Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir ath-Thabari (3/6)

Dari Buku:
Tafsir ath-Thabari
(Jilid 26, Juz ‘Amma)
(Oleh: Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir ath-Thabari)
(Judul Asli: Jāmi‘-ul-Bayāni ‘an Ta’wīli Āy-il-Qur’ān)

Penerjemah: Amir Hamzah
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir ath-Thabari

كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.

70: 15. Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak,
70: 16. yang mengelupaskan kulit kepala,
70: 17. yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama),
70: 18. serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 15-18)

Ta’wīl firman Allah: (كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى. تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى. وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.) “Sekali-kali tidak dapat. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak, yang mengelupaskan kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama), serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.

Maksudnya adalah, tidak, sekali-kali hal itu tidak dapat menyelamatkan dari ‘adzab Allah. Kemudian khabar-nya dimulai dengan apa yang telah dipersiapkan di sana oleh Allah s.w.t., lalu berfirman: (إِنَّهَا لَظَى) “Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak,lazhā merupakan salah satu nama dari nama-nama Neraka Jahannam, dan karena itu tidak di-jarr-kan (diberi harakat kasrah).

Pakar bahasa ‘Arab berbeda pendapat tentang posisinya.

Sebagian ahli nahwu Bashrah berkata: “Posisinya nashab pada badal dari huruf hā’, dan khabar inna adalah (نَزَّاعَةً), dia berkata: “Jika kamu mau, kamu jadikan (لَظَى) sebagai rafa‘ pada khabar inna. Lafazh (نَزَّاعَةً) di-rafa‘ karena ia mubtada’. Sebagian orang yang mengingkarinya berkata: “Yang zhāhir tidak harus diikuti kecuali dalam hal yang aneh.”

Dia berkata, dan pilihan (إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى.) dan (لَظَى) adalah khabar, dan (نَزَّاعَةً) adalah ḥāl. Orang yang membacanya dengan rafa‘ karena mubtada’, berkata: “Karena ia adalah pujian atau celaan.”

Dia berkata: “Tidak ada mubtada’ kecuali seperti itu.” (8821).

Pendapat yang benar menurut kami adalah (لَظَى) merupakan khabar dan (نَزَّاعَةً) merupakan mubtada’, dan karena itu ia berada pada posisi rafa‘ dan tidak diperbolehkan berada pada posisi nashab (8832) dalam bacaan itu, karena kesepakatan bacaan seluruh penduduk negeri untuk membacanya dengan rafa‘. Tidak ada orang yang membacanya dengan nashab, sekalipun nashab dalam bahasa ‘Arab memiliki pandangan tersendiri. Bisa juga hā’ berasal dari firman-Nya: (إِنَّهَا) sebagai sandaran, dan (لَظَى) marfū‘ dengan (نَزَّاعَةً) dan (لَظَى), sebagaimana dikatakan: innahā hindun qā’imah “sesungguhnya dia adalah Hindun yang sedang berdiri,” innahū hindun qā’imah “sesungguhnya dia adalah Hindun yang sedang berdiri.” Jadi, hā’ adalah sandaran dalam dua pandangan tersebut. (8843).

 

Firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”. Allah s.w.t. menyebutkan dan memberitahukan tentang api yang bergejolak dan mengelupaskan kulit kepala serta anggota badan. Asy-Syawā adalah bentuk jama‘ dari sawāh, yaitu bagian dari anggota badan manusia, selama belum terbunuh.

Pakar ta’wīl berpendapat seperti yang kami katakan. Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:

  1. Sulaimān bin ‘Abd-ul-Jabbār menceritakan kepadaku, dia berkata: Muḥammad bin ash-Shalt menceritakan kepada kami, dia berkata: Abū Kadīnah menceritakan kepada kami dari Qābūs, dari bapaknya, dia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbās tentang firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, dia berkata: “Mengelupaskan permukaan kepala.” (8854).
  2. Isḥāq bin Ibrāhīm ash-Shawwāf menceritakan kepada kami, dia berkata: al-Ḥusain bin al-Ḥasan al-Asyqar menceritakan kepada kami, dia berkata: Yaḥyā bin Mihlab Abī Kadīnah menceritakan kepada kami dari Qābūs, dari bapaknya, dari Ibnu ‘Abbās, tentang firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, dia berkata: “Mengelupaskan kepala.” (8865).
  3. Muḥammad bin Sa‘ad menceritakan kepadaku, dia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku, dia berkata: Pamanku menceritakan kepadaku, dia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku dari bapaknya, dari Ibnu ‘Abbās, tentang firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, ia berkata: “Kulit dan kepala.” (8876).
  4. Muḥammad bin ‘Amru menceritakan kepadaku, dia berkata: Abū ‘Āshim menceritakan kepada kami, ‘Īsā menceritakan kepada kami, al-Ḥārits menceritakan kepadak, al-Ḥasan menceritakan kepada kami, Waraqā’ menceritakan kepada kami, semuanya dari Ibnu Abī Najīḥ, dari Mujāhid, tentang firman Allah s.w.t.: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, ia berkata: “Kulit dan kepala.” (8887).
  5. Ibnu Ḥumaid menceritakan kepada kami, dia berkata: Mahrān menceritakan kepada kami dari Sufyān, dari Ibrāhīm bin al-Muhājir, dia berkata: Aku bertanya kepada Sa‘īd bin Jubair tentang firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, dan dia tidak memberitahukannya. Aku lalu bertanya tentangnya kepada Mujāhid, dan aku berkata: “Apakah daging tanpa tulangnya?” Dia menjawab: “Iya.” (8898).
  6. Dia berkata: Mahrān menceritakan kepada kami dari Sufyān, dari Ismā‘īl bin Abī Khālid, dari Abū Shāliḥ, tentang ayat: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, dia berkata: “Daging lengan.” (8909).
  7. Muḥammad bin ‘Umārah al-Asadī menceritakan kepadaku, dia berkata: Qubaishah bin ‘Uqbah as-Suwā’ī menceritakan kepada kami, dia berkata: Sufyān menceritakan kepada kami dari Ismā‘īl, dari Abū Shāliḥ, tentang firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, dia berkata: “Mengelupaskan kulit kedua lengan.” (89110).
  8. Ibnu Ḥumaid menceritakan kepada kami, dia berkata: Mahrān menceritakan kepada kami dari Khārijah, dari Qarrah bin Khālid, dari al-Ḥasan, tentang ayat: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, dia berkata: “Yang jelas, api itu membakar semua bagian kepala, dan tinggal hatinya yang merintih.” (89211).
  9. Ibnu Basysyār menceritakan kepada kami, dia berkata: Abū ‘Āmir menceritakan kepada kami, dia berkata: Qarrah menceritakan kepada kami dari al-Ḥasan, tentang firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, dia kemudian menyebutkan atsar sepertinya. (89312).
  10. Bisyr menceritakan kepada kami, dia berkata: Yazīd menceritakan kepada kami, dia berkata: Sa‘īd menceritakan kepada kami dari Qatādah, tentang firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, ia berkata: “Atau mengelupaskan kepalanya dan bagian penciptaannya yang mulia, serta anggota badannya.” (89413).
  11. Aku diceritakan dari al-Ḥusain, dia berkata: Aku mendengar Abū Mu‘ādz berkata: ‘Ubaid mengabarkan kepada kami, dia berkata: Aku mendengar adh-Dhaḥḥāk berkata, tentang firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, ia berkata: “Maksudnya adalah mengupas daging dan kulit dari tulang hingga tidak tersisa sedikit pun.” (89514).
  12. Yūnus menceritakan kepadaku, dia berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu Zaid berkata tentang firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, dia berkata: “Asy-Syawā artinya organ tubuh dan tulang. Itulah yang dimaksud dengan asy-syawā.” (89615).

 

Firman-Nya: (نَزَّاعَةً لِّلشَّوَى) “Yang mengelupaskan kulit kepala”, maksudnya adalah memotong-motong tulangnya, sebagaimana kamu lihat, kemudian diperbarui ciptaan mereka dan diganti kulit-kulitnya.

 

Firman-Nya: (تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى.) “Yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama),” maksudnya adalah, gejolak api neraka itu memanggil orang yang ketika di dunia membelakang dari ketaatan kepada Allah dan berpaling dari beriman kepada kitab serta rasūl-Nya.

Pakar ta’wīl berpendapat seperti yang kami katakan. Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:

  1. Bisyr menceritakan kepada kami, dia berkata: Yazīd menceritakan kepada kami, dia berkata: Sa‘īd menceritakan kepada kami dari Qatādah, tentang firman-Nya: (تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى.) “Yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama),” dia berkata: “Maksudnya adalah orang yang membelakang dari ketaatan kepada Allah. (وَ تَوَلَّى) “Dan yang berpaling (dari agama),” yakni berpaling dari beriman kepada kitab dan ajarannya yang benar.” (89716).
  2. Muḥammad bin ‘Amru menceritakan kepadaku, dia berkata: Abū ‘Āshim menceritakan kepada kami, ‘Īsā menceritakan kepada kami, al-Ḥārits menceritakan kepadak, al-Ḥasan menceritakan kepada kami, Waraqā’ menceritakan kepada kami, semuanya dari Ibnu Abī Najīḥ, dari Mujāhid, tentang firman-Nya: (تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى.) “Yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama),” dia berkata: “Dari kebenaran.” (89817).
  3. Yūnus menceritakan kepadaku, dia berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu Zaid berkata tentang firman-Nya: (تَدْعُوْا مَنْ أَدْبَرَ وَ تَوَلَّى.) “Yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama),” dia berkata: “Gejolak api neraka itu tidak mempunyai kekuatan kecuali kepada orang yang membelakangi, kufur, dan berpaling dari ketaatan kepada Allah. Sedangkan orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka gejolak api neraka tidak mempunyai kekuatan kepadanya.” (89918).

 

Firman-Nya: (وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.) “serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya,” maksudnya adalah, dan mengumpulkan harta, lalu menyimpannya, dan melarang hak Allah darinya, serta tidak mengeluarkan zakat dan berinfaq dalam hal yang diwajibkan oleh Allah untuk berinfaq.

Pakar ta’wīl berpendapat seperti yang kami katakan. Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:

  1. Muḥammad bin ‘Amru menceritakan kepadaku, dia berkata: Abū ‘Āshim menceritakan kepada kami, ‘Īsā menceritakan kepada kami, al-Ḥārits menceritakan kepadak, al-Ḥasan menceritakan kepada kami, Waraqā’ menceritakan kepada kami, semuanya dari Ibnu Abī Najīḥ, dari Mujāhid, tentang firman-Nya: (وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.) “serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya,” dia berkata: “Mengumpulkan harta.” (90019).
  2. Muḥammad bin Manshūr ath-Thūsī menceritakan kepada kami, dia berkata: Abū Qaththān menceritakan kepada kami, dia berkata: al-Mas‘ūdī menceritakan kepada kami dari al-Ḥakam, dia berkata: ‘Abdullāh bin ‘Ukaim berkata: Aku mendengar Allah firman: (وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.) “serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya” (90120).
  3. Bisyr menceritakan kepada kami, dia berkata: Yazīd menceritakan kepada kami, dia berkata: Sa‘īd menceritakan kepada kami dari Qatādah, tentang ayat: (وَ جَمَعَ فَأَوْعَى.) “serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya”, ia berkata: “Maksudnya adalah, dia suka mengumpulkan harta untuk sesuatu yang buruk.” (90221).

 

***

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا. إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ.

70: 19. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir.
70: 20. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh-kesah,
70: 21. dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,
70: 22. kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,
70: 23. yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.
(Qs. al-Ma‘ārij [70]: 19-23)

Ta’wīl firman Allah: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا. إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ.) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.

Allah s.w.t. berfirman: (إِنَّ الْإِنْسَانَ) “Sesungguhnya manusia,” yang kafir, (خُلِقَ هَلُوْعًا.) “diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir.Al-Hala‘ artinya perasaan sangat berkeluh-kesah disertai ambisi dan kekhawatiran.

Pakar ta’wīl berpendapat seperti yang kami katakan. Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:

  1. Muḥammad bin Sa‘ad menceritakan kepadaku, dia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku, dia berkata: Pamanku menceritakan kepadaku, dia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku dari bapaknya, dari Ibnu ‘Abbās, tentang firman-Nya: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا.) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir,” dia berkata: “Itulah yang dikatakan oleh Allah: (إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا.) “Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” Dikatakan: “Al-Halū‘ adalah sifat keluh-kesah, dan ini ada pada orang musyrik.” (90322).
  2. Abū Kuraib menceritakan kepada kami, dia berkata: Ibnu Aimān menceritakan kepada kami dari Asy‘ats bin Isḥāq, dari Ja‘far bin Abil-Mughīrah, dari Sa‘īd bin Jubair, tentang ayat: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا.) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir,” dia berkata: “Kikir dan keluh-kesah.” (90423).
  3. Ibnu Ḥumaid menceritakan kepada kami, dia berkata: Mahrān menceritakan kepada kami dari Sufyān, dari Ismā‘īl bin Abī Khālid, dari ‘Ikrimah, tentang firman Allah: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا.) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir,” dia berkata: “Maksudnya adalah berkeluh-kesah.” (90524).
  4. Aku diceritakan dari al-Ḥusain, dia berkata: Aku mendengar Abū Mu‘ādz berkata: ‘Ubaid mengabarkan kepada kami, dia berkata: Aku mendengar adh-Dhaḥḥāk berkata tentang ayat: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ) “Sesungguhnya manusia diciptakan,” bahwa maksudnya adalah orang kafir. (هَلُوْعًا.) “Bersifat keluh-kesah lagi kikir,” serta tidak mau berbuat baik. Berkeluh-kesah apabila ditimpa bencana. Inilah yang dimaksud dengan al-halū‘. (90625).
  5. Yaḥyā bin Ḥubaib bin ‘Arabī menceritakan kepada kami, dia berkata: Khālid bin al-Ḥārits menceritakan kepada kami, dia berkata: Syu‘bah menceritakan kepada kami dari Ḥushain, Yaḥyā berkata: Khālid berkata: Aku bertanya kepada Syu‘bah tentang firman-Nya: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا.) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir,” Syu‘bah lalu menceritakan kepada kami dari Ḥushain, dia berkata: “Al-Halū‘ artinya sangat berambisi.” (90726).
  6. Ibn-ul-Mutsannā menceritakan kepada kami, dia berkata: Ibnu Abī ‘Adī menceritakan kepada kami, dia berkata: Aku bertanya kepada Ḥushain tentang ayat: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا.) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir,” dia berkata: “Maksudnya adalah sangat berambisi.” (90827).
  7. Yūnus menceritakan kepadaku, dia berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu Zaid berkata tentang firman-Nya: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا.) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir,” dia berkata: “Al-Halū‘ artinya berkeluh-kesah.” (90928).
  8. Ibnu ‘Abd-il-A‘lā menceritakan kepada kami, dia berkata: Ibnu Tsaur menceritakan kepada kami dari Mu‘ammar, dari Qatādah, tentang firman-Nya: (خُلِقَ هَلُوْعًا.) “diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir,” ia berkata: “Artinya berkeluh-kesah.” (91029).

 

Firman-Nya: (وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا.) “Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh-kesah,” maksudnya adalah, apabila telah sedikit hartanya dan mulai miskin dan tidak berpunya, maka dia berkeluh-kesah karenanya dan tidak bisa bersabar atas keadaan itu.

 

Firman-Nya: (وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا.) “Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,” maksudnya adalah, jika telah banyak hartanya dan mendapatkan kekayaan, maka dia menjadi kikir dengan apa yang ada di tangannya, pelit dan tidak mau berinfaq untuk ketaatan kepada Allah, serta tidak melaksanakan hak-hak Allah yang ada padanya.

 

Firman-Nya: (إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ.) “kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,” maksudnya adalah, kecuali orang-orang yang menaati Allah dengan melaksanakan kewajiban mereka, seperti shalat, dengan istiqamah dan tidak sedikit pun melalaikannya. Mereka adalah orang-orang yang tidak termasuk diciptakan dalam keadaan berkeluh-kesah.

Ada yang berkata: “Maksud firman-Nya: (إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ.) “Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,” adalah orang-orang mu’min yang bersama Rasulullah s.a.w.

Ada yang berkata: “Maksudnya adalah setiap orang yang melaksanakan shalat lima waktu.” Riwayat-riwayat yang menjelaskan demikian adalah:

  1. Ibnu Basysyār menceritakan kepada kami, dia berkata: ‘Abd-ur-Raḥmān dan Mu‘ammal menceritakan kepada kami dari keduanya berkata: Sufyān menceritakan kepada kami dari Manshūr, dari Ibrāhīm, tentang ayat: (الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ) “Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,” dia berkata: “Maksudnya adalah shalat yang wajib.” (91130).
  2. Zuraiq bin as-Sukht menceritakan kepadaku, dia berkata: Mu‘āwiyah bin ‘Amru menceritakan kepada kami, dia berkata: Zā’idah menceritakan kepada kami dari Manshūr, dari Ibrāhīm, tentang ayat: (الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ) “Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,” dia berkata: “Shalat lima waktu.” (91231).
  3. Bisyr menceritakan kepada kami, dia berkata: Yazīd menceritakan kepada kami, dia berkata: Sa‘īd menceritakan kepada kami dari Qatādah, tentang firman-Nya: (إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا.) “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir,” hingga firman-Nya: (دَائِمُوْنَ) “Tetap mengerjakan shalatnya.” Disebutkan kepada kita bahwa Daniyal mengikuti umat Muḥammad s.a.w., dia berkata: “Mereka melaksanakan shalat yang jika kaum Nūḥ melakukannya maka mereka tidak tenggelam. Atau kaum ‘Ād, maka tidak akan dikirim badai topan kepadanya. Atau kaum Tsamūd, maka tidak akan ditimpakan ‘adzab berupa suara yang mengguntur. Oleh karena itu, laksanakanlah shalat oleh kalian, karena orang-orang mu’min diciptakan dalam keadaan baik.” (91332).
  4. Ibnu Ḥumaid menceritakan kepada kami, dia berkata: Mahrān menceritakan kepada kami dari Sufyān, dari Manshūr, dari Ibrāhīm, tentang ayat: (عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ) “Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,” dia berkata: “Shalat wajib.” (91433).
  5. Yūnus menceritakan kepadaku, dia berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, dia berkata: Ibnu Zaid berkata tentang firman-Nya: (الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ) “Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,” dia berkata: “Mereka adalah orang-orang mu’min yang bersama Nabi s.a.w. dan tetap melaksanakan shalatnya.” (91534).
  6. …… dia berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami, dia berkata: Haywah mengabarkan kepada kami dari Yazīd bin Abī Ḥabīb, dari Abul-Khair, bahwa dia bertanya kepada ‘Uqbah bin ‘Āmir al-Juhnī tentang firman-Nya: (الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ) “Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,” dia berkata: “Mereka adalah orang-orang yang apabila melaksanakan shalat maka tidak menoleh kepada orang yang ada di belakangnya, juga tidak menoleh kepada orang-orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya.” (91635).
  7. Al-‘Abbās bin al-Walīd menceritakan kepadaku, dia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku, dia berkata: Al-Auzā‘ī menceritakan kepada kami, dia berkata: Yaḥyī bin Abī Katsīr menceritakan kepadaku, dia berkata: Abū Salamah bin ‘Abd-ir-Raḥmān (91736) menceritakan kepadaku, dia berkata: ‘Ā’isyah, istri Nabi s.a.w., menceritakan kepadaku bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Lakukanlah amal ibadah semampumu. Sesungguhnya Allah tidak akan bosan hingga kamu bosan.” ‘Ā’isyah berkata: “Amal ibadah yang paling disukai Rasūlullāh s.a.w. adalah yang terus-menerus dilaksanakan.”

Yaḥyā bin Abī Katsīr berkata: Abū Salamah berkata: Sesungguhnya Allah berfirman: (الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ) “Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (91837).

Catatan:

  1. 882). Ḥafsh membacanya dengan nashab.

    ‘Ulamā’ lainnya membacanya dengan rafa‘.

    Lihat at-Taisīru fil-Qirā’āt-is-Sab‘ (hal. 174) dan al-Wāfī fī Syarḥ-isy-Syāthibiyyah (hal. 305).

    Al-Qurthubī dalam tafsirnya (18/287).

    Abū Ja‘far, Syaibah, Nāfi‘, dan ‘Āshim dalam riwayat Abū Bakar, darinya, demikian juga dengan Abū ‘Amru, Ḥamzah, dan al-Kasā’ī membacanya (نَزَّاعَةٌ) dengan rafa‘.

    Abū ‘Umar ‘Amru meriwayatkan dari ‘Āshim (نَزَّاعَةً) dengan nashab.

    Orang yang membaca dengan rafa‘ memiliki lima pandangan:

    Pertama, (لَظَى) dijadikan khabar anna dan (نَزَّاعَةً) dibaca marfū‘ dengan disembunyikannya dhamīr hiya. Menurut pandangan ini, sebaiknya dibaca waqaf (berhenti) pada (لَظَى).

    Kedua, (لَظَى) dan (نَزَّاعَةً) adalah khabar, sebagaimana perkataan innahu khalqu mukhashim “sesungguhnya itu adalah perilaku orang yang menentang”.

    Ketiga, (نَزَّاعَةً) adalah badal dari (لَظَى), dan (لَظَى) adalah khabar inna.

    Keempat, (لَظَى) adalah badal dari isim inna dan (نَزَّاعَةً) adalah khabar inna.

    Kelima, dhamīr dalam (إِنَّهَا) berfungsi sebagai cerita, dan (لَظَى) adalah mubtada’. (نَزَّاعَةً) khabar mubtada’ dan kalimatnya adalah khabar inna.

    Adapun maknanya, cerita itu dan khabar (لَظَى) membuat ngelupas kulit kepala.

    Orang yang membaca (نَزَّاعَةً) dengan nashab sebaiknya berhenti pada bacaan (لَظَى) dan me-nashab-kan (لَظَى) secara mutlak, dari (لَظَى) jika ia nakirah dan bersambung dengan ma‘rifah. Diperbolehkan untuk di-nashab-kan pada keadaan yang menegaskan, sebagaimana firman-Nya: (وَ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا). Diperbolehkan juga di-nashab-kan karena artinya api itu bergejolak mengelupas kulit kepala, atau ketika menglupaskan kulit kepala. Pelakunya dalam hal itu adalah apa yang ditunjukkan oleh makna bergejolak. Bisa juga menjadi ḥāl (keadaan), karena demikianlah keadaan orang-orang yang mendustakan beritanya. Bisa juga di-nashab-kan secara mutlak, sebagaimana kamu katakan, marartu bi zaidin al-‘āqil-il-fādhil “saya melewati Zaid yang cerdas dan mulia.” Inilah kelima pandangan tersebut.

  2. 883). Lihat sebelumnya tentang bacaan Ḥafsh dengan nashab.
  3. 884). Lihat Ma‘ānī-il-Qur’ān karya al-Farrā’ (3/185).
  4. 885). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/282), hanya disandarkan kepada Ibnu Jarīr.
  5. 886). Kami tidak mendapatkan atsar dengan lafazh ini dari Ibnu ‘Abbās. Lihat atsar sebelumnya.
  6. 887). Ibnu Katsīr dalam tafsirnya (14/131).
  7. 888). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/282), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) dan Ibn-ul-Mundzir; Al-Baghawī dalam tafsirnya (4/394), dan Ibn-ul-Jauzī dalam Zād-ul-Masīr (8/261).
  8. 889). Al-Baghawī dalam tafsirnya (4/391), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) dan Ibn-ul-Mundzir; (Al-Baghawī dalam tafsirnya (4/394), dan Ibn-ul-Jauzī dalam Zād-ul-Masīr (8/361). ????? (terulang dan juga #261 atau 361).)
  9. 890). Ibnu Abī Syaibah dalam al-Mushannaf (7/55) dari Abū Mu‘āwiyah, dari Ismā‘īl, dari Abū Shālih. Ibnu Katsīr dalam tafsirnya (14/131), di dalamnya dinyatakan: Kedua lengan.
  10. 891). Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (7/55) dari Abū Mu‘āwiyah, dari Ismā‘īl, dari Abū Shālih. As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/282), disandarkan kepada Ibnu Abi Syaibah dan ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) dan Ibn-ul-Mundzir, serta Ibnu Katsīr dalam tafsirnya (14/131).
  11. 892). Ibnu Katsīr dalam tafsirnya (14/131).
  12. 893). Ibid.
  13. 894). Al-Baghawī dalam Ma‘ālim-ut-Tanzīl (4/394) dan Al-Qurthubī dalam tafsirnya (18/287).
  14. 895). Al-Māwardī dalam an-Nukatu wal-‘Uyūn (6/93), di dalamnya dinyatakan: (تَفْرِيْ), Al-Baghawī dalam Ma‘ālim-ut-Tanzīl (4/394), Al-Qurthubī dalam tafsirnya (18/287) dan Ibnu Katsīr dalam tafsirnya (14/131).
  15. 896). Ibnu Katsīr dalam tafsirnya (14/131).
  16. 897). Al-Māwardī dalam an-Nukatu wal-‘Uyūn (6/94).
  17. 898). Al-Māwardī dalam an-Nukatu wal-‘Uyūn (6/94) dan As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/282), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) dan Ibn-ul-Mundzir.
  18. 899). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/282), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) dan Ibn-ul-Mundzir.
  19. 900). Ibid.
  20. 901). Ibnu Mas‘ūd dalam ath-Thabaqat-ul-Kubrā (6/114), As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/282), disandarkan kepada Ibnu Sa‘ad, dan Al-Qurthubī dalam tafsirnya (18/289).
  21. 902). Ibnu Katsīr dalam tafsirnya (4/422), di dalamnya dinyatakan: Lilḥadīts. As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/282), disandarkan kepada ‘Abd-ur-Razzāq dan ‘Abd bin Ḥamīd (Ḥumaid) serta Ibn-ul-Mundzir.
  22. 903). Lihat Tafsīr-ul-Baghawī (4/394).
  23. 904). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/283), disandarkan kepada Ibn-ul-Mundzir.
  24. 905). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/283), disandarkan kepada Ibn-ul-Mundzir, di dalamnya terdapat lafazh: adh-dhajar.
  25. 906). Al-Baghawī dalam tafsirnya (4/394), dan Ibn-ul-Jauzī dalam Zād-ul-Masīr (8/363).
  26. 907). Atsar semisalnya disebutkan oleh As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/283), disandarkan kepada Ibn-ul-Mundzir.
  27. 908). Atsar semisalnya disebutkan oleh As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/283), disandarkan kepada Ibn-ul-Mundzir.
  28. 909). Lihat Zād-ul-Masīr karya Ibn-ul-Jauzī (4/394).
  29. 910). ‘Abd-ur-Razzāq dalam tafsirnya (3/346).
  30. 911). Al-Marwazī dalam Ta‘zhīmu Qardh-ish-Shalāh (1/138) dan As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/284), di dalamnya dinyatakan: Shalat wajib. Disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥumaid.Lihat Ḥilyat-ul-Auliyā’ (4/231).
  31. 912). Itulah makna atsar yang telah lalu, dan kami tidak mendapatkan atsar ini dari jalur ini.
  32. 913). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/284), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥumaid serta Ibn-ul-Mundzir.
  33. 914). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/284), disandarkan kepada ‘Abd bin Ḥumaid. Lihat sebelumnya.
  34. 915). Disebutkan oleh Al-Māwardī dalam an-Nukatu wal-‘Uyūn (6/95), dan atsar semisalnya disebutkan oleh al-Qurthubī dalam tafsirnya (18/291).
  35. 916). As-Suyūthī dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (8/284), disandarkan kepada Ibn-ul-Mundzir.
  36. 917). Dia adalah ‘Abdullāh bin ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf dari kalangan menengah dari tābi‘īn, wafat di Madīnah tahun 94 H.
  37. 918). Ibnu Ḥibbān meriwayatkannya dengan lafazhnya dalam shaḥīḥ-nya (4/446), dia berkata: Ibnu Salām mengabarkan kepada kami, dia berkata: ‘Abd-ur-Raḥmān bin Ibrāhīm menceritakan kepada kami, dia berkata: Al-Walīd menceritakan kepada kami, dengan sanad-nya kepada ‘Ā’isyah secara marfū‘.

    Diriwayatkan oleh Aḥmad dalam Musnad-nya (6/84), dia berkata: Abul-Mughīrah menceritakan kepada kami, dia berkata: Al-Auzā‘ī menceritakan kepada kami dengan sanad yang sama kepada Nabi s.a.w. Di dalamnya, ‘Ā’isyah berkata: “Shalat yang paling disukai oleh Rasūlullāh s.a.w. adalah apabila seseorang melaksanakan satu shalat dan tetap melaksanakannya.”

    Abū Salamah berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: (الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ) “Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.

    Atsar semisalnya diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam ash-Shaum (1980), dia berkata: “Mu‘ādz bin Fadhdhālah menceritakan kepada kami, Hisyām menceritakan kepada kami dari Yaḥyā, dari Abū Salamah, bahwa ‘Ā’isyah r.a. menceritakannya kepadanya. Serta Muslim dalam Shalāt-ul-Musāfirīn (215).

Unduh Rujukan:

  • [download id="22006"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *