Surah an-Nazi’at 79 ~ Tafsir Sayyid Quthb (4/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah an-Nazi'at 79 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Ketika Malapetaka yang Sangat Besar Sudah Tiba.

فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى. يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَى. وَ بُرِّزَتِ الْجَحِيْمُ لِمَنْ يَرَى. فَأَمَّا مَنْ طَغَى. وَ آثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. فَإِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوَى. وَ أَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَ نَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى.

Maka, apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya, dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Adapun orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa-nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (an-Nāzi‘āt: 34-41)

Kehidupan dunia adalah suatu kesenangan dan keni‘matan yang diukur dengan cermat dan teliti, sesuai dengan aturan yang berhubungan dengan alam secara keseluruhan, kehidupan, dan manusia. Akan tetapi, ia adalah kesenangan dan keni‘matan yang akan habis waktunya. Apabila telah datang malapetaka yang sangat besar, maka ia menutup dan menimpa segala sesuatu. Ia menimpa kesenangan-kesenangan yang terbatas waktunya itu; menimpa alam yang kokoh dan kuat serta teratur; menimpa langit yang dibangun dan bumi yang dihamparkan, gunung-gunung yang teguh, semua makhlūq hidup dan kehidupan; dan menimpa segala sesuatu yang ada. Realitasnya, malapetaka itu sangat besar, lebih besar dari segala yang dikatakan ini. Ia akan menimpa dan mengenai semuanya itu!

Pada waktu itu teringatlahh manusia akan apa yang telah dikerjakannya. Teringat dan terkenang segala usaha dan perbuatannya. Jika peristiwa-peristiwa kehidupan dan kesibukkan-kesibukan mencari kesenangan telah melalaikan dan melupakannya, maka saat itu ia akan teringat dan terkenang kepadanya. Tetapi, ingatan dan kenangannya itu tidak memberikan faedah sedikit pun kepadanya selain penyesalan dan keputusasaan, serta terbayang olehnya ‘adzāb dan bencana yang ada di belakangnya.

dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat.” (an-Nāzi‘āt: 36)

Neraka terbuka dan terlihat oleh setiap orang yang memiliki penglihatan. Dipergunakannya kata “burrizat” adalah untuk menegaskan dan menyangatkan ma‘na dan bunyinya, serta menampakkan pemandangan itu kepada setiap mata yang memandang!

Pada saat itu tempat kembali dan akibat yang diterima manusia berbeda-beda. Tampaklah tujuan pengaturan dan rencana pada penciptaan pertama.

Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya).” (an-Nāzi‘āt: 37-39)

Melampaui batas” di sini lebih luas cakupannya daripada ma‘nanya yang terbatas. Maka, ia merupakan sifat bagi setiap orang yang melampaui batas kebenaran dan petunjuk. Jangkauannya lebih luas daripada thughat “para tiran” yang memiliki kekuasaan dan diktator. Melampaui batas di sini mencakup semua orang yang melampaui batas petunjuk serta mengutamakan dan memilih kehidupan dunia daripada memilih kehidupan akhirat, sehingga, ia bekerja dan berbuat untuk dunia saja, tanpa memperhitungkan akhirat sama sekali.

Memperhatikan akhirat inilah yang meletakkan timbangan di tangan manusia dan di dalam hati nuraninya. Apabila ia telah mengabaikan perhitungan akhirat atau lebih mengutamakan dunia, maka rusaklah semua timbangan yang ada di tangannya, rusaklah semua ukuran nilai, rusaklah semua kaidah berperasaan dan berperilaku di dalam hidupnya. Ia diangap sebagai orang yang berlebihan, melanggar, serta melampaui batas dan ukuran.

Orang yang demikian ini: “maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya)”. Neraka yang terbuka, terlihat, dekat, dan di hadapan mata, pada hari ketika terjadi malapetaka yang sangat besar.

Adapun orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa-nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (an-Nāzi‘āt: 40-41)

Orang yang takut kepada kebesaran Tuhahnya, tidak akan berani berbuat maksiat. Karena, apabila dia hendak berbuat maksiat atau pelanggaran karena kelemahannya sebagai manusia, maka rasa takutnya kepada kebesaran dan keagungan Tuhan ini akan menuntunnya melakukan penyesalan, istighfar, dan tobat, sehingga ia berada di dalam wilayah ketaatan.

Menahan diri dari keinginan hawa-nafsu, merupakan titik pusat di wilayah ketaatan ini. Karena, hawa-nafsu itu merupakan pendorong yang kuat terhadap semua pelanggaran, tindakan melampaui batas, dan kemaksiatan. Hawa-nafsu adalah pangkal bencana, sumber kejahatan, dan jarang sekali manusia melakukan pelanggaran dan kemaksiatan kecuali karena dorongan hawa-nafsu ini. Kebodohan masih mudah diobati, tetapi hawa-nafsu setelah yang bersangkutan mengerti adalah suatu penyakit jiwa yang membutuhkan perjuangan yang berat dan panjang untuk mengobatinya.

Takut kepada Allah merupakan benteng yang kokoh di dalam menghadapi dorongan-dorongan hawa-nafsu yang keras, dan jarang sekali yang dapat menghalangi dorongan hawa-nafsu ini selain benteng tersebut. Karena itulah, al-Qur’ān menyebutkan kedua hal ini dalam satu ayat. Maka, yang berbicara seperti ini di sini adalah Yang menciptakan nafsu, Yang mengerti substansinya, dan Yang tahu obat-obatnya.

Hanya Dia sendirilah yang mengetahui perjalanan dan keinginan-keinginannya. Dia yang mengetahui di mana keinginan-keinginan hawa-nafsu dan penyakit-penyakitnya bersembunyi. Dia mengetahui pula bagaimana cara mengembalikan dan mengendapkannya di tempat-tempat persembunyiannya.

Allah tidak menugasi manusia agar di dalam dirinya tidak terjadi pertentangan dengan hawa-nafsu, karena Dia mengetahui bahwa yang demikian itu di luar kemampuan manusia. Akan tetapi, Dia menugasi manusia untuk mencegah. Menundukkan, dan mengendalikannya. Juga supaya meminta pertolongan untuk melakukan hal ini dengan rasa takut kepada kebesaran Tuhannya Yang Maha Luhur, Maha Agung, dan Maha Hebat. Dengan perjuangannya yang berat ini maka Allah menetapkan untuknya surga sebagai tempat tinggal dan tempat menetapnya: “Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).

Hal itu disebabkan Allah mengetahui betapa besarnya perjuangan tersebut, dan betapa bernilainya perjuangan tersebut untuk mendidik, meluruskan, dan mengangkat jiwa manusia kepada kedudukan yang tinggi.

Sesungguhnya manusia adalah manusia dengan adanya larangan ini padanya, adanya jihad atau perjuangan itu, dan adanya ketinggian ini. Ia bukan bernilai manusia lagi kalau sudah membiarkan dirinya mengikuti keinginan hawa-nafsunya dan memperturutkan daya tariknya ke tingkat yang rendah, dengan alasan bahwa hal itu sudah menjadi rangkaian tabiatnya. Karena itu, Dzat yang telah memberikan potensi kepada dirinya untuk mengikuti hawa-nafsu, juga telah memberikan kepadanya potensi untuk mengendalikan diri, menahan diri dari keinginan hawa-nafsu, dan melepaskannya dari daya tariknya. Dia telah menjadikan untuknya surga sebagai balasan dan tempat tinggalnya ketika ia menang melawan hawa-nafsunya dan dapat meningkat derajatnya ke posisi yang tinggi.

Di sana terdapat kebebasan insani yang sesuai dengan penghormatan Allah terhadap manusia. Yaitu, kebebasan untuk mengalahkan hawa-nafsunya dan melepaskan diri dari tawanan syahwat, serta bertindak dengan seimbang sesuai dengan kebebasannya untuk memilih dan menentukan sebagai manusia. Di sana juga terdapat kebebasan hewani, yaitu kebebasaan yang menjadikan manusia mengalah terhadap hawa-nafsunya, mengabdi kepada syahwatnya, dan melepaskan kendali dari kemauannya. Ini adalah kebebasan yang tidak disandang kecuali oleh orang yang telah hancur harkat kemanusiaannya, diperbudak oleh nafsunya, dan memberi pakaian kebebasan palsu terhadap keadaannya yang diperbudak itu.

Yang pertama itulah yang mengangkat harkat dan menjadikannya layak mendapatkan kehidupan yang luhur dan merdeka di surga yang menjadi tempat tinggalnya. Sedangkan, yang akhir adalah orang yang terbalik, hina, dan layak hidup di dasar neraka karena harkat kemanusiaannnya telah disia-siakan. Harkatnya melorot sehingga layak menjadi umpan neraka yang memang bahan bakarnya adalah manusia jenis ini dan batu.

Itulah dua tempat kembali yang cocok bagi orang yang jatuh harkatnya dan yang naik posisinya dalam timbangan agama yang menjadi penimbang hakikat segala sesuatu.

Tidak Ada yang Mengetahui Kapan Terjadinya Kiamat Kecuali Allah.

Kemudian datanglah kesan terakhir yang besar, dalam dan panjang dalam surah ini:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا. فِيْمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا. إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا. إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ يَخْشَاهَا. كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوْا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا

(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muḥammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya?. Siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit). Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.(an-Nāzi‘āt: 42-46)

Orang-orang musyrik yang keras kepala itu mempertanyakan kapan terjadinya kiamat kepada Rasūlullāh s.a.w. setiap kali mereka mendengar keterangan tentang kengerian hari kiamat dan peristiwa-peristiwanya beserta perhitungan dan pembalasannya.

Jawabannya adalah: “Siapakah kamu maka dapat menyebutkan waktunya?” Ini adalah jawaban yang mengisyaratkan betapa besar dan dahsyatnya peristiwa hari itu. Sehingga, diwujudkan dalam bentuk pertanyaan dengan menganggapnya bodoh, mengejutkan, masih kanak-kanak, dan melampaui batas kalau ia menyebutkan waktunya. Akan tetapi, perkataan ini ditujukan kepada Rasūlullāh s.a.w. yang agung:

Siapakah kamu maka dapat menyebutkan waktunya?” Sungguh ini lebih besar daripada kalau anda yang bertanya tentang waktunya. Maka, urusan ini terserah kepada Tuhanmu. Ini termasuk urusan khusus-Nya, bukan urusanmu:

Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya).” (an-Nāzi‘āt: 44)

Kepada Allah-lah kesudahan urusan hari kiamat ini. Dialah yang mengetahui kapan waktu terjadinya, dan Dia pula yang mengurus segala sesuatu pada hari itu.

Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit).” (an-Nāzi‘āt: 45)

Inilah tugas dan di sinilah batas Rasūlullāh s.a.w. Beliau hanya mengingatkan hari kiamat kepada orang yang mau memanfaatkan peringatan. Yaitu, orang yang hatinya merasakan hakikat hari kiamat itu lalu ia takut kepadanya dan ber‘amal untuk menghadapinya, serta menyerahkan urusan waktunya kepada Pemiliknya Yang Maha Suci lagi Maha Luhur.

Kemudian dilukiskannya kedahsyatan dan besarnya hari itu dengan lukisan yang menyentuh perasaan dan pikiran. Dibandingkannya kehidupan dunia dengan hari itu di dalam perasaan manusia dan ukuran mereka.

Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.(an-Nāzi‘āt: 46)

Karena besarnya pengaruh hari kiamat itu di dalam hati sehingga tampak kecil dan singkat kehidupan dunia ini, singkat usianya, kecil peristiwa-peristiwanya, sedikit kesenangannya dan segala sesuatunya; maka tampaklah oleh para pelakunya seakan-akan kehidupan dunia itu hanya setengah hari saja, yaitu waktu sore atau waktu pagi hari saja.

Dilipatlah kehidupan dunia yang para penghuninya saling berperang dan membinasakan untuk mendapatkannya. Mereka lebih mengutamakan dunia, sehingga untuk mendapatkannya mereka tinggalkan bagian mereka di akhirat. Untuk mendapatkannya pula, mereka melakukan dosa-dosa, kemaksiatan, dan pelanggaran. Mereka juga dihanyutkan oleh hawa-nafsunya untuk hidup di sana. Dilipatlah kehidupan ini di dalam jiwa pelakunya sendiri. Maka, kehidupan dunia itu bagi mereka ketika datangnya hari kiamat hanyalah seperti hidup pada sore atau pagi hari saja (setengah hati).

Inilah kehidupan dunia yang pendek, singkat, remeh, mudah lenyap, tak berharga, dan tak ada nilainya. Maka, layakkah hanya karena mencari kehidupan yang cuma seperti di waktu sore atau pagi hari saja lamanya, menjadikan mereka mengorbankan akhirat? Atau, layakkah karena hendak mengikuti syahwat yang sebentar saja, mereka tinggalkan surga sebagai tempat tinggal dan tempat kediaman?

Sungguh sikap seperti itu adalah kebodohan yang sangat besar. Kebodohan yang tidak pantas disandang oleh manusia yang dapat mendengar dan melihat.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *