لَإِحْدَى) karena ia mengandung makna pengaturan, seakan-akan dikatakan: “Bencana membesarkan peringatan.” Ada yang mengatakan, itu adalah mashdar yang di-nashab-kan oleh (أَنْذِرْ) yang disebutkan di awal surah.

Ada yang mengatakan manshūb oleh kata (أَعْنِيْ) yang disamarkan. Ada yang mengatakan manshūb dengan asumsi adanya kata (اُدْعُ) “panggillah”. Ada yang mengatakan manshūb dengan asumsi adanya kata (ناد) “serulah” atau (بلغ) “sampaikanlah”. Ada pula yang mengatakan bahwa ia adalah maf‘ūl li ajlih, dan asumsinya: Sesungguhnya itu adalah salah satu bencana yang sangat besar untuk menjadi peringatan bagi manusia.

Jumhur ulama membaca dengan nashab dan Ubay bin Ka‘b serta Ibnu Abī ‘Ablah dengan rafa‘, karena sebagai khabar untuk mubtada’ yang dihilangkan, yakni: (هِيَ نَذِيْرٌ) “itu adalah peringatan” atau (هُوَ نَذِيْرٌ) “itu adalah peringatan”.

Mengenai (النَّذِيْرُ) “peringatan” ini terdapat beberapa perbedaan pendapat; al-Ḥasan mengatakan: “Itu adalah neraka.” Ada yang mengatakan itu adalah Nabi Muḥammad s.a.w. Abū Razīn mengatakan: “Makanya: aku adalah pemberi peringatan bagi kalian.” Ada pula yang mengatakan itu adalah al-Qur’an, karena mengandung janji dan ancaman.

(لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ.) “(Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mnudur.” Ini adalah badal dari perkataan (لِّلْبَشَرِ), yakni: sebagai peringatan bagi siapa saja di antara kalian yang menghendaki untuk tunduk kepada ketaatan atau mundur darinya. Maknanya: bahwa peringatan ini telah sampai dan memberikan efek besar bagi masing-masing dari orang yang beriman dan yang kafir. Ada yang mengatakan bahwa subyek dari “kehendak” di sini adalah Allah s.w.t., yakni: kepada siapa yang Allah kehendaki di antara kalian untuk tunduk dan maju kepada keimanan atau mundur dengan kekafiran. Pendapat pertama lebih tepat.

As-Suddī berkata: Kepada siapa saja di antara kalian yang berkehendak untuk maju dan masuk ke neraka yang telah disebutkan sebelumnya, atau mundur menuju surga.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu ‘Abbās, ia mengatakan: Ketika Abū Jahal mendengar (عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ) “Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).” ia berkata kepada kaum Quraisy: “Celaka kalian, aku mendengar Ibnu Abī Kabsyah mengabarkan kepada kalian bahwa penjaga neraka Jahannam berjumlah sembilan belas, sementara kalian sangat banyak, apakah setiap sepuluh orang dari kalian tidak mampu menghajar seorang dari penjaga neraka Jahannam?” Ibnu Mardawaih meriwayatkan darinya tentang firman Allah: (وَ مَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْا ) “dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir,” ia berkata: Abul-Asyad berkata: “Biarkan aku dan para penjaga Jahannam, aku yang akan “mengurus” mereka untuk kalian.” Ibnu ‘Abbās berkata: Aku diberitahu bahwa Nabi s.a.w. menyifati para penjaga Jahannam, beliau bersabda:

كَأَنَّ أَعْيُنَهُمُ الْبَرْقُ وَ كَأَنَّ أَفْوَاهَهُمْ الصَّيَاصِيِّ يَجُرُّوْنَ أَشْعَارَهُمْ، لَهُمْ مِثْلُ قُوَّةِ الثَّقَلَيْنِ يَقْبَلُ أَحَدُهُمْ بِالْأُمَّةِ مِنَ النَّاسِ يَسُوْقُهُمْ عَلَى رَقَبَتِهِ جَبَلٌ حَتَّى يَرْمِيْ بِهِمْ فِي النَّارِ فَيَرْمِيْ بِالْجَبَلِ عَلَيْهِمْ.

Seakan-akan mata mereka laksana kilatan petir, mulut mereka seperti tanduk banteng, mereka menarik rambut-rambut mereka laksana kekuataan seluruh manusia dan jin, salah satu dari mereka menemui sekelompok banyak dari manusia dan menggiring mereka ke leher mereka yang terdapat sebuah gunung, hingga orang-orang itu dilemparkan ke neraka dan dilemparkan gunung itu ke atas mereka.”

Ath-Thabrānī di dalam al-Ausath dan Abusy-Syaikh meriwayatkan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī, bahwa Rasūlullāh s.a.w. berbicara tentang malam di mana beliau diperjalankan (isrā’), beliau bersabda:

فَصَعَدْتُ أَنَا وَ جِبْرِيْلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَإِذَا أَنَا بِمَلَكٍ يُقَالُ لَهُ إِسْمَاعِيْلُ وَ هُوَ صَاحِبُ سَمَاءِ الدُّنْيَا وَ بَيْنَ يَدَيْهِ سَبْعُوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ مَعَ كُلِّ مَلَكٍ جُنْدُهُ مِائَةُ أَلْفٍ وَ تَلَا هذِهِ الْآيَةِ: وَ مَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ.

Aku dan Jibrīl naik ke langit terdekat, dan aku bertemu dengan seorang malaikat yang bernama Ismā‘īl, dia adalah penguasa langit terdekat, di hadapannya ada tujuh puluh ribu malaikat, yang masing-masing malaikat memiliki seratus ribu bala tentara”, kemudian beliau membaca: “Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia Sendiri.” (1671).

Aḥmad meriwayatkan dari Abū Dzarr, ia berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

أَطَّتِ السَّمَاءُ وَ حَقَّ مَا أَنْ تَئِطَّ مَا فِيْهَا مَوْضِعُ أَصْبُعٍ إِلَّا عَلَيْهِ مَلَكٌ سَاجِدٌ.

Langit berderit dan pantas ia berderit, tidak ada lagi tempat seujung jari padanya, melainkan ada malaikat yang sedang bersujud di sana.” (1682)

Juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzī dan Ibnu Mājah, at-Tirmidzī berkomentar: “Ḥasan gharīb, dan diriwayatkan dari Abū Dzarr secara mauqūf.”

Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang (إِذْ أَدْبَرَ) “ketika telah berlalu”, ia berkata: “Berlalu kegelapannya.” Diriwayatkan oleh Musaddad di dalam Musnad-nya, Ibnu Ḥumaid, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abī Ḥātim, dari Mujāhid, ia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbās tentang firman Allah: (وَ اللَّيْلِ إِذْ أَدْبَرَ.) “dan malam ketika telah berlalu,” namun ia tidak menjawabku, hingga ketika di akhir malam dan mendengar adzan, ia memanggilku dan berkata: “Wahai Mujāhid, inilah saat malam pergi.” Ibnu Jarīr meriwayatkan darinya tentang firman Allah: (لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ.) “(Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur”, ia berkomentar: “Siapa yang ingin patuh dan taat kepada Allah, dan siapa yang ingin mundur darinya.”

Catatan:

  1. 167). Dha‘īf Jiddan; diriwayatkan oleh ath-Thabrānī di dalam ash-Shaghīr (2/70) dan di dalam sanad-nya terdapat Abū Hārūn yang memiliki nama ‘Umārah bin Juwain, al-Ḥāfizh di dalam at-Taqrīb berkomentar: “Ia seorang yang matrūk dan diduga berdusta.” Al-Ḥaitsamī berkata di dalam al-Mujma‘ (1/80, 81): “Di dalamnya terdapat Abū Hārūn, seorang yang sangat lemah (dha‘īf jiddan).
  2. 168). Shaḥīḥ; Aḥmad (5/173), at-Tirmidzī (2312), Ibnu Mājah (4190), dan al-Albānī di dalam Shaḥīḥ-us-Sunan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *