Surah an-Nazi’at 79 ~ Tafsir Sayyid Quthb (3/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah an-Nazi'at 79 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Mengingatkan Kaum Musyrikīn dan Semua Manusia kepada Kekuasaan Allah.

Setelah melakukan perjalanan melihat-lihat puing-puing kehancuran orang-orang yang melanggar dan melampaui batas dengan segala kekuatannya, maka pembicaraan diputar kembali kepada orang-orang musyrik yang terpedaya oleh kekuatannya. Dikembalikan dan diingatkanlah mereka kepada sesuatu dari fenomena kekuatan yang sangat besar di alam semesta ini yang kekuatan mereka tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengannya:

أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا. رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا. وَ أَغْطَشَ لَيْلَهَا وَ أَخْرَجَ ضُحَاهَا. وَ الْأَرْضَ بَعْدَ ذلِكَ دَحَاهَا. أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَ مَرْعَاهَا. وَ الْجِبَالَ أَرْسَاهَا. مَتَاعًا لَّكُمْ وَ لِأَنْعَامِكُمْ.

Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya, Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Dia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh. (Semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” (an-Nāzi‘āt: 27-33)

Ini adalah pertanyaan yang hanya mengandung sebuah jawaban yang harus diterimanya dengan pasrah dan tidak dapat dibantah lagi:

Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit?” (an-Nāzi‘āt: 27)

Sudah tentu jawabannya adalah “langit”, tanpa dapat dibantah dan disanggah lagi. Karena itu, mengapa kamu tertipu dan terpedaya oleh kekuatanmu, padahal langit itu lebih sulit penciptaannya daripada kamu dan masih ada lagi yang penciptaannya lebih sulit daripada langit itu?

Itulah satu sisi dari isyārat pertanyaan itu, dan masih ada sisi yang lain lagi. Maka, persoalan apa lagi yang kamu anggap sulit bagi Allah untuk membangkitkan kamu kembali? Menciptakan langit itu lebih sulit daripada menciptakan kamu, sedang membangkitkan kamu dari kubur itu hanya mengembalikan atau mengulang penciptaanmu saja. Tuhan yang telah menciptakan langit yang lebih sulit penciptaannya itu sudah tentu berkuasa mengulangi penciptaanmu, dan tentu hal ini lebih mudah.

Langit yang lebih sulit penciptaannya tanpa dapat dibantah lagi ini “telah dibangun oleh-Nya”. Bangunan itu mengesankan adanya kekuatan dan kekokohan. Demikian pula langit, ia kokoh dan teguh, bintang-gemintangnya tidak acak-acakan dan amburadul. Mereka tidak pernah keluar dari garis edarnya, tidak berguguran, dan tidak berantakan. Maka, langit ini adalah bangunan yang kuat, mantap, kokoh, dan saling menguatkan di antara bagian-bagiannya.

Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya” (an-Nāzi‘āt: 28)

Samku kulli syai’in” adalah bangunan dan ketinggian sesuatu. Langit ditinggikan bangunannya dengan rapi dan kokoh. Inilah yang dimaksud dengan “menyempurnakannya” dalam firman-Nya: “Fa sawwāhā” “lalu menyempurnakannya”.”

Penglihatan murni dan pengamatan biasa dapat menyaksikan keteraturan dan kerapian yang mutlak ini. Ma‘rifat (mengenal) terhadap hakikat undang-undang yang menahan makhlūq-makhlūq yang besar ini dan menata gerakan-gerakan dan pengaruh serta dampaknya, dapat memperluas ma‘na pelajaran yang ditangkapnya. Juga dapat menambah luasnya jangkauan hakikat yang besar ini, yang didak dapat dicapai manusia dengan ‘ilmunya kecuali hanya ujung-ujungnya saja. Mereka berhenti di hadapannya dengan terkagum-kagum, terhenyak, dan takut. Mereka tidak mampu menerangkan sebab-sebabnya bila tanpa menetapkan adanya kekuatan terbesar yang mengatur dan menentukan, seandainya mereka tidak beriman kepada agama.

Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang” (an-Nāzi‘āt: 29)

Kalimat ini sangat dahsyat bunyi dan ma‘nanya, sesuai dengan pembicaraan tentang kedahsyatan dan kekuatan: “Wa aghthasya lailahā” artinya sama dengan “azhlamahu” “menjadikan malamnya gelap gulita.” “wa akhraja dhuḥāhā” ya‘ni “adhā’ahā” “menjadikan siangnya terang-benderang.” Pemilihan kata ini sejalan dengan konteks masalah. Berurutannya dua keadaan yang berupa gelap dan terang pada waktu malam dan waktu siang merupakan suatu hakikat yang dapat dilihat oleh setiap orang dan mengesankan setiap hati. Namun, kadang-kadang manusia melupakannya karena lamanya kebiasaan ini dan seringnya berulang-ulang.

Oleh karena itu, al-Qur’ān mengembalikan kebaruannya dengan mengarahkan perasaan kepadanya. Karena, pada hakikatnya ia senantiasa baru, mengalami kebaruan setiap hari, dan terasa baru pula kesannya dalam kejadiannya. Adapun undang-undang yang ada di belakangnya sangat halus dan agung yang menyebabkan rasa takut dan decak kagum (Membuat bunyi “cek” dengan mulut u untuk menyatakan kekaguman atau keheranan, a ticking sound (clock, etc.)) orang yang mengerti dan mengenalnya. Maka, hakikat ini menjadikan hati merasa takut dan berdecak kagum setiap kali ‘ilmunya bertambah dan pengetahuannya berkembang.

Bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Dia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh.” (an-Nāzi‘āt: 30-32)

Dahw-ul-ardhi” artinya membentangkan dan menghamparkan permukaannya. Sehingga, ia layak dilewati di atasnya dan pembentukan tanahnya layak untuk ditumbuhi tumbuh-tumbuhan. Dipacangkannya gunung-gunung menjadikan mantapnya lapisan atas bumi. Dengan adanya gunung-gunung ini pula maka panas bumi mencapai tingkat sedang sehingga layak bagi kehidupan.

Allah mengeluarkan air darinya, baik yang memancar dari sumber-sumber maupun yang turun dari langit yang pada dasarnya juga berasal dari bumi yang menguap kemudian turun kembali dalam bentuk hujan. Ditumbuhkan-Nya dari bumi itu tumbuh-tumbuhannya yang dimakan oleh manusia dan binatang-binatang ternak untuk menjadi unsur penghidupan manusia secara langsung ataupun tidak langsung.

Semua itu terjadi setelah dibangunnya langit, dijadikannya malam gelap-gulita, dan dijadikannya siang terang-benderang. Teori astronomi (‘ilmu falak) modern sangat berkekatan dengan apa yang ditunjuki oleh nash al-Qur’ān ini ketika teori itu menetapkan bahwa bumi telah melewati masa beratus-ratus juta tahun, sedang ia terus melakukan peredarannya. Siang dan malam silih berganti sebelum dihamparkannya bumi itu dan sebelum ia dapat ditumbuhi. Juga sebelum dinampakkannya kulitnya sebagaimana adanya sekarang di mana ada bagian yang tinggi dan ada bagian-bagian yang datar.

Al-Qur’ān menyatakan bahwa semua ini adalah:

Untuk kesenanganmu dan binatang-binatang ternakmu.” (an-Nāzi‘āt: 33)

Maka, diingatkannya manusia terhadap keagungan rencana Allah untuk mereka dari satu segi, sebagaimana diisyaratkan tentang keagungan ketentuan Allah terhadap kekuasaan-Nya. Karena, bangunan langit seperti ini dan dihamparkannya bumi sedemikian rupa bukanlah suatu hal yang terjadi secara tak sengaja dan kebetulan belaka. Tetapi, sudah tentu dengan perhitungan dan ukuran yang cocok untuk makhlūq yang akan mengelola bumi ini. Juga sesuai dengan yang dibutuhkan bagi eksistensi, pertumbuhan, dan perkembangannya. Hal ini sesuai dengan sistem alam, dan sistem tata surya secara khusus, serta sistem bumi secara lebih khusus.

Al-Qur’ān dengan metodenya di dalam memberikan isyārat global yang mengandung pokok hakikat ini, di sini menyebutkan kesesuaian-kesesuaian bangunan langit, gelap-gulitanya malam, terang-benderangnya siang, dihamparkannya bumi, dikeluarkannya airnya, ditumbuhkannya tumbuh-tumbuhannya, dan dipancangkannya gunung-gunungnya untuk kesenangan manusia dan binatang-binatang ternaknya. Semua ini merupakan isyārat yang menunjukkan hakikat pengaturan dan penataan pada beberapa bagian lahiriah yang terbuka bagi semua manusia. Juga yang layak dijadikan materi pembicaraan kepada manusia dalam semua lingkungan dan semua masa, dan yang tidak memerlukan ‘ilmu dan pengetahuan yang melebihi kapasitas pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga, khithāb “perkataan” al-Qur’ān ini bersifat umum kepada semua anak manusia pada semua peringkat dan waktu.

Di balik tataran ini terdapat jangkauan dan ufuk lain dari hakikat yang sangat besar. Yaitu, hakikat pengaturan dan penataan di alam semesta dan ketidakmungkinannya semua ini terjadi secara kebetulan dan tanpa disengaja. Tidak mungkin tabiat alam dan keserasian-keserasian yang menakjubkan ini terjadi secara kebetulan.

Kesesuaian-kesesuaian dan keserasian-keserasian yang dimulai dengan keberadaan sistem tata surya yang bumi kita dinisbatkan kepadanya, ini tersusun di antara beratus-ratus juga bintang. Bumi merupakan planet tersendiri yang tidak terdapat padanannya dalam sistem tata surya, yang menjadikannya layak bagi kehidupan manusia. Hingga sekarang manusia tidak mengetahui adanya planet lain yang memiliki keserasian-keserasian mendasar seperti ini, padahal jumlahnya beribu-ribu.

Prof al-‘Aqqād dalam buku Aqā’id-ul-Mufakkirīna fil-Qarn-il-‘Isyrīn halaman 36 berkata: “Hal itu dikarenakan faktor-faktor penyebab kehidupan terpenuhi di planet bumi ini dengan ukurannya yang sesuai, jaraknya yang sedang, dan susunannya yang padanya dapat bertemu unsur-unsur materi yang cocok dijalankan gerak kehidupan padanya.

Harus ada ukuran yang sesuai, karena keberadaan udara di sekitar planet ini bergantung pada kekuatan daya tariknya. Jaraknya harus sedang, karena sesuatu yang dekat dari matahari itu sangat panas dan tidak memungkinkan jasad-jasad bertahan padanya. Sedangkan, kalau terlalu jauh dari matahari, ia sangat dingin yang tidak memunkinkan jasad-jasad tersebut dapat bergerak. Juga harus ada unsur-unsur yang memungkinkan digerakkannya aktivitas kehidupan, yang cocok untuk tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan kehidupan yang bertumpu padanya untuk menjadi makanan. Letak bumi yang merupakan tempat paling layak yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang sangat diperlukan bagi kehidupan, dalam bentuk yang kita kenal ini. Kita tidak mengenal bentuk lain hingga sekarang.”

Penetapan hakikat pengaturan dan penataan terhadap alam yang besar, dan perhitungan penempatan bagi manusia padanya dengan perhatian sedemikian dalam penciptaan dan perkembangannya, merupakan sesuatu yang menyiapkan hati dan pikiran untuk menerima hakikat akhirat dengan perhitungan dan pembahasannya secara tenang dan penuh kepasrahan. Karena, tidak mungkin alam dan manusia diciptakan begitu saja tanpa disempurnakan, dan tidak mendapatkan pembalasan nanti. Tidak masuk akal urusannya berakhir dengan berakhirnya kehidupan yang singkat di dunia yang fanā’ ini, sedang kejahatan, pelanggaran, dan kebatilan berlalu dengan selamat di muka bumi dengan segala akibat yang ditimbulkannya. Begitu juga dengan kebaikan, keadilan, dan kebenaran serta segala risiko yang dipikulnya akan berlalu begitu saja di muka bumi tanpa mendapatkan balasan apa-apa.

Ketetapan seperti ini bertentangan dengan tabiat pengaturan dan penataan yang jelas di alam yang besar ini. Karena itu, bertemulah hakikat yang disentuh konteks ini dalam segmen itu dengan hakikat akhirat yang merupakan tema pokok surah ini. Layaklah ia untuk mengantarkan hati dan pikiran agar menerima berita tentang malapetaka sangat besar, yang disebutkan sesudahnya, di tempatnya dan pada waktunya nanti.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *