Surah an-Nazi’at 79 ~ Tafsir al-Azhar (2/3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah an-Nazi'at 79 ~ Tafsir al-Azhar

SEDIKIT PERINGATAN TENTANG MUSA

“Adakah sudah datang kepada engkau berita (dari hal) Musa?” (ayat 15). Bunyi pertanyaan seperti ini bukanlah karena Allah belum tahu bahwa berita itu telah sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebelum itu. Banyak Surat-surat yang turun di Makkah sebelum Surat An-Nazi’at ini yang menerangkan juga darihal perjuangan Nabi Musa a.s. menghadapi Fir’aun. Menurut penafsir Asy-Syihab pertanyaan seperti ini adalah bermaksud taqrir, yaitu memperdalam ingatan atas kejadian itu. “Seketika menyeru akan dia Tuhannya.” (pangkal ayat 16). Yaitu seketika Tuhan Allah menyerukan atau memanggil Musa: “Di lembah suci Thuwa.” (ujung ayat 16). Yaitu sebagai tersebut di dalam Surat Thaha dan beberapa Surat yang lain, ketika Nabi Musa telah membawa anak isterinya meninggalkan Madyan menuju Mesir, di tengah jalan beliau melihat api di lereng Thursina, lalu dia pergi melihat api itu, dengan maksud hendak mengambil api itu untuk memasak-masak bagi anak isterinya. Tiba-tiba di lereng itulah, di satu lembah yang bernama Thuwa dia mendengar namanya dipanggil Tuhan. Dan Tuhan bersabda bahwa “Akulah Tuhanmnu!” Setelah Tuhan memperlihatkan mu’jizat yang akan dibawanya pulang ke Mesir, maka Tuhan pun memerintahkan kepadanya: “Pergilah engkau kepada Fir’aun, karena dia telah terlampau sangat.” (ayat 17). Artinya, sampaikanlah seruan Allah kepada Fir’aun itu, karena dia sudah melampaui batasnya sebagai manusia, dia telah terlalu sombong dan berbuat semau-maunya.

Thagha berati juga berbuat sekehendak hati, tidak perduli kepada fikiran orang lain, adikara, diktator dan mencapai juga merasa diri sudah seperti Tuhan. Sebab itu maka berhala yang dipertuhankan oleh manusia dinamai juga Thaghut. Kesewenang-wenangan memerintah dinamai juga Tughyan. Rumpun bahasa semuanya itu satu.

“Maka katakanlah: “Maukah engkau menjadi orang yang bersih?” (ayat 18).

Maukah engkau hai Fir’aun, menjadi orang yang bersih? Yaitu bersih jiwamu daripada kesombongan? Bersih fikiranmu daripada pengaruh orang-orang yang selalu mengelilingi engkau kiri kanan setiap hari? Yang selalu menyembah berjongkok di hadapanmu, tidak pernah menegur mengatakan yang salah? Sehingga dengan tidak engkau sadari, engkau merasa fikiranmu masih bersih juga, padahal telah kotor?

Itulah kira-kira isi seruan pertama yang perlu disampaikan Musa kepada Fir’aun. Dan jika kita kaji isi ayat ini di dalam dzauq-‘Arabi, rasa bahasa Arab, benar-benarlah dia satu da’wah yang ingin menyadarkan, yang timbul daripada rasa kasih. Dan ini dapat dimaklumi jika kita ingat bahwa Musa itu dibesarkan dalam istana Fir’aun.

“Dan aku tunjuki engkau (jalan) kepada Tuhan engkau.” (pangkal ayat 19). Jalan yang benar dan lurus; seba Allahlah Tuhan yang sebenarnya, tidak ada Tuhan selain Dia. Kalau engkau telah sadar akan hal itu, bersihlah jiwamu dari penyakit congkak dan sombong. Pengakuan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, adalah pengakuan yang dinamai Ikhlas, yang suci lagi bersih, tiada kotor dan berselubung dengan yang lain. Dan diingatkan kepadanya bahwa Allah itu bukanlah Tuhanku saja, tetapi Tuhan engkau juga. “Sehingga engkau jadi orang yang takut kepada-Nya.” (ujung ayat 19).

Az-Zamakhsyari menjelaskan dalam tafsirnya: “Diterangkan darihal takut kepada Tuhan (khasyyah) karena tempuknya terletak di sana. Siapa yang ada rasa takut kepada Allah, akan timbul daripadanya segala yang baik, dan aman dia dari maksud-maksud yang jahat. Dimulainya perkataan dengan berupa pertanyaan Maukah engkau, atau sudikah engkau, ialah mempersilahkan dengan secara halus, sebagai perumpamaan seorang yang membawa singgah tetamunya ke rumahnya ia berkata: “Sudikah tuan mampir ke rumah saya?” Dan semua kata-kata disuruh susunkan dengan lemah lembut penuh hormat, supaya kesombongannya turun. Sebagaimana di dalam Surat Thaha, Surat 20, ayat 44 difirmankan Tuhan juga kepada Musa, agar dia bersama Harun berkata yang lemah lembut kepada Fir’aun itu.” – Demikian Az-Zamakhsyari.

Tegasnya dari kita: “Dengan bertutur hormat itu, Fir’aun tidak akan begitu merasakan dirinya dihinakan, sehingga mudah dimasukkan pengajaran. Tetapi kalau dimulai dengan keras, dia tidak akan berganjak dari kesombongannya. Satu pelajaran bagi kita yang berjuang di bidang Da’wah.

“Lalu dia perlihatkan kepadanya mu’jizat yang besar.” (ayat 20). Sebagaimana telah tersebut di dalam Surat yang lain-lain, seruan itu telah disampaikan oleh Musa kepada Fir’aun sebagaimana dititahkan oleh Tuhan; (tengok Surat 20, Thaha, Surat 26 Asy-Syu’ara’, Surat 28 Al-Qashash dan lain-lain). Dia datang berdua dengan Harun ke istana dan sampai di sana mereka perlihatkan mu’jizat itu, tongkat beliau menjelma menjadi ular besar dan tangan beliau dimasukkan ke dalam ketiak dan setelah dikeluarkan keluarlah dari tangan itu cahaya bersinar: “Tetapi dia mendustakannya.” (pangkal ayat 21). Tetapi dia tidak mau percaya bahwa itu adalah mu’jizat yang ditakdirkan Allah bagi menolong da’wah Rasul-Nya, bahkan dituduhnya bahwa yang demikian itu adalah sihir belaka.

Sampai dikumpulkannya tukang sihir buat menandingi mu’jizat itu, namun sihir tukang-tukang sihir itu kalah oleh mu’jizat Musa a.s. Namun Fir’aun bertambah tidak mau percaya: “Dan dia mendurhaka.” (ujung ayat 21). Dia masih terus mendurhaka kepada Allah yang menurunkan mu’jizat itu. Sampai-sampai tukang sihir yang telah takluk kepada Agama Nabi Musa itu dihukumnya dipotonginya badan mereka dan digantung.

“Kemudian itu dia pun berpaling, lalu berusaha.” (ayat 22). Artinya, bertambahlah tidak diperdulikannya lagi seruan Nabi Musa itu, bahkan dia berpaling, langsung berusaha menyusun rencana sendiri buat meneguhkan kekuasaannya, supaya rakyatnya jangan ragu-ragu lagi tentang kekuasaannya karena propaganda baru dari Nabi Musa ini: “Maka dikumpulkannya (rakyatnya)”. (pangkal ayat 23). Dikirimlah pesuruh ke sana ke mari di seluruh negeri, menyuruh rakyat berkumpul, karena Fir’aun akan menyampaikan “perintah hariannya”. Setelah rakyat itu berkumpul di satu tempat berkumpul yang telah tersedia itu: “Dan dia pun berseru.” (ujung ayat 23). Macam-macamlah perintah yang diturunkan kepada rakyat agar patuh kepada perintah, jangan sampai tertarik oleh propaganda yang akan menyesatkan kamu daripada jalan yang benar, yang aku pimpinkan kepadamu selama ini, “yang selalu benar adalah aku, dan aku tidaklah akan membawamu ke jalan lain, kecuali menempuh jalan yang bijaksana.” (Lihat Surat 40, Al-Mu’min ayat 29).

“Lalu dia pun berkata.” (pangkal ayat 24). Yaitu sebagai yang jadi intisari seruan dan perintahnya yang panjang lebar itu: “Akulah Tuhan kamu yang paling tinggi!” (ujung ayat 24).

Dia betul-betul telah digila kekuasaan. Melihatkan tanah yang subur dan sungai Nil yang mengalir dan tidak ada raja lain yang berani menyanggah dia, dia telah merasa jadi tuhan; bahkan tuhan yang paling tinggi. Ditanamkan kepercayaan kepada rakyat bahwa dia adalah putera dari Dewi Matahari yang bernama Ra. “Bukankah di tanganku kekuasaan di Mesir ini, dan sungai-sungai ini mengalir di bawah kakiku? Tidaklah kalian lihat sendiri?” (Surat 43, Az-Zukhruf, ayat 51).

Kekuasaan membuat manusia jadi sombong dan lupa daratan!

“Maka disiksalah dia oleh Allah.” (pangkal ayat 25). Dikejarnya Musa dan Bani Israil yang hendak meninggalkan Mesir dan terganah di tepi lautan Qulzum; lalu Allah menolong dan membebaskan mereka, lautan terbelah dan mereka menyeberang dengan selamat. Dengan sombong Fir’aun mengejar dari belakang dan dicobanya pula menyeberangi laut yang terbelah, yang bukan disediakan buat dia melainkan disediakan buat Musa; maka bertautlah laut itu sedang dia di tengah, yang rupanya disediakan memang buat menunggu dia. Dan tenggelamlah dia ke dalam dasar lautan itu. “Akan jadi pengajaran di hari nanti”, yaitu di akhirat kelak kemudian hari bahwa di dalam nerakalah akan tempat tiap-tiap manusia yang sombong dengan kekuasaan yang hanya dipinjamkan belaka buat sementara oleh Allah: “Dan di permulaan.” (ujung ayat 25). Artinya di atas dunia ini. Bahwasanya segala orang yang dapat kekuasaan, baik karena kekayaan, ataupun karena pangkat dan jabatan, menjadi raja atau kepala negara, dan apa saja; janganlah sampai tercuri jiwanya oleh kekuasaan itu, janganlah sampai kotor. Jagalah kebersihan jiwa dari pengaruh lingkungan, pengaruh bithaanatis-suu, pembantu-pembatu busuk yang mengelilingi dan puji-pujian yang mengangkat-angkat setinggi langit, sehingga si penguasa pun lupa berpijak di bumi.

“Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah menjadi ibarat bagi orang-orang yang ada rasa takut.” (ayat 26). Kejadian pada Fir’aun ini bolehlah menjadi ibarat, menjadi kaca perbandingan, untuk diukurkan pada diri sendiri oleh siapa saja. Bahwa bagaimanapun kuasa manusia, namun tenaganya terbatas. Bagaimanapun tinggi pangkatnya, satu waktu akan datang masa berhenti, baik karena sampai waktu karena bersara, atau sampai waktu karena mati, atau karena gila, atau karena direbut kekuasaan itu oleh orang lain. Dalam saat-saat yang demikian tidak akan menolong kekuatan dan pertahanan dan persiapan penjaga diri, bagaimanapun berlapis-lapis diatur.

Ayat ini dijelaskan bahwa hal seperti ini hanya bisa diinsafi orang-orang yang ada rasa khasyyah, yaitu rasa takut kepada Allah. Sebab Allah itulah yang kekuasaan-Nya tidak terbatas. Dengan dikendalikan oleh rasa takut kepada Tuhan, orang-orang yang diberi Allah kesempatan berkuasa tidaklah lagi akan berlaku zalim dan aniaya. Tidaklah lagi akan menyalahgunakan kekuasaan. Akan insaflah ia bahwa dia naik hanya karena dinaikkan, dan manusia yang memuja-muja di hari besok, lusa mereka pula yang akan mencela mencerca.

Tatkala Napoleon yang terkenal itu berdiri di atas tribuni menerima penghormatan rakyat Perancis mengalu-alukan kemenangannya, kelihatan rakyat itu datang berduyun-duyun, berjingkrak-jingkrak kegirangan, bersorak-bersorai memuji memuja baginda: “Hidup Kaisar, Hidup Kaisar!” Lalu seorang Menteri yang tegak mendampingi berkata: “Cobalah Tuanku perhatikan! Alangkah besarnya kecintaan rakyat Ke Bawah Duli Tuanku!”

Dengan senyum penuh sinis Napoleon menjawab: “Karena sekarang aku berkuasa, mereka puji aku setinggi langit. Dan kalau aku jatuh, mereka juga yang akan mencela aku sampai ke kuruk bumi! Dan mereka akan memuji pula orang yang mengalahkan daku, lebih daripada pujian mereka hari ini!”

Beliau insaf akan hal itu. Dan sebentar-bentar kalau duduk sendirian orang-orang yang berkuasa akan insaf seperti itu pula. Tetapi keinsafan itu akan hilang sirna kembali di dalam alun gelombang puji-pujian orang berkeliling: “Sungguhlah pada yang demikian itu menjadi ibarat bagi orang-orang yang ada rasa takut.”

Disebutkan ceritera tentang Musa menghadapi Fir’aun dan bagaimana akhir hayat Fir’aun yang tenggelam ditelan Lautan Qulzum. Lalu di penutupnya dikatakan bahwa kejadian itu adalah suatu ibarat untuk kaca perbandingan bagi manusia. Betapapun tinggi pangkat, betapa pun kekayaan, betapa pun kekuasaan dan kerajaan, namun manusia tetaplah manusia, tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kebesaran alam ini. Dalam usia yang singkat, rata-rata di bawah 100 tahun manusia mati, hilang ke dalam tanah, namun alam keliling masih tetap dalam kebesarannya. Dan dia adalah Ciptaan Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *