Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir ath-Thabari (2/6)

Dari Buku:
Tafsir ath-Thabari
(Jilid 26, Juz ‘Amma)
(Oleh: Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir ath-Thabari)
(Judul Asli: Jāmi‘-ul-Bayāni ‘an Ta’wīli Āy-il-Qur’ān)

Penerjemah: Amir Hamzah
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir ath-Thabari

إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا. يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ. وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُوْنَهُمْ

70: 6. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil).
70: 7. Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi).
70: 8. Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak.
70: 9. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan),
70: 10. dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya,
70: 11. Sedang mereka saling melihat.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 6-11)

 

Ta’wīl firman Allah: (إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيْدًا. وَ نَرَاهُ قَرِيْبًا. يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ. وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ. وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi). Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan), dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya, sedang mereka saling melihat.

Maksudnya adalah, sesungguhnya orang-orang musyrik melihat ‘adzab yang mereka minta dan pasti akan terjadi pada mereka, jauh terjadinya (mustahil). Adapun Allah memberitahukan hal itu, bahwa mereka melihatnya jauh terjadinya , karena mereka tidak mempercayai ‘adzab itu dan mengingkari adanya kebangkitan setelah kematian, di samping tidak mempercayai adanya pahala serta hukuman. Allah lalu berfirman bahwa mereka melihatnya tidak terjadi, dan Kami melihatnya dekat (pasti terjadi), karena sudah ada, dan setiap yang akan datang dekat (pasti terjadi). (8671).

 

Firman-Nya: (يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ.) “Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak,” maksudnya adalah pada hari langit menjadi seperti sesuatu yang cair.

Sebelumnya telah saya jelaskan makna al-muhlu, dengan dalil-dalil yang menguatkannya. Namun para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentangnya. Kami juga telah menyebutkan pendapat ‘ulamā’ salaf dalam hal itu, maka tidak perlu diulang kembali. (8682).

  1. Muḥammad bin ‘Amru menceritakan kepada kami, dia berkata: Abū ‘Āshim menceritakan kepada kami, ‘Īsā menceritakan kepada kami, al-Ḥārits menceritakan kepadak, al-Ḥasan menceritakan kepada kami, Waraqā’ menceritakan kepada kami, semuanya dari Ibnu Abī Najīḥ, dari Mujāhid, tentang firman Allah s.w.t.: (كَالْمُهْلِ) “Seperti luluhan perak,” dia berkata: “Bagian minyak yang keruh.” (8693).
  2. Bisyr menceritakan kepada kami, dia berkata: Yazīd menceritakan kepada kami, dia berkata: Sa‘īd menceritakan kepada kami dari Qatādah, tentang firman-Nya: (يَوْمَ تَكُوْنُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ.) “Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak,” ia berkata: “Pada saat itu langit berubah warna menjadi warna lain, yaitu kemerah-merahan.” (8704).

 

Firman-Nya: (وَ تَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ.) “Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan),” maksudnya adalah, gunung-gunung menjadi seperti bulu-bulu (yang beterbangan).

Pakar ta’wīl berpendapat seperti yang kami katakan. Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:

  1. Muḥammad bin ‘Amru menceritakan kepadaku, dia berkata: Abū ‘Āshim menceritakan kepada kami, ‘Īsā menceritakan kepada kami, al-Ḥārits menceritakan kepadak, al-Ḥasan menceritakan kepada kami, Waraqā’ menceritakan kepada kami, semuanya dari Ibnu Abī Najīḥ, dari Mujāhid, tentang firman Allah s.w.t.: (كَالْعِهْنِ) “Seperti bulu (yang beterbangan),” dia berkata: “Seperti bulu-bulu.” (8715).
  2. Ibnu ‘Abd-il-A‘lā menceritakan kepada kami, dia berkata: Ibnu Tsaur menceritakan kepada kami dari Mu‘ammar, dari Qatādah, tentang firman-Nya: (كَالْعِهْنِ) “Seperti bulu (yang beterbangan),” dia berkata: “Seperti bulu-bulu.” (8726).

 

Firman-Nya: (وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا. يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya, sedang mereka saling melihat,” maksudnya adalah, tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan tentang temannya bagaimana keadaannya, lantaran sangat sibuk mengurus keadaan dirinya.

Pakar ta’wīl berpendapat seperti yang kami katakan. Riwayat yang menjelaskan demikian adalah:

  1. Bisyr menceritakan kepada kami, dia berkata: Yazīd menceritakan kepada kami, dia berkata: Sa‘īd menceritakan kepada kami dari Qatādah, tentang firman-Nya: (وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا) “Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya,” ia berkata: “Itu karena setiap orang disibukkan dengan urusan dirinya dan tidak sempat menanyakan urusan orang lain.” (8737).

 

Firman-Nya: (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “sedang mereka saling melihat.” Pakar ta’wīl berbeda pendapat tentang maksud huruf hā’ dan mim pada firman-Nya: (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “sedang mereka saling melihat.

Sebagian berkata: “Maksudnya adalah para kerabat, mereka mengenal kerabatnya, dan setiap orang mengenal teman dekatnya. Itulah yang diperlihatkan Allah kepada mereka.” Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:

  1. Muḥammad bin Sa‘ad menceritakan kepadaku, dia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku, dia berkata: Pamanku menceritakan kepadaku, dia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku dari bapaknya, dari Ibnu ‘Abbās, tentang firman-Nya: (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “sedang mereka saling melihat,” dia berkata: “Sebagian dari mereka mengenal sebagian lain, kemudian sebagian dari mereka lari dari sebagian yang lainnya. Allah berfirman: (لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيْهِ.) “Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (Qs. ‘Abasa [80]: 37). (8748).
  2. Bisyr menceritakan kepada kami, dia berkata: Yazīd menceritakan kepada kami, dia berkata: Sa‘īd menceritakan kepada kami dari Qatādah, tentang firman-Nya: (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “Sedang mereka saling melihat,” dia berkata: “Maksudnya adalah, mereka saling melihat dan saling memberitahukan. Demi Allah, kaum demi kaum akan diperkenalkan. Demikian juga dengan setiap orang.” (8759).
  3. Muḥammad bin ‘Amru menceritakan kepadaku, dia berkata: Abū ‘Āshim menceritakan kepada kami, ‘Īsā menceritakan kepada kami, al-Ḥārits menceritakan kepadak, al-Ḥasan menceritakan kepada kami, Waraqā’ menceritakan kepada kami, semuanya dari Ibnu Abī Najīḥ, dari Mujāhid, tentang firman Allah s.w.t.: (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “Sedang mereka saling melihat,” ia berkata: “Maksudnya adalah, orang-orang mu’min melihat orang-orang kafir.” (87610).

Pakar ta’wīl yang lain berkata: “Maksudnya adalah orang-orang kafir yang mengikuti orang kafir lainnya ketika di dunia, bahwa mereka mengenal pengikutnya di neraka.” Riwayat yang menjelaskan demikian adalah:

  1. Yūnus menceritakan kepadaku, dia berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu Zaid berkata tentang firman-Nya: (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “Sedang mereka saling melihat,” dia berkata: “Orang-orang yang menyesatkan mereka di dunia saling melihat di neraka.” (87711).

Pendapat yang lebih utama untuk dibenarkan menurut kami adalah pendapat yang mengatakan bahwa maknanya yaitu, tidak ada seorang teman dekat pun yang menanyakan urusan temannya, akan tetapi mereka saling melihat dan mengenal. Kemudian sebagian dari mereka lari dari sebagian lainnya, sebagaimana firman-Nya: (يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيْهِ. وَ أُمِّهِ وَ أَبِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ بَنِيْهِ. لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيْهِ.) “Pada hari ketika manusia lari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (Qs. ‘Abasa [80]: 34-37).

Menurut kami, pendapat itu lebih utama untuk dibenarkan, karena lebih menyerupai pernyataan yang ada di dalam al-Qur’ān, sebab firman-Nya: (يُبَصَّرُوْنَهُمْ) “Sedang mereka saling melihat,” setelah firman-Nya: (وَ لَا يَسْأَلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًا) “Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya,” dan karena hā’ dan mīm dari penyebutan mereka lebih menyerupai daripada disebutkannya selain mereka.

Ada perbedaan bacaan dalam membaca firman-Nya: (وَ لَا يَسْأَلُ).

Penduduk semua negeri pada umumnya membaca seperti itu selain Abū Ja‘far al-Qārī dan Syaibah, atau mereka membacanya dengan fatḥah pada huruf yā’. Sedangkan Abū Ja‘far dan Syaibah membacanya wa lā yus’alu, dengan dhammah pada huruf yā’, yakni, tidak dikatakan kepada temannya: “Di mana temanmu?” Sebagian mereka juga tidak meminta kepada sebagian lainnya.” (87812).

Bacaan yang benar menurut kami adalah dengan fatḥah pada huruf yā’, yang artinya, manusia tidak saling menanyakan antara sebagian mereka dengan sebagian lain tentang urusannya. Juga karena benarnya makna itu, serta menyatunya argumentasi orang yang membacanya seperti itu.

 

***

يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ.

70: 11. ….. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab hari itu dengan anak-anaknya.
70: 12. Dan istrinya dan saudaranya,
70: 13. Dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia).
70: 14. Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 11-14)

Ta’wīl firman Allah: (يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ. وَ مَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ يُنْجِيْهِ.) “Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab hari itu dengan anak-anaknya. Dan istrinya dan saudaranya, dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia). Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.

Maksudnya adalah, pada hari itu orang kafir ingin menebus dirinya dari ‘adzab Allah dengan anak-anaknya, istri-istrinya, saudaranya, dan familinya.

Lafazh (الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ) “Yang melindunginya (di dunia)” maksudnya adalah orang yang melindunginya, termasuk istrinya karena kedekatannya antara dia dengan istrinya, dan menebusnya dengan semua makhluk secara keseluruhan, kemudian hal itu menyelamatkannya dari ‘adzab Allah kepadanya pada hari itu.

Allah s.w.t. dalam ayat ini memulai dengan menyebutkan anak-anak, kemudian pendamping (istri), kemudian saudara, sebagai pemberitahuan dari Allah kepada hamba-hambanya, bahwa orang kafir apabila ingin menebus dirinya dalam suatu bencana, maka dia mengorbankan mereka untuk dirinya, dan dengan tebusan orang yang dicintainya itu dia pasti mendapatkan jalan keluar. Namun itu di dunia, sebab mereka adalah orang-orang yang hubungan kekeluargaannya paling dekat.

Pakar ta’wīl berpendapat seperti yang kami katakan. Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:

  1. Bisyr menceritakan kepada kami, dia berkata: Yazīd menceritakan kepada kami, dia berkata: Sa‘īd menceritakan kepada kami dari Qatādah, tentang firman-Nya: (يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ أَخِيْهِ. وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ.) “Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari ‘adzab hari itu dengan anak-anaknya. Dan istrinya dan saudaranya, dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia).” Ia berkata: “Di sini dimulai dari orang yang paling dicintai, kemudian yang paling dicintainya, kemudian yang paling dekat, serta yang agak dekat dari keluarga dan sanak familinya untuk menjadi tebusan pada hari itu.” (87913).
  2. Muḥammad bin ‘Amru menceritakan kepadaku, dia berkata: Abū ‘Āshim menceritakan kepada kami, ‘Īsā menceritakan kepada kami, al-Ḥārits menceritakan kepadak, al-Ḥasan menceritakan kepada kami, Waraqā’ menceritakan kepada kami, semuanya dari Ibnu Abī Najīḥ, dari Mujāhid, tentang firman-Nya: (وَ فَصِيْلَتِهِ) “Dan kaum familinya,” dia berkata: “Kabilahnya”. (88014).
  3. Yūnus menceritakan kepadaku, dia berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu Zaid berkata tentang firman-Nya: (وَ صَاحِبَتِهِ) “Dan istrinya” ia berkata: “Maksudnya adalah istrinya. (وَ فَصِيْلَتِهِ الَّتِيْ تُؤْوِيْهِ.) “Dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia)”, yakni sanak familinya.” (88115).

Catatan:

  1. 867). Lihat Ma‘ānī-il-Qur’ān karya al-Farrā’ (3/184).
  2. 868). Lihat tafsir surah al-Kahfi ayat 29 dan surah ad-Dukhān ayat 45.
  3. 869). Atsar semisalnya disebutkan oleh Mujāhid dalam tafsirnya (hal. 447) dan As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/281), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) dan Ibn-ul-Mundzir.At-Tirmidzī meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi s.a.w. tentang sifat Neraka Jahannam (2581) dari jalur Risydīn bin Sa‘ad, dari ‘Amru bin al-Ḥārits, dari Darrāj, dari as-Samāḥ, dari Abul-Haitsam, dari Abū Sa‘īd, dari Nabi s.a.w., tentang firman-Nya: (كالْمُهْلِ). Beliau bersabda: “(Maksudnya adalah) seperti bagian minyak yang keruh, maka apabila didekatkan ke wajahnya, berjatuhanlah bulu-bulu wajahnya.” Abū ‘Īsā kemudian berkata: “Hadits ini tidak kami ketahui, kecuali dari hadits Risydin bin Sa‘ad, dan Rāsyidin (Risydin ?????) telah berbicara tentang hal itu sebelum menghapalnya, dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī.” Lihat takhrīj-nya dalam Misykāt-ul-Mashābīḥ (5678).Aku katakan: “Hadits ini juga diriwayatkan oleh Aḥmad dalam Musnad-nya (3/70) dari jalur Ibnu Luhai‘ah (Lahī‘ah), Darrāj menceritakan kepada kami dari Abul-Haitsam, dari Abū Sa‘īd, dan isnād-nya juga dha‘īf”. Sebelumnya hadits ini telah disebutkan dalam tafsir surah al-Kahfi ayat 28.
  4. 870). Tafsīru Ibni Katsīr (13/326).
  5. 871). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/281), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid).
  6. 872). ‘Abd-ur-Razzāq dalam tafsirnya (3/346), dan As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/60), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) serta Ibnu Jarīr.
  7. 873). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/281), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) dan Ibn-ul-Mundzir. Serta al-Qurthubī dalam tafsirnya (18/285).
  8. 874). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/281), hanya disandarkan kepada Ibnu Jarīr, dan tidak menyebutkan ayat tersebut setelah atsar.
  9. 875). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/281), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) dan Ibn-ul-Mundzir.
  10. 876). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/281), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) dan Ibn-ul-Mundzir.
  11. 877). Al-Qurthubī dalam tafsirnya (18/285, 286).
  12. 878). Mayoritas umat Islam membacanya (لَا يَسْئَلُ) didasarkan pada fā‘il (kata kerja).

    Abū Ḥayawiyyh, Syaibah, Abū Ja‘far, dan al-Bazzā’ī membacanya berdasarkan maf‘ūl (subjek).

    Lihat al-Baḥr-ul-Muḥīth (10/274).

  13. 879). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/282), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) dan Ibn-ul-Mundzir.
  14. 880). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/282), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) dan Ibn-ul-Mundzir. Serta al-Baghawī dalam Ma‘ālim-ut-Tanzīl (4/393).
  15. 881). Al-Qurthubī dalam tafsirnya (18/286).

Unduh Rujukan:

  • [download id="22006"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *