Surah an-Nazi’at 79 ~ Tafsir al-Azhar (1/3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah an-Nazi'at 79 ~ Tafsir al-Azhar

Sūrat-un-Nāzi‘āt
(Yang Mencabut (Nyawa) Dengan Cepat)

Surat ke-79, 46 Ayat
Diturunkan di Makkah

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang

 

وَ النَّازِعَاتِ غَرْقًا. وَ النَّاشِطَاتِ نَشْطًا. وَ السَّابِحَاتِ سَبْحًا. فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا. فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا. يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ. تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ. قُلُوْبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ. أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ. يَقُوْلُوْنَ أَئِنَّا لَمَرْدُوْدُوْنَ فِي الْحَافِرَةِ. أَئِذَا كُنَّا عِظَامًا نَّخِرَةً. قَالُوْا تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ. فَإِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَاحِدَةٌ. فَإِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِ. هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ مُوْسَى. إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى. اِذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَى أَنْ تَزَكَّى. وَ أَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى. فَأَرَاهُ الْآيَةَ الْكُبْرَى. فَكَذَّبَ وَ عَصَى. ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى. فَحَشَرَ فَنَادَى. فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى. فَأَخَذَهُ اللهُ نَكَالَ الْآخِرَةِ وَ الْأُولَى. إِنَّ فِيْ ذلِكَ لَعِبْرَةً لِّمَنْ يَخْشَى. أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا. رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا. وَ أَغْطَشَ لَيْلَهَا وَ أَخْرَجَ ضُحَاهَا. وَ الْأَرْضَ بَعْدَ ذلِكَ دَحَاهَا. أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَ مَرْعَاهَا. وَ الْجِبَالَ أَرْسَاهَا. مَتَاعًا لَّكُمْ وَ لِأَنْعَامِكُمْ. فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى. يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَى. وَ بُرِّزَتِ الْجَحِيْمُ لِمَنْ يَرَى. فَأَمَّا مَنْ طَغَى. وَ آثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. فَإِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوَى. وَ أَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَ نَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى. يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا. فِيْمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا. إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا. إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ يَخْشَاهَا. كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوْا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا

79: 1. Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras,
79: 2. dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut,
79: 3. dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,
79: 4. dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang,
79: 5. dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia).
79: 6. (Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncangkan alam,
79: 7. tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua.
79: 8. Hati manusia pada waktu itu sangat takut,
79: 9. pandangannya tunduk.
79: 10. (Orang-orang kafir) berkata: “Apakah sesungguhnya kami benar-benar dikembalikan kepada kehidupan yang semula?
79: 11. Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila kami telah menjadi tulang-belulang yang hancur lumat?”
79: 12. Mereka berkata: “Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang merugikan”.
79: 13. Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah dengan satu kali tiupan saja,
79: 14. maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi.
79: 15. Sudahkah sampai kepadamu (ya Muḥammad) kisah Mūsā.
79: 16. Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah Lembah Thuwā;
79: 17. “Pergilah kamu kepada Fir‘aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas,
79: 18. dan katakanlah (kepada Fir‘aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”
79: 19. Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?”
79: 20. Lalu Mūsā memperlihatkan kepadanya mu‘jizat yang besar.
79: 21. Tetapi Fir‘aun mendustakan dan mendurhakai.
79: 22. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Mūsā).
79: 23 Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya.
79: 24. (Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.
79: 25. Maka Allah mengadzabnya dengan adzab di akhirat dan adzab di dunia.
79: 26. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya).
79: 27. Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya,
79: 28. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya,
79: 29. dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang.
79: 30. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.
79: 31. Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.
79: 32. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,
79: 33. (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
79: 34. Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang.
79: 35. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya,
79: 36. dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat.
79: 37. Adapun orang yang melampaui batas,
79: 38. dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,
79: 39. maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya).
79: 40. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
79: 41. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).
79: 42. (Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muḥammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya?.
79: 43. Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)?
79: 44. Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya).
79: 45. Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit).
79: 46. Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.

 

Perkataan-perkataan yang dalam dan tangkas ini berbagai ditafsirkan oleh ahli-ahli tafsir. Jangankan tafsir-tafsir lama, sedangkan Tafsir Indonesia yang dikarang di zaman kita ini pun berbeda menafsirkannya, menurut pilihan masing-masing menurut dasar yang diyakini.

  1. Hassan dalam Al-Furqannya mengartikan ayat-ayat ini ialah dari hal keadaan bintang-bintang di langit. Sebab itu ayat yang pertama beliau artikan: “Perhatikanlah (bintang-bintang) yang beralih dengan cepat” (Al-Furqan hal. 1176).
  2. Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin Hs. mengartikannya: “Demi (perhatikan) yang mencabut dengan keras.” (Tafsir Qur’an, hal. 887).

Panitia Kementrian Agama di dalam “Al-Qur’an Dan Terjemahannya” mengartikan ayat pertama: “Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut nyawa dengan keras.” (Al-Qur’an Dan Terjemahannya, hal. 1019).

Al-Qasimi mengatakan dalam Tafsirnya (Jilid 17, 6043) arti ayat pertama itu ialah Tentara-tentara Penyerbu negeri musuh (ghuzaat) atau tangan mereka.

Al-Qasimi menyalinkan pula penafsiran Ad-Darimi: “Pahlawan menyerbu negeri musuh dengan mencabut anak panah dan melayanglah anak panah itu dari busurnya dengan cepat sekali.”

Tafsir-tafsir demikian bukan sejak sekarang saja. Memang telah ditafsirkan oleh masing-masing ahli tafsir menurut ke mana condong keyakinan mereka. Menurut Ibnu Katsir: “Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, (keduanya dari sahabat Rasulullah SAW), Masruq, Said bin Jubair, Abu Shalih, Abudh-Dhuha dan As-Suddi menafsirkan bahwa yang dimaksud di ayat ini ialah malaikat-malaikat mencabut nyawa Anak Adam jika datang waktunya. Mujahid menafsirkan ayat pertama itu ialah menggambarkan bila mati telah datang, dicabut nyawa maka tenggelamlah orang ke dalam alam barzakh. ‘Atha’ menafsirkan ayat itu ialah membayangkan apabila perang besar telah berkecamuk.

Al-Qasimi mengakui perbedaan tafsir-tafsir itu, lalu beliau berkata: “Lapal-lapal yang mulia itu amat luas meliputi segala makna, dengan tak usah ada pertentangan. Tidaklah mungkin dipastikan satu tafsir saja, karena tidak ada hukum untuk memutuskan.”

Ibnu Jarir berkata dalam tafsirnya: “Yang benar di sisiku ialah bahwa Allah Ta’ala telah bersumpah dengan banyak hal yang dapat mencabut cepat lalu tenggelam, dan Dia tidak menentukan pencabutan yang mana dan tenggelam yang mana. Sebab itu segala hal yang bisa mencabut cepat dan menenggelamkan masuklah di dalamnya, baik malaikat-malaikat atau bintang-bintang atau pun panah dicabut dari busurnya, lalu melayang dengan cepatnya, tenggelam pada sasaran, ataupun yang lain. Mana yang sifatnya begitu masuklah di dalamnya.”

Berdasar kepada jalan luas yang dibuka, baik oleh Al-Qasimi penafsir zaman kita atau Ibnu Jarir Ath-Thabari penafsir zaman dulu, dapatlah kita pakai semuanya itu. Kita jadikan dia penafsiran menarik perhatian kita kepada bintang-bintang yang bertebaran di langit, yang cepat sekali beralih dari satu tempat ke tempat yang lain, yang selalu berpindah, dan selalu beredar, berlomba laju. Dan samasekali itu diatur oleh pengatur yang ditentukan oleh Allah, (ayat 5). Maka tersebutlah bahwasanya pengatur perjalanan cakrawala itu ialah Malaikat Mikail.

Dan boleh pula kita tafsirkan bahwa yang dimaksud ialah malaikat yang ditugaskan Tuhan bekerja cepat, secepat perjalanan cahaya, karena malaikat itu sendiri memang terjadi daripada cahaya, sebagai tersebut dalam sebuah Hadis yang telah kita salinkan di dalam Juzu’ 15.

Maka adalah malaikat itu yang dengan cepat sekali mencabut nyawa manusia bila ajalnya telah datang, sebagai maksud dari: “Demi yang mencabut cepat.” (ayat 1). Dan yang selalu berpindah dari satu bahagian alam kepada bahagian alam yang lain, guna membagi-bagikan hujan dan panas dan peredaran musim, sebagai maksud dari: “Dan yang selalu berpindah.” (ayat 2). Ada yang beredar lekas, sebagai maksud dari: “Dan yang beredar lekas.” (ayat 3). Menyampaikan permohonan manusia kepada Allah sebagai tersebut dalam Hadis ada malaikat penjaga siang dan ada penjaga malam, yang berganti datang ke dunia menjaga amalan manusia, dan ada yang berlomba laju, sebagai maksud dari: “Maka yang berlomba laju.” (ayat 4). Sehingga sehari dalam perhitungan kelanjutan malaikat itu sama dengan 50.000 tahun perhitungan kita manusia, (Surat 70, Al-Ma’arij ayat 4), atau sehari hitungan di sana sama dengan 1.000 tahun hitungan kita di sini (Surat 32, As-Sajdah ayat 5). Dan ada yang mengatur segala perjalanan itu menusur garis yang ditentukan Allah sebagai maksud dari: “Maka yang mengatur perintah.” (ayat 5). Yaitu Malaikat Mikail.

Semuanya ini diambil menjadi sumpah oleh Allah, artinya agar kita perhatikan, guna menambah iman kita. Kalau tafsirnya itu ialah bintang, maka insaflah kita bahwa di atas dari bumi tempat kita berdiam ini ada lagi bintang-bintang yang lebih besar daripada bumi dan sangat cepat peredarannya semuanya tunduk kepada ketentuan Allah, dan ada yang diperintah Tuhan untuk mengaturnya.

Kalau yang dimaksud itu ialah malaikat, agar insaflah kita bahwa di samping yang jelas kelihatan di mata ini, ada lagi makhluk-makhluk ghaib sebagai tentara Tuhan, dan tidak seorang pun yang tahu berapa jumlah dan di mana bersembunyi tentara-tentara Allah itu, (Surat 74, Al-Muddatstsir, ayat 31).

BILA KIAMAT DATANG

Kita disuruh memperhatikan Alam Semesta itu semuanya, baik keindahan dan kecepatan bintang-bintang yang dapat dilihat mata, atau kecepatan bertindak malaikat-malaikat yang dapat direnungkan dalam batin, akhirnya sampailah renungan kita kepada kesimpulan, bahwa semua itu akan berakhir: “Di hari akan bergoncanglah sesuatu yang bergoncang.” (ayat 6). Akan bergoncang sesuatu yang bergoncang, yaitu bumi tempat kita hidup ini. Dia hanyalah satu di antara berjuta-juta bintang di alam semesta bebas ini. Di pandang dari segi alam semesta, goncangan bumi itu hanya suatu soal kecil belaka, tetapi bagi kita yang hidup di dalamnya kegoncangan itu adalah maut!

“Diikuti pula oleh iringannya.” (ayat 7). Artinya, sesudah goncangan hebat yang pertama akan datang lagi goncangan kedua yang lebih dahsyat.

Menurut suatu tafsir dari Ibnu Abbas kegoncangan dua kali itu ialah permulaan kehancuran bumi dengan datangnya Kiamat Kubra itu. Tetapi menurut suatu Hadis yang dirawikan oleh Termidzi goncangan yang pertama ialah bila maut telah datang dan goncangan kedua ialah permulaan pertanyaan di kubur.

“Hati pada hari itu akan berdebar-debar.” (ayat 8). “Pemandangannya akan tunduk ke bawah.” (ayat 9). Hati berdebar lantaran takut dan ngeri memikirkan persoalan yang akan dihadapi setelah meninggalkan hidup yang sekarang, kegelisahan mengingat dosa-dosa yang telah lampau. Penglihatan tertunduk ke bawah karena sesal yang tidak berkeputusan, umur sudah habis, buat kembali kepada zaman yang lampau tidak dapat lagi.

Itulah yang akan dihadapi kelak, baik berhadapan secara besar pada kiamat yang besar pula di penutup dunia ini, atau berhadapan masing-masing diri dengan kiamatnya yang kecil, yaitu maut. Semua tidaklah dapat dielakkan.

Tetapi orang-orang yang tidak mau percaya, yang menyangka bahwa hidup hanya hingga kini saja, dengan mati habislah segala perkara, tidaklah mereka mau percaya bahwa manusia akan dihidupkan kembali dalam kehidupan yang lain: “Mereka akan berkata: “Apakah sesungguhnya kita akan dikembalikan sesudah berada pada lobang kubur?” (ayat 10). “Biarpun kita telah menjadi tulang yang hancur?” (ayat 11).

Manalah mungkin orang yang telah mati akan dihidupkan kembali? Tulang yang telah hancur dalam kubur akan bangun kembali dari dalam kuburnya lalu bertaut menjadi manusia pula?

“Mereka berkata: “Kalau begitu, itulah kekembalian yang rugi.” (ayat 12).

Setelah mendengar keterangan sejelas itu disertai penjelasan yang meyakinkan, tersadar fikiran sejenak: “Kalau memang kita akan dihidupkan kembali, niscaya rugilah kita, karena kita tidak bersiap terlebih dahulu menghadapi hari itu dengan amal-amal yang baik.” Maka berjanjilah mereka dalam hati hendak memperbaiki hidup, hendak memilih jalan yang lebih baik. Namun janji tinggal janji saja. Sebab mereka terpengaruh oleh pergaulan. Mereka tidak mempunyai daya upaya atau kekerasan jiwa buat mencabut diri dari pergaulan kekafiran itu.

“Maka sesungguhnya hal itu hanyalah pekik sekali saja.” (ayat 13). Atau hardik sekali saja, atau sorak sekali saja. Artinya apabila saat itu datang, tidaklah dia memberi waktu dan peluang lama bagi manusia; dia akan datang hanya dengan sekali pekik, atau sekali hardik atau sekali sorak. Datangnya sangat mengejutkan, laksana sekejap mata sebagai tersebut di dalam Surat 16, An-Nahl ayat 77 dan Surat 54, Al-Qamar ayat 50. Sekejap mata!

“Maka mereka pun beradalah di bumi yang tandus.” (ayat 14).

Artinya, sedangkan manusia berlengah-lengah berlalai-lalai, kiamat itu pun datanglah dengan tiba-tiba, dengan hanya sekali pekik. Atau hanya sekejap mata. Keadaan berobah samasekali. Maka tersebutlah sebagai telah dibayangkan di atas tadi dan di beberapa ayat yang lain, bahwa serunai sangkakala itu akan berbunyi dua kali; Bunyi yang pertama untuk mematikan sisa manusia yang masih hidup. Dan setelah semuanya mati, berbunyi pulalah serunai sangkakala pembangunkan; maka bangunlah manusia semuanya, berususun bershaf untuk berkumpul di padang mahsyar. Seketika dibangunkan dari bumi yang telah lain bentuknya dari yang dahulu; bumi yang telah hancur, bumi yang telah lebur, yang telah tandus.

Hanya sampai sekian terlebih dahulu ihwal kiamat atau ihwal maut itu digambarkan di dalam Surat ini. Kemudian kita pun dibawa ke dalam kehidupan yang nyata, yaitu perjuangan Nabi Musa a.s. melawan kezaliman Fir’aun.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *