Kondisi Para Pendosa Pada Hari Kiamat – Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Wasith (3/4)

Dari Buku:

Tafsīr al-Wasīth
(Jilid 3, al-Qashash – an-Nās)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: muhtadi, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Wasith

KONDISI PARA PENDOSA PADA HARI KIAMAT.

Gaya bahasa al-Qur’ān-ul-Karīm memiliki keistimewaan berupa perbandingan antara hal-hal yang bertentangan dan berbeda-beda, agar manusia yang berakal dan sadar bisa menentukan pilihan dengan bebas antara jalan kebaikan dan jalan keburukan, juga agar ‘amal perbuatannyalah yang menjadi sebab balasan kebaikan atau keburukan yang diterimanya. Pada beberapa ayat terdahulu Allah s.w.t. telah menyebutkan kondisi para pelaku kebajikan dan ketaqwaan di dalam keni‘matan surga, agar manusia siap untuk menunaikan ‘amal seperti ‘amal mereka. Kemudian Allah melanjutkannya dengan penjelasan kondisi orang-orang sengsara dan celaka di dalam neraka Jahim, agar manusia menjauhkan diri dari peri kehidupan dan tingkah laku mereka. Sebab, balasan yang jelas diterima di akhirat terikat dengan jenis ‘amal; maka ahli iman dan ‘amal shalih adalah orang-orang yang berbahagia, sedangkan ahli kekafiran, pembangkangan dan kemaksiatan adalah orang-orang yang binasa dan merugi, disebabkan berpalingnya mereka dari keimanan yang shahih kepada Allah berikut risalah-risalahNya serta dari ‘amal kebajikan dan kebaikan. Sebagaimana yang terlihat jelas di dalam ayat-ayat berikut.

وَ أَمَّا مَنْ أُوْتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ لَمْ أُوْتَ كِتَابِيَهْ. وَ لَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ. يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ. مَا أَغْنَى عَنِّيْ مَالِيَهْ. هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطَانِيَهْ. خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُ. ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُ. ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُ. إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ. وَ لَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِ. فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيْمٌ. وَ لَا طَعَامٌ إِلَّا مِنْ غِسْلِيْنٍ. لَا يَأْكُلُهُ إِلَّا الْخَاطِؤُوْنَ.

69: 25. Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata: “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku.
69: 26. Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitungan.
69: 27. Wahai, kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu.
69: 28. Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku.
69: 29. Kekuasaanku telah hilang dariku”.
69: 30. (Allah berfirman): “Tangkaplah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya.”
69: 31. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.
69: 32. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta.
69: 33. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar.
69: 34. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.
69: 35. Maka pada hari ini di sini tiada seorang teman pun baginya.
69: 36. Dan tidak ada makanan (baginya) kecuali dari darah dan nanah.
69: 37. Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa.
(al-Ḥāqqah [69]: 25-37).

 

Ma‘na: adapun orang sengsara yang menerima kitab catatannya dengan tangan kiri atau dari belakang punggungnya, ia akan berkata dengan nada sedih dan berduka karena mengetahui betapa buruknya ‘amal perbuatan dan akidahnya: “Duhai kiranya kitab catatanku tidak diberikan kepadaku. Seandainya aku tidak mengetahui sedikitpun bagaimana perhitunganku, sebab semuanya menjadi bencana bagiku. Seandainya kematian yang aku alami di dunia adalah yang menyudahi segala sesuatu dan mengakhiri kehidupan, sehingga aku tidak dibangkitkan sesudahnya.” Ya‘ni, seandainya setelah kematian itu tidak ada kepulangan dan kehidupan. Jadi dia mengangan-angankan keabadian kematian dan tidak adanya kebangkitan, disebabkan ia melihat betapa buruk ‘amal perbuatannya dan ‘adzab yang dihadapinya di akhirat. Ayat-ayat ini menghimpun antara ‘adzab jiwa berupa angan-angan seandainya tidak menerima kitab catatan ‘amal dan ‘adzab fisik yang dirasakan langsung ketika mengangan-angankan kematian, dan tidak ada sesuatupun di dunia yang lebih dibencinya selain kematian tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Qatādah.

Orang kafir itu menambahkan: “Hartaku tidak memberiku manfaat sedikitpun , sama sekali tidak mencegahku dari ‘adzab Allah s.w.t. Jabatan, kehormatan, kekuasaan dan hujjahku hilang begitu saja, tidak mampu menolak ‘adzab.” As-Sulthān kekuasaan: ḥujjah, menurut pendapat yang rājiḥ. Ibnu ‘Athiyyah berkata: “Yang zhahir menurut saya, bahwa yang dimaksud dengan “kekuasaan” setiap orang di dunia adalah:

لَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ فِيْ سُلْطَانِهِ، وَ لَا يُجْلَسُ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ.

Janganlah seorang laki-laki menjadi imam di wilayah yang menjadi wewenangnya dan janganlah ia didudukan di atas tempat duduknya kecuali dengan idzinnya.” (1381).

Orang-orang yang menerima kitab catatannya dengan tangan kiri: mereka itu kekal di dalam neraka, mereka adalah ahli kekafiran, maka mereka berangan-angan seandainya mereka dihilangkan begitu saja dan tidak mendapatkan sesuatupun balasan, ya‘ni ketika di akhirat mereka tidak mendapati sesuatu apa pun yang bermanfaat bagi mereka, baik harta, anak maupun ḥujjah yang diterima.

Lalu Allah memerintahkan malaikat Zabāniyah penjaga neraka, seraya berkata kepada mereka: “Tangkaplah dia!” Ya‘ni tangkaplah orang kafir yang sengsara ini. “Dalam keadaan terikat dengan rantai dan belenggu, dengan menyatukan tangannya dengan leher dalam belenggu. Kemudian masukkanlah dia ke dalam neraka Jaḥīm agar ia merasakan panasnya. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta hingga melilit tubuhnya, agar ia tidak bisa bergerak.” Allah s.w.t. menyebutkan di dalam al-Qur’ān bilangan tujuh ratus, tujuh puluh dan tujuh sebagai batas akhir beberapa perkara besar, yang demikian itu menyelaraskan dengan tradisi bangsa ‘Arab dan bangsa-bangsa lain yang menjadikan angka-angka itu sebagai batas akhir. Rantai sebagai salah satu perkara yang Allah sebutkan dengan bilangan tujuh puluh ini merupakan batas akhir bagi panjang sebuah rantai.

Faktor penyebab ancaman dan ‘adzab bagi orang yang sengsara: bahwa dia tidak beriman kepada Allah Yang Maha Agung. Artinya, dia kafir dan membangkang, tidak membenarkan Allah Pemilik keagungan dan kekuasaan. Kemudian dia tidak menyukai kebaikan dan tidak melakukannya, tidak menganjurkan orang untuk memberi makan orang fakir dan orang miskin yang kesusahan, lebih lanjut ia tidak mengeluarkan harta bagi orang yang membutuhkan. Artinya, dia tidak menunaikan hak-hak Allah yaitu mengesakan-Nya, beribadah kepada-Nya dan meninggalkan kesyirikan terhadapnya, dia juga tidak menunaikan hak-hak hamba yaitu berbuat baik dan saling membantu dalam kebaikan dan ketaqwaan. Disebutkannya kata “mendorong” bukan tindakan secara langsung mengandung celaan terhadap pelakunya, mengisyaratkan bahwa orang yang tidak mendorong sama seperti orang yang tidak melakukan perbuatan itu sendiri. Ini menjadi dalil bahwa selain kaum mu’minin secara mutlak tetap dituntut untuk melakukan cabang-cabang hukum syariat Islam, berupa shalat, zakat, puasa, haji dan berbagai syariat mu‘āmalat dan hukum pidana.

‘Adzab telah ditetapkan dan pasti berlaku bagi orang sengsara tersebut. Pada hari kiamat ia tidak mempunyai kerabat yang bisa memberinya manfaat, atau teman yang memberikan syafa‘at, atau penyelamat yang menyelamatkan dirinya dari ‘adzab. Al-ḥamīm: teman dekat yang penuh rasa kasih-sayang.

Adapun sarana-sarana keabadian hidup di dalam neraka bagi para penghuninya; bahwasanya kehidupan mereka selalu diperbarui setiap kali mereka di‘azab, tidak ada makanan yang mereka makan kecuali sesuatu yang paling menjijikkan, yaitu darah, nanah dan muntahan yang mengalir dari tubuh-tubuh penghuni neraka. Makanan itu menjadi racun yang ganas di dalam tubuh, selain ‘adzab untuk bagian luar tubuh. Makanan tersebut tidak dimakan kecuali oleh orang-orang berdosa, pelaku kesalahan dan dosa. Al-khāthi’: orang yang secara sengaja melakukan dosa, kesalahan dan meninggalkan kebenaran. Sedangkan al-mukhthi’: adalah orang yang melakukannya tanpa kesengajaan.

Di dalam kedua ayat ini Allah menafikan adanya penolong di akhirat bagi orang kafir. Allah juga menafikan adanya makanan kecuali berupa nanah yang mengalir dari tubuh penghuni neraka, yang demikian itu adalah puncak kejijikan.

Catatan:

  1. 138). HR. Muslim, Abū Dāūd, Tirmidzī, Nasā’ī, Ibnu Mājah dan Aḥmad di dalam kitab Musnad-nya, dari Abū Mas‘ūd al-Anshārī al-Badir r.a.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *