Surah an-Nazi’at 79 ~ Tafsir al-Azhar (3/3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah an-Nazi'at 79 ~ Tafsir al-Azhar

“Apakah kamu yang lebih sukar diciptakan, ataukah langit?” (pangkal ayat 27). Satu pertanyaan yang tepat sekali buat menginsafkan manusia dari kesombongannya; mana yang lebih sukar menjadikan manusia dari tanah, jadi darah jadi mani lalu dikandung dalam rahim dan 9 bulan dikandung dia pun lahir jika dibanding dengan menjadikan langit? Apakah arti manusia jika dibandingkan dengan kejadian langit itu?

Jangankan langit; naik sajalah ke atas kapal udara dan menengoklah ke bawah dari ketinggian atas; rumah-rumah hanya sebagai sambang api-api, hutan belukar dengan kayu-kayuannya yang besar-besar hanya menghijau saja, menjadi kecillah kayu-kayuan itu. Dan kalau kita berlayar di lautan malam hari, kelihatanlah bintang-bintang di langit. Kata ahli, sebahagian besar dari bintang-bintang itu lebih besar dari bumi kita ini. “Dia bangunkan dianya.” (ujung ayat 27). Allah bangun langit itu, sangat luas dan luas bangunan itu. Di dalam Surat 40, Ghafir, ayat 57 diperingatkan lagi oleh Allah bahwa penciptaan sekalian langit itu bersama bumi jauh lebih besar daripada penciptaan manusia yang hanya singgah sekilas zaman ke dunia ini, sesudah itu mati. Ibnu Jarir menafsirkan: “Dia bangunkan dianya,” yaitu langit tersebut, (ujung daru ayat 27); “Ditinggikan-Nya letaknya.” (pangkal ayat 28), sehingga jadilah dia laksana loteng dari kita yang hidup di bumi ini, yang mata kita selalu menengadah melihat keindahan biasanya dengan bintang-gemintang dan awan beraraknya; “Lalu disempurnakan-Nya dianya. (ujung ayat 28). Demikian sempurnanya dilihat manusia, telah berganti-ganti manusia datang dan manusia pergi, namun letak sebuah bintang pun tidak pernah berganjak dari tempatnya yang dahulu, sehingga pengetahuan manusia tentang bintang yang dikemukakan orang dahulu adalah pusaka yang telah beribu tahun dari nenek-moyang yang telah menyelidikinya labih dahulu. Bahkan nama-nama bintang adalah menuruti nama yang dipilih orang dahulu, tidak ada yang sanggup menukarnya dengan nama baru. Sehingga dikatakan oleh Syaikh Muhammad Abduh dalam Tafsir Juzu’ Ammanya: “Bangunan itu menggabungkan sudut-sudut yang tersebar ke seluruh penjuru hingga jadi satu kesatuan, terikat demikian rapat dalam satu bangunan. Demikianlah Allah mengatur bintang-bintang. Samasekali terletak di tempat yang teratur dan seimbang dalam hubungan di antara satu dengan yang lain; semua berjalan di jalannya sendiri, sehingga dia pun menjadi satu padu dalam penglihatan. Diberi nama yang satu, yaitu langit, yang di atas kita.”

“Dan digelapkan-Nya malamnya.” (pangkal ayat 29). Yaitu seketika bumi telah melalui putarannya yang tetap mengelilingi matahari dan matahari dalam garisnya sendiri pula. Maka setelah terbenamlah matahari itu ke ufuk Barat mulailah malam dan timbullah gelap. Cahaya matahari tak ada lagi, “Dan di terangkan-Nya siangnya.” (ujung ayat 29). Maka beredarlah di antara malam dengan siang, menurut perputaran yang tetap dan teratur bumi itu mengelilingi matahari. Di malam hari terasa pembagian waktu sejak senja, lalu hilangnya syafaq yang merah, lalu larut tengah malam, parak siang dan fajar menyingsing dan mulai akan pergi. Siang harinya terasa permulaan pagi, waktu dhuha, waktu tengah hari, ‘Ashar, petang hari dan senja. Jam demi jam, menit demi menit, bahkan detik demi detik berjalan dengan teratur.

“Dan bumi itu pun sesudah itu, Dia datarkan (pula) dianya.” (ayat 30). Artinya, sesudah itu, yaitu sesudah Allah Ta’ala mengatur langit dengan ruang angkasanya, dengan cakrawalanya, maka Allah pun mulailah mendatarkan bumi. Mendatarkan bumi artinya bukanlah semata-mata datar, melainkan datar buat dapat didiami oleh manusia. Dengan memahamkan ayat ini dapatlah kita menyimpulkan bahwa Allah menciptakan terlebih dahulu keseluruhan alam dan kemudian dari itu baru menyediakan tempat bagi manusia dalam bumi. Jelas bahwa manusia ini lama kemudian baru terjadi, baru didatarkan atau dihamparkan bumi buat tempat diamnya, atau baru disediakan syarat-syarat bagi manusia dapat hidup di bumi itu. “Dikeluarkan-Nya daripadanya airnya.” (pangkal ayat 31). Setelah melalui masa yang Allah saja yang tahu berapa, barulah bumi itu dapat mengeluarkan air yang teratur dengan keluarnya air, keluarlah pula tumbuh-tumbuhan. Sebab itu di ujung ayat di tegaskan: “Dan rumput-rumputnya.” (ujung ayat 31). Dengan adanya rumput-rumput yang tumbuh teratur karena teraturnya pula air, nyatalah bahwa hidup telah ada.

“Dan gunung-gunung pun Dia pancangkan dianya.” (ayat 32). Sebagaimana telah kita ketahui pada beberapa ayat yang lain, (sebagai Surat 78 ayat 7 yang baru lalu), faedah gunung ialah menjadi pancang, menjadi peneguh dari bumi. Dengan adanya gunung, teraturlah bumi menerima turunnya air hujan; ada yang menyelinap ke dalam bumi menjadi persediaan air beratus-beribu tahun, dan ada yang mengalir di kulit luar bumi menjadi sungai. Dan sungai adalah salah satu pangkal kebudayaan insani. Di tepi sungai yang besar-besar di dunia ini manusia mendirikan negara. Dan dia pun menuju ke laut lepas. “Bekalan bagi kamu dan bagi ternak-ternak kamu.” (ayat 33). Adanya air mengalir dan rumput-rumputan, ditambah dengan jaminan adanya gunung-gunung, tumbuhlah bahan makanan yang diperlukan sebagai bekal oleh manusia. Rumputnya untuk binatang ternak, sayurnya dan buah-buahannya untuk makanan manusia yang memelihara binatang itu. Pendeknya asal yang bernyawa, disediakanlah makanan dari bumi yang hidupnya bergantung kepada air.

Hanya di kita yang ada berbeda makanan sapi yaitu rumput dan makanan sayur untuk manusia. Bagi Tuhan yang menghamparkan bumi untuk kita hidup, semuanya itu hanyalah perkara kecil belaka.

HAL – IHWAL HARI KIAMAT

“Maka apabila telah datang malapetaka yang besar itu.” (ayat 34). Yaitu hari kiamat dan hari perhitungan (hisab): “Di hari yang akan teringat manusia kepada apa yang telah diusahakannya.” (ayat 35).

Teringatlah manusia kembali pada hari itu segala pekerjaan yang telah diusahakannya selama hidupnya di dalam dunia dahulu. Tidak suatu jua pun yang terlupa. Mengingat pekerjaan-pekerjaan yang telah pernah dikerjakan di zaman lalu itu, di waktu hidup kita di dunia ini saja kerapkali mengacaukan fikiran, karena kita merasa bahwa perbuatan kita dahulu sebenarnya adalah salah atau janggal atau menjadi tertawaan orang. Memendam perasaan bersalah bisa jadi penyakit dalam jiwa. Sedangkan masih di dunia peringatan ke zaman lampau itu lagi memberatkan hati, kononlah kelak di hari akhirat.

“Dan dipertunjukkan neraka kepada siapa yang melihat.” (ayat 36). Bertambah teringat dosa yang lalu bertambah jelas neraka di muka penglihatan mata. Walaupun dicoba hendak memalingkan mata ke tempat lain, namun dia hendak kembali melihat ke sana juga. Kengerian menyebabkan penglihatan lekat ke sana saja.

Lalu diterangkan pada ayat selanjutnya siapa yang akan masuk ke dalam neraka itu:

“Maka adapun orang-orang yang telah melanggar batas.” (ayat 37). Artinya telah dilampauinya segala batas yang ditentukan oleh Allah. Tidak diperdulikannya lagi mana yang terlarang dan mana yang boleh dilakukan. Batas-batas itu dirompaknya semua karena dorongan nafsunya: “Dan lebih mementingkan kehidupan dunia.” (ayat 38). Tidak diingatnya lagi bahwa hidup di dunia ini hanyalah buat sementara, lalu hatinya terpaut kepada dunia yang akan ditinggalkan itu, sehingga tersesatlah dia daripada jalan yang benar: “Maka sesungguhnya neraka jahimlah tempatnya kembali.” (ayat 39). Karena sejak semula jalan ke sanalah yang telah dipilihnya sendiri.

“Dan adapun orang-orang yang takut akan kebesaran Tuhannya.” (pangkal ayat 40). Dia takut akan maqam atau kebesaran atau kedudukan Tuhannya, sebab dia tahu bahwa Allah itu Maha Kuasa menjatuhkan azab kepada barangsiapa yang durhaka, dikerjakannyalah perintah Allah, dihentikannya larangan-Nya, dilatihnya dirinya untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan ibadat dan khusyu’! “Dan (dapat) mencegah dirinya dari pengaruh hawanafsu.” (ujung ayat 40). Sehingga dia dapat mengendalikan diri dengan baik; “Maka sesungguhnya syurga, itulah tempatnya kembali.” (ayat 41).

Dan itulah yang menjadi penghargaan (rajaa’) dari tiap-tiap orang yang insaf bahwa dirinya adalah Hamba Allah, dan kewajiban hamba tidak lain ialah berbakti kepada Tuhan yang telah menciptakan dan menghidupkannya. Maka syurga itu adalah tempat yang wajar untuk dia kembali.

Selalu di mana saja ada kesempatan Utusan Allah Muhammad SAW disuruh memperingatkan bahwa sa’at atau kiamat pasti datang, dan percaya akan hari kemudian itu adalah bahagian yang tiada terpisah dari iman. Karena itu timbullah berbagai pertanyaan: “Mereka akan bertanya kepada engkau darihal kiamat itu; Bilakah akan terjadinya?” (ayat 42).

Tentu saja Nabi Muhammad SAW tidak akan dapat menjawab pertanyaan seperti itu; “Mengapa (pula) engkau yang akan menyebutkan itu?” (ayat 43). Padahal itu bukanlah urusan engkau? Itu adalah semata-mata urusan yang terpegang di tangan Allah semata-mata, (lihat Surat 31, Luqman, ayat 34). Maka kalau itu yang mereka tanyakan kepada engkau, katakan terus-terang kepada mereka bahwa yang menentukan bilakah hari kiamat itu adalah urusan Allah. “Kepada Tuhan engkaulah kesudahannya.” (ayat 44).

Artinya tentang urusan menentukan bila hari akan kiamat itu terpulanglah kepada Tuhan Allah.

“Engkau lain tidak hanyalah pemberi ancaman kepada barangsiapa yang menakutinya.” (ayat 45).

Kewajiban engkau sebagai Utusan dari Allah hanyalah menyampaikan kepada mereka itu berita yang berisi khabar yang menakutkan, yang mengerikan, tentang azab siksaan yang akan diterima di hari kiamat oleh barangsiapa yang tidak mau menuruti jalan lurus dan mulia yang ditunjukkan oleh Tuhan yang dibawakan oleh Rasul-rasul yang disuruh Tuhan menyampaikannya ke dunia ini. Yang akan merasa takut tentu orang yang takut juga. Dan takut itu barulah timbul kalau kepercayaan, atau iman telah tumbuh. Kalau Iman tidak ada, betapa pun jua diberi peringatan, namun mereka tidaklah akan perduli.

“Seolah-olah mereka, pada hari mereka melihatnya.” (pangkal ayat 46). Yaitu pada hari berkumpul di padang mahsyar itu kelak; “Mereka tidaklah berdiam di dunia ini melainkan satu malam saja, atau satu siangnya.” (ujung ayat 46).

Artinya setelah melihat hebat dan ngerinya hari itu, melihat hebat dan ngerinya nyala api neraka yang terbentang di hadapan mata, dan betapa pula penelitian dosa dan pahala yang tengah dilakukan, terasalah bahwa hidup yang pernah dilalui dahulu itu, semasa di dunia hanya sebentar saja, hanya semalam atau hanya sesiang. Habislah hari yang satu malam atau satu siang itu, maka maut pun datang. Tertidurlah diri di kubur kelam; kemudian datang panggilan mahsyar. Berjuta-juta manusia yang tengah diperiksa, dan entah berapa juta pula malaikat yang dikerahkan Allah melakukan pemeriksaan, sehingga ada Hadis Rasulullah bahwa manusia di waktu itu laksana terbenam dalam keringat karena berdesaknya insan menunggu keputusan. Lama sekali rasanya waktu yang ditunggu apabila hati kita dalam cemas. Dan cepat sekali rasanya waktu yang telah dilalui dibandingkan dengan apa yang dihadapi.

Lambat dan cepat ketika hidup di atas dunia ini adalah nisbi sifatnya. Cepat habis rasanya sesuatu yang kita sayangi. Lambat-laun rasanya sesuatu yang kita gelisahkan.

Ya Allah, ya Karim! Bagaimana pula yang akan kita hadapi kelak kemudian hari, pada waktu yang pasti akan datang dan pasti akan kita hadapi itu.

Ya Tuhanku! Hanya kepada Engkau jua kami berlindung daripada murka-Mu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *