Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Wasith (1/4)

Dari Buku:

Tafsīr al-Wasīth
(Jilid 3, al-Qashash – an-Nās)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: muhtadi, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

Rangkaian Pos: Surah al-Haqqah 69 ~ Tafsir al-Wasith

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

SŪRAT-UL-ḤĀQQAH

 

PENAKUTAN TERHADAP HARI KIAMAT DAN BALASAN BAGI ORANG YANG MENDUSTAKANNYA.

Hari Kiamat atau al-ḥāqqah jauh lebih dahsyat dan lebih membahayakan dari apa yang kita bayangkan. Ketika banyak kaum yang mendustakannya, seperti halnya kaum Tsamūd, ‘Ād, Fir‘aun berikut kaumnya dan negeri-negeri kaum Lūth, Allah menghancurkan mereka dengan penghancuran hebat, yang bisa dijadikan pelajaran sangat berarti bagi generasi-generasi yang datang sesudah mereka. Itulah yang dikisahkan kepada kita oleh surah al-Ḥāqqah, surah Makkiyyah secara ijma‘, surah yang didengar oleh ‘Umar r.a. dari Nabi s.a.w., lalu ‘Umar berkata kepada dirinya sendiri ketika mendengar ayat-ayat permulaannya: “Sungguh ia seorang penyair sebagaimana yang dikatakan oleh Quraisy. Hingga beliau sampai pada firman Allah: “Sesungguhnya ia (al-Qur’ān itu) benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasūl yang mulia, dan ia (al-Qur’ān) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia (al-Qur’ān) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.” Beliau terus membaca hingga akhir surah. Lalu Allah memasukkan Islam ke dalam hatiku. Beliau inilah permulaan surah.

 

الْحَاقَّةُ. مَا الْحَاقَّةُ. وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ. كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ وَ عَادٌ بِالْقَارِعَةِ. فَأَمَّا ثَمُوْدُ فَأُهْلِكُوْا بِالطَّاغِيَةِ. وَ أَمَّا عَادٌ فَأُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍ. سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ. فَهَلْ تَرَى لَهُمْ مِّنْ بَاقِيَةٍ. وَ جَاءَ فِرْعَوْنُ وَ مَنْ قَبْلَهُ وَ الْمُؤْتَفِكَاتُ بِالْخَاطِئَةِ. فَعَصَوْا رَسُوْلَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَّابِيَةً. إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ. لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً وَ تَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ.

69: 1. Hari Kiamat, (1361)
69: 2. apakah hari Kiamat itu?
69: 3. Dan tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
69: 4. Kaum Tsamūd dan ‘Ād telah mendustakan hari Kiamat. (1372)
69: 5. Maka adapun kaum Tsamūd, mereka telah dibinasakan dengan suara yang sangat keras,
69: 6. sedangkan kaum ‘Ād maka mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin,
69: 7. Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus menerus; maka kamu melihat kaum ‘Ād pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk).
69: 8. Maka adakah kamu melihat seorang pun yang masih tersisa di antara mereka?
69: 9. Kemudian datang Fir‘aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkir balikkan karena kesalahan yang besar.
69: 10. Maka mereka mendurhakai utusan Tuhannya, Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras.
69: 11. Sesungguhnya ketika air naik (sampai ke gunung), Kami membawa (nenek moyang) kamu ke dalam kapal,
69: 12. agar Kami jadikan (peristiwa itu) sebagai peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.
(al-Ḥāqqah [69]: 1-12).

 

Hari kebangkitan dan hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Yaitu hari ketika janji dan ancaman terwujud. Hari kiamat disebut al-ḥāqqah, karena semua urusan penghitungan ditetapkan pada hari itu, ‘amal perbuatan ditetapkan untuk setiap pelakunya, juga karena kejadiannya ditetapkan secara pasti, tidak ada keraguan dan kesangsian di dalamnya. Kata al-ḥāqqah adalah bentuk subyek dari kata kerja ḥaqq-asy-syai‘u ḥaqqan, (sesuatu telah tetap), jika memang sesuatu itu benar keberadaannya. “Dan tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?” adalah kalimat untuk menyatakan mubālaghah (bombastis) kengerian-kengerian dan sifat-sifatnya.

Jenis hukuman yang menimpa sebagian umat terdahulu yang mendustakan hari kiamat, guna menimbulkan ketakutan pada diri penduduk Makkah, ialah:

Kabilah Tsamūd kaum Nabi Shāliḥ dan Kabilah ‘Ād kaum Nabi Hūd telah mendustakan hari kiamat, yaitu hari yang menggentarkan umat manusia karena kengerian-kengeriannya. Adapun kabilah Tsamūd, mereka dibinasakan secara sempurna dengan thāghiyah, yaitu suara teriakan, petir atau gempa yang kerasnya melampaui batas. Qatādah berkata: “Thāghiyah ma‘nanya adalah suara teriakan yang melampaui batas setiap suara teriakan yang ada.” Ini adalah perkataan yang paling utama dan paling benar.

Adapun kabilah ‘Ād, yaitu kaum Hūd, mereka dibinasakan secara menyeluruh dengan angin topan bersuarat sangat keras, sangat dingin dan sangat kencang terpaannya. Melampaui batas, disebabkan kedahsyatan kengeriannya, temponya yang sangat panjang dan berhawa sangat dingin, Allah menghembuskan angin topan itu kepada mereka dalam jangka waktu tujuh malam delapan siang secara berturut-turut, tidak terputus dan tidak reda. Angin itu membunuh mereka dengan batu-batu (yang dibawanya), sehingga menghancurkan mereka sehancur-hancurnya. Maka kamu melihat mereka, jika kamu hadir di negeri mereka ketika itu, menjadi mayat-mayat yang bergelimpangan di atas tanah, seakan-akan mereka adalah pokok-pokok pohon kurma yang telah tumbang atau telah rapuh. Allah tidak menyisakan barang seorangpun dari mereka. Maka adakah kamu melihat ada seorang pun di antara mereka yang masih tersisa? Melainkan mereka binasa seluruhnya, tidak ada keturunan mereka yang tertinggal. Di dalam Shaḥīḥ Bukhārī dan Shaḥīḥ Muslim disebutkan satu hadits dari Rasūlullāh s.a.w., beliau bersabda:

نُصِرْتُ بِالصَّبَا، وَ أُهْلِكَتْ عَادٌ بِالدَّبُوْرِ.

Aku ditolong dengan angin timur, sedangkan kaum ‘Ad dengan angin barat.”

Firman Allah: “seorang pun yang masih tersisa,” entah kata bentuk mubālaghah, sama seperti kata ‘allāmah dan nassābah, ma‘nanya: yang masih tertinggal, atau kelompok yang tertinggal. Atau merupakan kata bentuk mashdar, ma‘nanya: tidak ada peninggalan.

Kemudian tindak kesalahan dan kesewenangan itu kembali dilakukan oleh Fir‘aun, umat-umat kafir sebelum masanya dan penduduk negeri-negeri yang dijunkirbalikkan, yaitu perkampungan kaum Lūth. Tindak kesalahan mereka: kesyirikan, kemaksiatan berupa dosa besar.

Setiap umat dari umat-umat itu mendurhakai rasul yang diutus kepada mereka, maka Allah membinasakan dan menghancurkan mereka, serta menghukum mereka dengan hukuman yang keras dan pedih, jauh melebihi hukuman atas umat-umat yang lain. Ar-Rābiyah: sesuatu yang berkembang dan telah menjadi sangat besar.

Kemudian Allah menyebutkan bilangan ni‘mat-Nya kepada umat manusia di dalam kisah banjir bandang.

Ketika air telah melampaui batas dan naik ke atas dengan idzin Allah, maka terjadilah banjir pada masa Nūḥ a.s., Kami membawa kaum mu’minin nenek-moyang kalian, juga membawa kalian dalam tulang-tulang shulbi mereka, dengan menggunakan kapal yang berlayar di atas air, agar terwujud keselamatan bagi mereka dari tenggelam. Juga agar Kami menjadikan selamatnya kaum mu’minin dan ditenggelamkannya kaum kafir sebagai pelajaran dan nasihat, dengannya kalian mengambil dalil atas besarnya kekuasaan Allah, keajaiban perbuatan-Nya dan dahsyatnya hukuman-Nya, selanjutnya agar diperhatikan oleh setiap telinga yang mau memperhatikan setelah mendengar dan menangkap informasinya. Maka firman Allah: “agar Kami jadikan,” dan firman-Nya: “agar diperhatikan,” kembali kepada kejadian yang sama-sama dimaklumi, yaitu selamatnya kaum mu’minin dan ditenggelamkannya kaum kafir. Ma‘nanya: Barang siapa mengingat peristiwa itu niscaya ia akan menahan diri (dari tindakan kesalahan).’

Ibnu Abī Ḥātim dan Ibnu Jarīr meriwayatkan dair Makḥūl dengan sanad mursal, ia berkata: “Ketika firman Allah berikut turun kepada Rasūlullāh s.a.w.: “agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.” Beliau bersabda: “Aku memohon kepada Tuhanku agar menjadikan telinga itu sebagai telinga ‘Alī.” Makhul berkata: “Dan ‘Alī pernah berkata: “Saya tidak pernah mendengarkan sesuatunya dari Rasūlullāh s.a.w. lalu melupakannya.”

(Peristiwa-peristiwa dalam ayat-ayat di atas) ini adalah contoh dari sifat-sifat ‘adzab pedih yang ditimpakan Allah kepada sebagian umat-umat terdahulu, umat-umat yang disifati dengan berbagai bentuk kehebatan di dunia, agar menjadi pelajaran dan nasihat yang mengena bagi segenap kaum, individu atau kelompok yang melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka, baik kaum musyrikin Makkah terdahulu ataupun penduduk negeri yang lain. Sebentuk ‘adzab ini jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan berbagai bentuk ‘adzab ukhrawi. Perbedaan antara ‘adzab dunia dan ‘adzab akhirat sangtalah jelas, yang pertama bersifat temporal dan terbatas pada golongan tertentu, sedangkan yang kedua bersifat abadi, kekal, tidak akan sirna, dan mencakup setiap orang yang mendurhakai Allah dan meninggal dalam kekafirannya.

Catatan:

  1. 136). Al-Ḥāqqah: hari kiamat yang pasti terjadi.
  2. 137). Al-Qar‘ah: hari kiamat yang menggetarkan hati dengan keterkejutan yang ditimbulkan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *