Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir Sayyid Quthb (6/6)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Banyak diceritakan di dalam kitab-kitab sirah (sejarah) tentang aneka macam sikap para pemimpin Quraisy, ketika mereka menolak dan menghilangkan syubhat (kesamaran) ini di antara mereka. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Isḥāq dari al-Walīd ibn-ul-Mughīrah, dari an-Nadhr ibn-ul-Ḥārits, dan dari ‘Utbah bin Rabī’ah. Diceritakan dalam riwayat orang pertama (al-Walīd ibn-ul-Mughīrah) bahwa sejumlah orang Quraisy berkumpul di rumah al-Walīd ibn-ul-Mughīrah, sedang dia adalah orang yang dituakan di kalangan mereka. Lalu ia mendatangi pekan raya, kemudian berkata kepada mereka, “Wahai segenap kaum Quraisy! Se- sungguhnya pekan raya ini telah tiba, dan utusan-utusan bangsa Arab akan datang kepadamu, dan mereka sudah mendengar tentang urusan kawanmu (yakni Nabi Muḥammad s.a.w.) ini. Karena itu, satukanlah pendapatmu, jangan sampai kamu berbeda pendapat lantas sebagian mendustakan yang lain, dan sebagian menolak pendapat sebagian yang lain.”

Mereka berkata, “Lantas, bagaimana pendapat Anda sendiri, wahai ayah Abdu Syams? Katakanlah satu pendapat buat kami dan kami akan mengatakan apa pendapatmu itu.” Dia menjawab, “Kalian sajalah yang menelorkan pendapat, saya akan mendengarkan.”

Mereka berkata, “Kita katakan saja bahwa dia itu tukang tenung.” Al-Walīd menjawab, “Tidak, demi Allah, dia bukan tukang tenung, karena kita sudah mengenal tukang-tukang tenung, tetapi apa yang dikatakannya (al-Qur’ān) itu bukan suara tukang tenung dan bukan pula sajaknya.”

Mereka berkata, “Kita katakan saja bahwa dia itu gila.” Al-Walīd menjawab, “Dia tidak gila. Kita sudah mengetahui bagaimana orang gila itu, dan kita sudah mengenal dia. Dia tidak dicekik setan, tidak dikacaukannya, dan tidak dibisikinya.”

Mereka berkata, “Kita katakan saja bahwa dia penyair.” Al-Walīd menjawab, “Dia bukan penyair, karena kita sudah mengenal syair dengan rajaznya hazajnya (bunyi dan lagunya), bacaannya, yang dipendekkan dan yang dipanjangkan. Karena itu, apa yang dikatakannya itu bukan syair.”

Kemudian mereka berkata, “Kita katakan bahwa dia tukang sihir.” Al-Walīd menjawab, “Dia bukan tukang sihir, kita sudah mengetahui tukang-tukang sihir dan sihir mereka. Apa yang dikatakannya itu bukan tiupan dan buhulan tukang sihir.”

Mereka berkata, “Kalau begitu, apa yang kita katakan wahai ayah Abdu Syams?” Al-Walīd menjawab, “Demi Allah, sungguh kata-katanya itu manis, batangnya banyak dahan dan rantingnya, dan cabang-cabangnya banyak buahnya yang ranum. Tidak ada sesuatu pun yang kalian ucapkan mengenai al-Qur’ān ini melainkan akan ketahuan bahwa perkataan kalian adalah batil. Oleh karena itu, tampaknya yang paling mendekati adalah kita katakan saja bahwa dia itu tukang sihir yang membawa perkataan yang berisi sihir untuk memisahkan antara seseorang dengan ayahnya, saudaranya, istrinya, dan keluarganya, yang karena itu mereka bercerai-berai.”

Kemudian mereka duduk di jalan-jalan yang dilalui manusia (ketika sudah tiba masa pekan raya) dan tidak ada seorang pun yang melalui mereka melainkan mereka peringatkan orang itu. Dan, mereka katakan kepadanya tentang perihal Rasulullah (sebagaimana yang mereka rencanakan).

Diceritakan dari orang kedua (an-Nadhr ibn-ul-Ḥārits) bahwa an-Nadhr berkata, “Wahai segenap orang Quraisy, demi Allah, sesungguhnya telah turun kepadamu sesuatu yang kamu tidak akan dapat melakukan tipu daya terhadapnya sesudah itu. Dahulu, Muhammad adalah seorang anak muda di kalangan kamu, yang paling kamu ridhai, yang paling jujur perkataannya, dan paling dapat dipercaya di antara kamu. Sehingga, apabila kamu sudah melihat uban di kedua pelipisnya dan dia datang kepadamu dengan membawa sesuatu, apakah lantas kamu katakan bahwa dia tukang sihir?! Tidak, demi Allah, dia bukan tukang sihir. Karena kita sudah kenal tukang sihir dan sudah mengerti tiupan dan buhulannya.

Kamu katakan dia sebagai tukang tenung?! Tidak, demi Allah, dia bukan tukang tenung. Karena, kita sudah mengetahui siapa tukang-tukang tenung itu beserta tindakan mereka yang kacau-balau, dan kita sudah mendengar sajak-sajak mereka.

Kamu katakan dia sebagai penyair?! Tidak, demi Allah, dia bukan penyair. Kita sudah mengenal syair. Kita sudah mendengar jenis-jenisnya, lagunya, dan iramanya.

Dan kamu katakan dia sebagai orang gila?! Pada hal, kita sudah mengetahui apa gila itu, sedangkan dia tidak dicekik setan, tidak dibisikinya, dan tidak dikacaukan pikirannya. Wahai segenap kaum Quraisy, perhatikanlah urusanmu, karena demi Allah, sesungguhnya telah turun kepadamu urusan yang besar.”

Kesesuaian antara perkataan al-Walīd dengan perkataan an-Nadhr ini hampir sempurna. Mungkin dia adalah satu-satunya pemuda yang sekali tempo dinisbatkan kepada cerita yang ini dan sekali tempo dinisbatkan kepada yang itu. Akan tetapi, semua itu tidak menutup kemungkinan akan kesesuaian dua macam perkataan dari dua orang pembesar Quraisy dalam dua sikap yang mirip ketika mereka sedang kebingungan dalam menghadapi al-Qur’ān ini!

Adapun sikap ‘Utbah, maka sudah diceritakan di muka dalam paparan kami terhadap surah al-Qalam dalam juz ini… yang sikapnya juga mirip dengan sikap al-Walīd dan an-Nadhr dalam menghadapi Nabi Muḥammad s.a.w. dan perkataan (al-Qur’ān) yang dibawanya.

Maka, perkataan mereka “tukang sihir” atau “tukang tenung” hanyalah tipu daya dan sekali tempo menunjukkan kesyubhatan yang memalukan. Pada hal, persoalannya sangat jelas dan tidak ada kesamaran lagi sejak pertama kali orang mau merenungkan dan memikirkannya. Oleh karena itu, tidak perlu bersumpah dengan apa yang mereka lihat dan apa yang tidak mereka lihat, bahwa al-Qur’ān adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul yang mulia. Ia bukan perkataan seorang penyair, dan bukan pula perkataan tukang tenung… Tetapi, ia hanyalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.

Ketetapan bahwa al-Qur’ān adalah perkataan Rasul yang mulia (sebagaimana bunyi ayat itu sebelum ditambah penjelasan—penj.) bukan berarti bahwa al-Qur’ān itu buatan beliau. Akan tetapi, yang dimaksudkan di sini adalah bahwa al-Qur’ān itu adalah perkataan jenis lain, yang tidak diucapkan oleh seorang penyair atau tukang tenung, melainkan diucapkan oleh Rasul yang diutus oleh Allah, dan membawa perkataan itu dari sana, dari sumber yang mengutusnya. Dan yang menopang makna ini adalah perkataan “Rasūl” yang berarti orang yang diutus membawanya dari sisi Tuhannya, dan bukan perkataan seorang penyair atau tukang tenung dari dirinya sendiri, dengan bantuan jin atau setan… Tetapi, dia adalah seorang Rasul yang mengucapkan perkataan yang dibawanya dari Tuhan yang mengutusnya. Penetapan ini dikukuhkan lagi dengan kalimat berikutnya,

Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam.” (al-Ḥāqqah: 43)

Komentar pada ujung-ujung ayat, “Sedikit sekali kamu beriman kepadanya” dan “Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya”… menunjukkan bahwa mereka tidak beriman dan tidak menyadari, sesuai dengan ungkapan bahasa yang berlaku. Hadits yang menyifati Rasulullah sebagai “orang yang sedikit sekali perbuatan sia-sianya”, berarti beliau sama sekali tidak pernah berbuat sia-sia.

Jadi, ayat tersebut meniadakan iman dan kesadaran mereka sama sekali. Sebab, tidak mungkin seorang mukmin mengatakan tentang Rasulullah sebagai “seorang penyair”. Mustahil orang yang sadar dan mau merenungkan mengatakan beliau sebagai “tukang tenung”. Sebab, kedua perkataan itu adalah kekufuran dan kelalaian yang terefleksikan dalam perkataan yang sangat mungkar ini!

Ancaman Bagi yang Memalsukan al-Qur’ān

Pada bagian akhir datanglah ancaman yang menakutkan bagi orang yang berdusta atas nama Allah dalam urusan aqidah, urusan serius yang tidak ada gurauan dan permainan padanya. Ayat ini datang untuk menetapkan satu-satunya kemungkinan yang tidak ada kemungkinan lain lagi. Yaitu, kebenaran dan kejujuran Rasulullah di dalam menyampaikan wahyu Allah kepada mereka, dengan bukti bahwa Allah tidak menyiksanya dengan siksaan yang pedih, sebagaimana yang akan ditimpakan kepadanya seandainya beliau menyimpang sedikit saja dari amanat menyampaikan wahyu ini.

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ. لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ. ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ. فَمَا مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ.

Seandainya dia (Muḥammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka, sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (al-Ḥāqqah: 33:34)

Faedah ucapan ini dari segi penetapan ini adalah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. memang benar dan jujur di dalam menyampaikan wahyu ini. Sebab, kalau beliau berdusta sedikit saja dengan membuat kebohongan terhadap wahyu yang diturunkan kepada beliau, niscaya Allah menindak beliau dengan tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat itu. Karena hukuman ini tidak terjadi, maka nyatalah bahwa beliau jujur dalam menyampaikan wahyu ini.

Inilah keputusan yang ditelurkan dari segi penetapan… Akan tetapi, pemandangan yang bergerak di dalam penetapan al-Qur’ān ini merupakan sesuatu yang lain lagi, yang memberikan bayang-bayang yang jauh di belakang makna penetapan ini. Bayang-bayang yang menakutkan dan mengerikan, sebagaimana di belakangnya juga terdapat gerakan, kehidupan, pengarahan, isyarat, dan kesan-kesan.

Di sana terdapat gerakan yang berupa penangkapan tangan kanannya dan pemotongan urat nadinya. Suatu gerakan yang menakutkan dan mengerikan. Tetapi, pada waktu yang sama merupakan gerakan yang hidup, dan di belakangnya mengisyaratkan adanya kekuasaan Allah yang agung dan ketidakberdayaan makhluk manusia yang lemah.

Ayat ini juga mengisyaratkan keseriusan urusan ini yang tidak mengenal toleransi dan kompromi terhadap seorang pun, siapa pun orangnya, meski pun dia Nabi Muhammad s.a.w., orang yang mulia di sisi Allah dan sangat dicintai-Nya. Di balik semua itu terkandung nuansa ketakutan, kengerian, dan ketundukan.

Urgensi al-Qur’ān

Akhirnya, datanglah bagian penutup surah yang menetapkan hakikat urusan ini beserta karakternya yang kuat.

وَإِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِّلْمُتَّقِينَ. وَإِنَّا لَنَعْلَمُ أَنَّ مِنكُم مُّكَذِّبِينَ. وَإِنَّهُ لَحَسْرَةٌ عَلَى الْكَافِرِينَ. وَإِنَّهُ لَحَقُّ الْيَقِينِ.

Sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa. Sesungguhnya Kami benar-benar mengetahui bahwa sesungguhnya di antara kamu ada orang yang mendustakan(nya). Sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat). Dan, sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar kebenaran yang diyakini.” (al-Ḥāqqah: 48:51)

Di sini al-Qur’ān mengingatkan hati yang percaya kepadanya, lantas ia menjadi sadar. Sesungguhnya hakikat yang dibawanya terkandung di dalamnya. Maka, al-Qur’ān menyebarkannya di dalamnya dan mengingatkan hati itu dengannya, lantas hati itu menjadi ingat dan sadar serta mengambil pelajaran darinya. Adapun orang-orang yang tidak bertaqwa, maka hati mereka mati, lalai, tidak terbuka, tidak mau mengambil pelajaran, dan tidak memanfaatkan kitab ini sedikit pun. Sedangkan, orang-orang yang bertaqwa menemukan di dalam kitab ini daya hidup, cahaya, pengetahuan, dan peringatan yang tidak dijumpai oleh orang-orang yang lalai.

Sesungguhnya Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan(nya).” (al-Ḥāqqah: 49)

Akan tetapi, hal ini tidak mempengaruhi hakikat persoalan ini, dan tidak mengubah hakikat tersebut. Karena, urusanmu terlalu enteng untuk mempengaruhi hakikat-hakikat perkara.

Sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat).” (al-Ḥāqqah: 50)

Karena, al-Qur’ān mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan menjatuhkan derajat orang-orang yang mendustakannya. Juga karena al-Qur’ān dengan optimal menetapkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan yang dipegang oleh orang-orang kafir. Selanjutnya, al-Qur’ān menjadi hujjah Allah untuk mempersalahkan orang-orang kafir pada hari akhir. Mereka disiksa karenanya, dan menyesal karena ditimpa azab yang pedih disebabkan kekafirannya terhadap al-Qur’ān itu. Karena itu, al-Qur’ān menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir di dunia dan di akhirat.

Dan, sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar kebenaran yang diyakini.” (al-Ḥāqqah: 51)

Di samping itu, al-Qur’ān mendustakan orang-orang yang mendustakannya. Al-Qur’ān adalah kebenaran yang diyakini. Dia bukan semata-mata keyakinan, tetapi dia adalah kebenaran di dalam keyakinan ini.

Ini merupakan ungkapan khusus yang mempunyai makna ganda dan pengukuhan ganda. Al-Qur’ān ini sungguh-sungguh diyakini secara mendalam. Sesungguhnya dia benar-benar menyingkap kebenaran yang murni pada semua ayatnya, yang hal ini mengisyaratkan bahwa sumbernya adalah Dia Yang Mahabenar, kebenaran pertama dan mendasar.

Maka, inilah dia tabiat urusan ini dan hakikatnya yang meyakinkan. Ia bukan perkataan seorang penyair, bukan perkataan tukang tenung, dan bukan pula kebohongan yang diada-adakan atas nama Allah. Tetapi, ia diturunkan dari Tuhan sememsta alam. Ia peringatan bagi orang-orang yang bertaqwa, dan ia adalah kebenaran yang diyakini.

Di sini, datanglah pengajaran tertinggi kepada Rasul yang mulia, pada waktu dan kondisi yang sangat tepat.

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ.

Maka, bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar.” (al-Ḥāqqah: 52)

Tasbih yang mengandung penyucian dan pujian, pengakuan dan pertanyaan, ubudia dan kekhusyuan… adalah perasaan yang meresap di dalam hati sesudah penetapan terakhir ini. Juga sesudah pemaparan yang panjang mengenai kekuasaan Allah Yang Mahaagung, dan keagungan Tuhan Yang Mahamulia….

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *