Surah al-Lahab 111 ~ Tafsir al-Qurthubi (2/2)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Lahab 111 ~ Tafsir al-Qurthubi

Firman Allah:

مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَ مَا كَسَبَ.

Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.

(Sūrat al-Lahab [111], Ayat: 2).

 

Untuk ayat ini hanya dibahas satu masalah saja, yaitu:

Firman Allah s.w.t.: (مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَ مَا كَسَبَ.) “Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.” Yakni, segala harta yang ia miliki dan semua kehormatan yang ia cari, tidak akan dapat menyelamatkannya dari adzab Allah.

Kata (مَا) di awal ayat ini boleh jadi kata negatif (yakni: tidak berguna baginya), atau mungkin juga kata tanya (apakah akan berguna baginya?). Sedangkan kata (مَا) yang kedua (وَ مَا كَسَبَ) juga memiliki dua kemungkinan, bisa jadi bermakna al-ladzī (yang), atau mungkin juga sebagai mashdar fi‘il, yakni: tidak berguna baginya harta dan hasil usahanya.

Mujahid menafsirkan, makna dari kata (كَسَبَ) pada ayat ini adalah keturunan, karena keturunan juga hasil yang dapat diusahakan.

Kata ini dibaca oleh al-A‘masy menjadi: wa maktasaba (dengan menambahkan huruf alif dan tā’/bentuk khumāsī) (7981). Al-A‘masy meriwayatkan qirā’ah ini dari Ibnu Mas‘ud.

Abuth-Thufail meriwayatkan: Pada suatu hari anak-anak Abu Lahab beradu argumen di rumah Ibnu ‘Abbas, dan ketidak-cocokan dalam berpendapat itu menyebabkan mereka berkelahi di sana. Lalu Ibnu ‘Abbas pun berdiri hendak melerai mereka, namun salah satu mereka malah mendorong Ibnu ‘Abbas hingga terjatuh di atas tempat tidurnya, Ibnu ‘Abbas pun akhirnya kesal dan berkata: “Keluarlah kalian al-kasab-ul-khabīts (hasil usaha yang buruk) dari rumahku!” yakni, anak-anak Abu Lahab.

Sebuah riwayat dari ‘A’isyah menyebutkan, bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda:

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَ وَلَدِهِ مِنْ كَسْبِهِ.

Sesungguhnya makanan yang paling baik yang dimakan oleh seseorang adalah makanan yang didapat dari hasil usahanya sendiri. Dan anak-anaknya juga termasuk hasil usahanya.” (7992) H.R. Abu Daud.

Ibnu ‘Abbas meriwayatkan: Ketika Nabi s.a.w. memberi peringatan keluarganya terhadap adzab Allah, sesuai yang diperintahkan kepadanya pertama kali, Abu Lahab berkata: “Apabila apa yang dikatakan oleh kemenakanku itu benar adanya maka aku akan menebus diriku dengan harta dan anak-anakku agar aku terbebaskan dari adzab tersebut.” Lalu turunlah firman Allah s.w.t.: (مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَ مَا كَسَبَ.) “Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.” Yakni, anak-anaknya.

 

Firman Allah:

سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ.

Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.

(Sūrat al-Lahab [111], Ayat: 3).

Untuk ayat ini juga hanya dibahas satu masalah saja, yaitu:

Firman Allah s.w.t.: (سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ.) “Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.” Yakni, api yang berkobar dan menyala-nyala. Makna ini telah kami sampaikan sebelumnya pada tafsir sūrat-ul-Mursalāt.

Jumhur ulama membaca ayat (سَيَصْلَى) dengan menggunakan harakat fatḥah pada huruf yā’ (sayashlā). Sedangkan Abu Raja’ dan al-A‘masy membacanya dengan menggunakan ḥarakat dhammah (sayushlā) (8003). Qirā’ah ini diriwayatkan oleh Mahbub, dari Isma‘il, dari Ibnu Katsir, dan juga diriwayatkan oleh Husain, dari Abu Bakar, dari’Ashim, dan diriwayatkan pula dari al-Hasan. Qirā’ah yang berbeda juga disebutkan oleh Asyhab-ul-‘Uqaili, Abu Sammal-il-Adawi, dan Muhammad as-Samaiqa’, yaitu dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf yā’, ḥarakat fatḥah pada huruf shād, dan tasydīd pada huruf lām (sayushallā).

Qirā’ah ketiga ini asal katanya adalah tashliyah, seperti pada firman Allah s.w.t.: (وَ تَصْلِيَةُ جَحِيْمٍ) “Dan dibakar di dalam Jahannam.” (8014) Sedangkan asal kata untuk qirā’ah yang kedua adalah al-ishlā, seperti pada firman Allah s.w.t. (فَسَوْفَ نُصْلِيْهِ نَارًا.) “Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka.” (8025). Dan asal kata qirā’ah yang pertama adalah ash-shal, seperti pada firman Allah s.w.t.: (إِلَّا مَنْ هُوَ صَالِ الْجَحِيْمِ.) “Kecuali orang-orang yang akan masuk neraka yang menyala.” (8036) Dan qirā’ah inilah yang diunggulkan, menurut ijma‘ kaum muslimin.

 

Firman Allah:

وَ امْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ.

Dan [begitu pula] istrinya, pembawa kayu bakar.

(Sūrat al-Lahab [111], Ayat: 4).

 

Untuk ayat ini juga hanya dibahas satu masalah saja, yaitu:

Firman Allah s.w.t.: (وَ امْرَأَتُهُ) “Dan istrinya.” Yakni, yang bernama al-Aura’ Ummu Jamil.

Ibn-ul-‘Arabi mengatakan (8047): namanya adalah al-Aura’ Ummu Qabih (yakni ibunya orang yang buruk, kebalikan dari Ummu Jamil yang maknanya ibunya orang yang rupawan). Dan al-Aura’ memang benar-benar aura’ (yakni berkelakuan buruk atau sering mengatakan kata-kata yang buruk).

(حَمَّالَةَ الْحَطَبِ) “Pembawa kayu bakar.” Beberapa ulama qirā’ah membaca kata (حَمَّالَةَ) dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf tā’ marbūthah (hammālat-ul-ḥathab) (8058). Sedangkan Abu Qilabah membacanya dengan bentuk fā‘il biasa, yaitu: hāmilat-al-ḥathab. (8069).

Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, dan as-Suddi, meriwayatkan: istri Abu Lahab ini senang memfitnah dan mengadu domba orang lain. Oleh karena itu disebut dengan sebutan: (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ), karena kata hathab menurut masyarakat Arab bermakna menghasud, yakni: selalu membawa keburukan bagi orang lain.

Aktsam bin Shaifi pernah berkata kepada anaknya: Jauhilah oleh kalian perbuatan adu domba, karena adu domba laksana api yang dapat membakar segala sesuatu di sekitarnya. Dan sesungguhnya seseorang yang senang melakukan adu domba itu jauh lebih buruk dari seorang penyihir, karena apa yang dilakukan pengadu domba dalam satu jam itu lebih buruk akibatnya jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh penyihir dalam satu bulan.

Oleh karena itulah dikatakan dalam kata-kata mutiara: “api kedengkian itu tidak akan pernah padam.” (berbeda dengan nyala api biasa yang dapat dipadamkan dengan air).

Sebuah hadits shahih menyebutkan, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak akan pernah masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (80710).

Nabi s.a.w. juga bersabda: “Orang yang bermuka dua tidak akan mendapat tempat di sisi Allah.

Dan beliau juga bersabda:

مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذَا الْوَجْهَيْنِ، الَّذِيْ يَأْتِيْ هؤُلَاءِ بِوَجْهٍ، وَ هؤُلَاءِ بِوَجْهٍ.

Manusia yang paling buruk adalah manusia yang bermuka dua, yaitu orang yang berwajah (manis) di satu tempat dan di tempat lainnya dengan wajah yang berbeda.” (80811).

Ka‘ab-ul-Ahbar mengatakan: Bani Israil pernah mengalami musim paceklik yang sangat lama. Walaupun Nabi Musa dan para pengikutnya telah tiga kali berdoa agar mereka segera diguyur dengan hujan namun tetap saja hujan ia tidak kunjung datang. Lalu Nabi Musa mengadu kepada Tuhannya: “Ya Allah, mereka adalah hamba-hambaMu.” Allah menjawab: “Aku tidak akan menjawab doamu dan doa orang-orang yang bersamamu, karena di antara mereka ada seorang penyebar fitnah, yang suka mengadu domba orang lain.” Lalu Nabi Musa berkata lagi: “Ya Allah, beritahukanlah kepada kami siapakah orang itu, agar kami dapat mengeluarkannya dari jamaah kami.” Allah s.w.t. menjawab: “Wahai Musa, bagaimana mungkin Aku melarangmu untuk berbuat adu domba, lalu Aku diperbolehkan untuk mengadu domba?” lalu Nabi Musa memerintahkan seluruh kaumnya untuk bertaubat dan meminta ampunan kepada Allah, serta berjanji tidak akan melakukan perbuatan adu domba. Setelah mereka melakukannya, hujan pun turun dengan derasnya.

Mengadu domba adalah salah satu dosa yang paling besar, tidak ada satu ulama pun yang berbeda pendapat mengenai hal ini. Bahkan al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan: tiga hal yang dapat membatalkan pahala perbuatan baik, membatalkan puasa, dan membatalkan wudhu’, yaitu ghibah (gosip), namimah (adu domba), dan berdusta.

‘Atha’ bin Sa’ib mengatakan: Aku pernah menyampaikan sebuah riwayat kepada asy-Sya‘bi tentang sabda Nabi s.a.w. yang menyebutkan: “Tidak akan masuk surga para pembunuh, para pengadu domba, dan para pelaku riba’.” Lalu aku juga bertanya kepadanya: “Wahai Abu ‘Amru, mengapa pengadu domba disama dengan pembunuh dan pelaku riba’?” ia menjawab: “Bukankah membunuh, merampas harta orang lain, dan mengobarkan segala sesuatu yang buruk, kecuali untuk mengadu domba?”

Qatadah dan ulama lainnya meriwayatkan, bahwa istri Abu Lahab selalu mencela kefakiran Nabi s.a.w. dan membanding-bandingkan dengan dirinya yang kaya raya, namun dengan kekayaannya itu Ummu Jamil selalu membawa kayu bakar di atas punggungnya sendiri, karena kekikirannya. Kemudian, tanpa harus dibalas oleh Nabi s.a.w., Ummu Jamil dicela oleh orang lain karena kekikirannya itu.

Ibnu Zaid dan adh-Dhahhak meriwayatkan, bahwa pada setiap malam hari, Ummu Jamil selalu membawa kayu-kayu kecil yang tajam dan duri untuk dilemparkan di jalan yang selalu dilalui oleh Nabi s.a.w. dan para sahabatnya, agar mereka terkena duri-duri tersebut. Makna ini juga disampaikan oleh Ibnu ‘Abbas.

Ar-Rabi‘ menambahkan: akan tetapi Nabi s.a.w. sama sekali tidak pernah terluka akibat dari duri tersebut, karena ketika Nabi s.a.w. menginjaknya yang dirasakan oleh beliau adalah seperti menginjak sutra.

Murrah al-Hamdani meriwayatkan: Pada setiap hari Ummu Jamil selalu membawa kayu-kayu yang berduri untuk dilemparkan di jalan yang selalu dilalui oleh kaum muslimin. Namun pada sautu hari, setelah mencari dan mengumpulkan seikat kayu yang berduri itu, ia merasa lelah dan memutuskan untuk duduk beristirhat di sebuah batu besar, akan tetapi sebelum ia terduduk salah satu malaikat utusan Allah menggeser batu itu dari belakangnya, ia pun terjatuh dan tidak ada satu orang pun yang menolongnya.

Sa‘id bin Jubair menafsirkan, makna dari kalimat: (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ) adalah wanita yang selalu membawa-bawa kesalahan dan dosanya. Dalil dari penafsiran adalah firman Allah s.w.t.: (وَ هُمْ يَحْمِلُوْنَ أَوْزَارَهُمْ عَلَى ظُهُوْرِهِمْ.) “Sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggung mereka.” (80912).

Lalu ada juga yang menafsirkan bahwa makna ayat ini adalah: wanita tersebut akan membawa kayu bakar di neraka nanti. Namun penafsiran ini tidak dapat diterima karena tidak ada dalil yang mendukungnya.

Adapun mengenai tata bahasa ayat ini, jika kata (حَمَّالَةَ) dibaca dengan menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf tā’ marbūthah, maka kata tersebut berposisi sebagai khabar dan kata (وَ امْرَأَتُهُ) sebagai mubtada’. Sedangkan ayat setelahnya, yaitu: (فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ) kalimat ini berposisi sebagai keterangan dari dhamīr yang berada pada kata (حَمَّالَةَ). Atau, bisa juga sebagai khabar kedua dari kata (وَ امْرَأَتُهُ). Namun bisa juga kalimat (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ) berposisi sebagai sifat dari kata (وَ امْرَأَتُهُ), sedangkan khabar-nya adalah kalimat (فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ). Dan dengan penjabaran seperti ini maka akan lebih baik jika pada ayat sebelumnya (yakni: (ذَاتَ لَهَبٍ)) di-waqaf-kan. Atau, bisa juga kata (وَ امْرَأَتُهُ) terhubung dengan dhamīr pada kata (سَيَصْلَى), namun dengan penjabaran seperti ini maka akan lebih baik jika pada ayat sebelumnya tidak di-waqaf-kan, tapi di-waqaf-kan pada kata (وَ امْرَأَتُهُ). Dan dengan begitu maka kalimat (حَمَّالَةَ الْحَطَبِ) adalah khabar dari mubtada’ yang tidak disebutkan.

Sedangkan jika huruf tā’ marbūthah pada kata (حَمَّالَةَ) dibaca dengan menggunakan ḥarakat fatḥah, seperti yang dibaca oleh ‘Ashim, maka manshūb-nya itu dikarenakan kata tersebut adalah kata kecaman, seakan wanita tersebut terkenal dengan hal itu. Oleh karenanya, sifat itu tidak disebutkan sebagai pengkhususan baginya, namun sebagai kecaman, sama seperti yang terdapat pada firman Allah s.w.t.: (مَلْعُوْنِيْنَ، أَيْنَمَا ثُقِفُوْا) “Dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai.” (81013).

 

Firman Allah:

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ

Yang di lehernya ada tali dari sabut.

(Sūrat al-Lahab [111], Ayat: 5).

 

Untuk ayat ini juga hanya dibahas satu masalah saja, yaitu:

Firman Allah s.w.t.: (فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ) “Yang di lehernya ada tali dari sabut.” Makna dari kata al-jīd (جِيْدِ) adalah leher, sedangkan makna dari kata al-masad (مَّسَدٍ) adalah tali yang terbuat dari sabut, atau bisa juga tali yang terbuat dari kulit atau bulu unta. Bentuk jama‘ dari kata al-jīd adalah ajyād, sedangkan bentuk jama‘ dari kata al-masad adalah amsād.

Abu ‘Ubaidah mengatakan bahwa tali yang dimaksud adalah tali yang terbuat dari bulu domba.

Al-Hasan berpendapat (81114) bahwa tali yang dimaksud adalah tali yang berasal dari pohon yang tumbuh di negeri Yaman. Tali tersebut adalah hasil pintalan, dan memang dikenal dengan sebutan tali al-masad.

Adh-Dhahhak dan ulama lainnya menafsirkan, bahwa tali yang terbuat dari sabut itu dikenakan oleh Ummu Jamil di lehernya, akibat dari kekikirannya (tidak rela uangnya untuk membeli perhiasan yang dapat mempercantik dirinya), padahal ia sering mengejek kefakiran Nabi s.a.w. Dan akibat dari permusuhannya terhadap Nabi s.a.w. ia mati dengan cara tercekik oleh talinya sendiri, itu di dunia, sedangkan di akhirat talinya akan terbuat dari api, yang akan selalu menggantung di lehernya dan terus menarik-nariknya ke dalam neraka.

Abu Shalih meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa tali yang akan menarik Ummu Jamil adalah rantai besi yang panjangnya tujuh puluh hasta. Riwayat ini juga disampaikan oleh Mujahid dan ‘Urwah bin Jubair. ‘Urwah menambahkan: rantai tersebut akan dimasukkan ke dalam mulutnya dan dikeluarkan dari lubang bawahnya, dan sisanya akan melingkari lehernya serta membelitnya.

Qatadah menafsirkan, bahwa tali yang dimaksud adalah rantai yang terbuat dari wada’, dan wada’ ini adalah merjan putih dengan berbagai ukuran yang diambil dari dasar laut. Makna yang sama juga disampaikan oleh al-Hasan, ia mengatakan: yang tergantung di lehernya adalah kulit kerang.

Sa‘id bin Musayib meriwayatkan: ketika itu Ummu Jamil memiliki kalung yang mewah yang terbuat dari permata, dan ia berkata: “Demi Lata dan ‘Uzza, aku akan menjual kalung ini untuk melancarkan permusuhanku dengan Muhammad.” Kalung itulah yang akan menjadi adzab baginya di hari kiamat nanti.

Lalu ada juga yang menafsirkan, bahwa ayat ini adalah isyarat penelantarannya di akhirat nanti, yakni: ia akan selalu terikat dengan kesengsaraan seperti leher yang terikat oleh tali.

Penafsiran kebanyakan ulama yang berpendapat bahwa leher Ummu Jamil akan diikat oleh tali yang terbuat dari sabut di neraka nanti, ditentang oleh kalangan yang ingin menikam al-Qur’an, mereka mengatakan: jika tali yang mengikatnya itu terbuat dari sabut, maka bagaimana mungkin tali itu akan terus mengikatnya, padahal ia sedang dibakar di dalam neraka, tentu tali itu akan lebih cepat terbakar dan terlepas dari lehernya. Kami menjawab: Allah s.w.t. Maha Berkuasa, mampu melakukan apapun yang Ia kehendaki, boleh jadi tali itu akan terus diperbarui setiap kali terbakar oleh api neraka, atau diabadikan hingga tidak dapat terbakar sedikitpun, atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Dan juga, penetapan bahwa Abu Lahab dan istrinya akan kekal di neraka itu tergantung oleh keberlangsungan sikap kufur mereka hingga mereka mati, namun ketika mereka mati dalam keadaan kufur maka terbuktilah keterangan al-Qur’an tentang mereka. Yakni, mereka pasti akan masuk neraka yang menyala-nyala, karena mereka memang telah ditetapkan akan tetap kufur hingga mereka mati. Pada yang demikian itu terdapat mu‘jizat yang nyata pada diri Nabi s.a.w. Dan mu‘jizat itu juga terbukti melalui kematian kedua orang tersebut, yakni Ummu Jamil mati karena tercekik oleh talinya sendiri, dan Abu Lahab mati karena penyakit ‘adasah (semacam infeksi mematikan yang menjalar ke sekujur tubuhnya) tujuh hari setelah peperangan Badar, akibat dari tusukan Umm-ul-Fadhl (81215) di kepalanya.

Kisah kejadian wafatnya Abu Lahab ini dimulai ketika bala tentara kaum Quraisy yang tersisa dari perang Badar pulang ke kota Makkah, mengeluhkan duka mereka pada peperangan tersebut. Abu Lahab pun bertanya: “Ceritakan kepadaku apa yang terjadi di sana!” mereka menjawab: “Baiklah. Aku bersumpah pada saat kami bertemu dengan pasukan musuh, kami merasa memberikan tubuh kami begitu saja untuk dilukai, mereka dapat menusukkan pedang mereka di mana saja mereka mau, namun kami sendiri sama sekali tidak dapat menyentuh mereka.” Lalu Abu Lahab memotongnya: “Bukankah jumlah mereka lebih sedikit dan lebih lemah?” mereka menjawab: “Sama sekali tidak. Dan kami juga bertemu dengan beberapa pria putih yang menunggangi kuda belang.”

Abu Rafi‘ (hamba sahaya milik al-‘Abbas yang ditugaskan untuk membuat gelas di sebuah gubuk dekat sumur zamzam) yang mendengar pembicaraan itu berkata: “Aku bersumpah itu adalah para malaikat.” (pada saat itu Abu Rafi‘ sedang duduk bersama Umm-ul-Fadhl, mereka gembira mendengar kabar kemenangan kaum muslimin pada perang Badar). Mendengar perkataan Abu Rafi‘ itu Abu Lahab naik pitam, ia mengayunkan tangannya dan memukul wajah Abu Rafi‘ dengan sangat keras. Lalu Abu Rafi‘ mencoba untuk melarikan diri dengan cara melompat, namun karena tubuhnya yang kecil Abu Lahab menangkapnya dan menjatuhkannya ke tanah. Tidak berhenti sampai di situ, Abu Lahab menahan dada Abu Rafi‘ di tanah dan terus memukulinya.

Umm-ul-Fadhl yang hilang kesabarannya melihat hal itu langsung mengambil salah satu tiang yang digunakan untuk menopang gubuk dan memukulkan tiang itu ke arah kepala Abu Lahab seraya berkata: “Engkau hanya berani kepadanya pada saat tuannya tidak ada di sini!” Dan Abu Lahab pun terjerembab ke tanah karena pukulan itu, namun ia segera bangkit dan memaksakan kakinya untuk melarikan diri dari tempat itu. Ternyata, pukulan Umm-ul-Fadhl membuat luka yang cukup parah di kepala Abu Lahab, dan ditambah dengan penyakit ‘adasah yang diturunkan Allah kepada Abu Lahab pada saat itu akhirnya Abu Lahab pun terbujur kaku tidak bernyawa lagi.

Namun hingga hari ketiga setelah ia menutup usia tidak ada seorang pun yang menguburnya, tubuhnya pun membusuk dan menyebarkan aroma yang tidak sedap. Anak Abu Lahab yang tidak tega melihat mayat ayahnya terbujur kaku sendirian, akhirnya memutuskan mengambil air untuk memandikan mayat ayahnya. Akan tetapi, karena takut tertular dengan penyakit yang diderita oleh ayahnya sebelum ia mati, anak itu memandikan ayahnya dengan cara melemparkan air dari kejauhan. Bukan hanya anak itu saja, penduduk di seantero kota Makkah tidak ada yang berani mendekat, mereka takut dengan penyakit itu seperti takutnya mereka terhadap wabah penyakit menular yang biasanya menyerang pada seluruh isi suatu daerah tertentu. Kemudian, karena mereka masih takut terjangkit dengan penyakit yang membunuh Abu Lahab, mereka membawa jasad Abu Lahab ke atas gunung yang paling tinggi di sana, lalu mereka menyandarkannya pada sebuah batu besar, dan menumpuk jasad tersebut dengan batu-batu kecil di atasnya.

Catatan:

  1. 798). Qirā’ah al-A‘masy ini tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir, dan yang menyebutkan bacaan ini adalah Ibnu ‘Athiyyah dalam al-Muḥarrar-ul-Wajīz (16/379).
  2. 799). H.R. Abu Daud pada pembahasan tentang jual beli. Juga oleh Ibnu Majah pada pembahasan tentang perniagaan. Dan juga oleh Darimi pada pembahasan tentang jual beli, bagian nomor 7. Diriwayatkan pula oleh Ahmad dalam al-Musnad (6/31).
  3. 800). Qirā’ah yang menggunakan ḥarakat dhammah pada huruf yā’ tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir. Qirā’ah ini disebutkan oleh az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyāf (4/241), juga oleh Abu Hayyan dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth (8/525), dan juga oleh Ibnu ‘Athiyyah dalam al-Muḥarrar-ul-Wajīz (16/379).
  4. 801). Al-Wāqi‘ah [56]: 94.
  5. 802). An-Nisā’ [4]: 30.
  6. 803). Ash-Shāffāt [37]: 163.
  7. 804). Lih. I‘rāb-ul-Qur’ān (4/1994).
  8. 805). Qirā’ah yang menggunakan ḥarakat dhammah pada kata ḥammālah ini termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir, sebagaimana tercantum dalam Taqrīb-un-Nasyr, h. 190.
  9. 806). Qirā’ah Abu Qilabah ini tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir. Qirā’ah ini disebutkan oleh Ibnu ‘Athiyyah dalam al-Muḥarrar-ul-Wajīz (16/380).
  10. 807). H.R. Muslim pada pembahasan tentang keimanan, bab: Penjelasan tentang Besarnya Dosa Perbuatan Adu Domba (1/101). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad (5/389).
  11. 808). H.R al-Bukhari pada pembahasan tentang hukum, bab: Hukum Memuji-muji Penguasa namun Jika Berada di Tempat Lain Mengatakan Kebalikannya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim pada pembahasan tentang kebajikan dan silaturrahim, bab: kecaman untuk orang yang bermuka dua dan larangan melakukannya. Juga diriwayatkan oleh Malik pada pembahasan tentang ucapan, bab: Hadits tentang Pemborosan Harta dan Pemilik Dua Wajah. Diriwayatkan pula oleh Abu Daud pada pembahasan tentang adab, bagian nomor 34. Juga oleh at-Tirmidzi pada pembahasan tentang kebajikan, bagian nomor 78, dan diriwayatkan pula oleh Ahmad dalam al-Musnad (2/245).
  12. 809). Al-An‘ām [6]: 31.
  13. 810). Al-Aḥzāb [33]: 61.
  14. 811). Lih. Tafsīr-ul-Ḥasan-il-Bashrī (2/444).
  15. 812). Nama asli Umm-ul-Fadhl adalah Lubabah binti al-Harits-il-Hilaliyyah. Ia adalah istri al-‘Abbas bin ‘Abd-ul-Muthallib (yakni, istri dari paman Nabi s.a.w.). Ia wafat lebih dulu daripada suaminya, yaitu pada masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Lih. Al-Ishābah (4/483-484).

Unduh Rujukan:

  • [download id="17382"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *