Surah al-Lahab 111 ~ Tafsir al-Qurthubi (1/2)

Dari Buku:
Tafsir al-Qurthubi
(Jilid 20 – Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh Imam al-Qurthubi
(Judul Asli: al-Jāmi‘-ul-Aḥkām-ul-Qur’ān)

Penerjemah: Dudi Rosyadi dan Faturrahman
Penerbit PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah al-Lahab 111 ~ Tafsir al-Qurthubi

SURAH AL-LAHAB

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ.

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

(Sūrat al-Lahab [111], Ayat: 1).

 

Mengenai ayat ini dibahas tiga masalah:

Pertama: Firman Allah s.w.t.: (تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ) “Binasalah kedua tangan Abu Lahab.” Dalam kitab shaḥīḥ-ul-Bukhārī dan shaḥīḥu Muslim disebutkan (7851), sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, lafazh Imam Muslim, Ibnu ‘Abbas berkata: setelah diturunkannya firman Allah s.w.t.: (وَ أَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْأَقْرَبِيْنَ) “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (7862) (wa rahthaka minhum-ul-mukhlashīn: dan kaummu yang ikhlas (7873)). Nabi s.a.w. segera keluar dari rumahnya dan mendaki bukit Shafa, lalu beliau berteriak: “Wahai shabahah (panggilan kepada semua orang untuk memberitahukan suatu hal).” Masyarakat di sekelilingnya pun terkejut dan bertanya-tanya: “Siapakah itu?” lalu dijawab oleh sebagian mereka: “Rupanya itu Muhammad.” Mereka pun berkumpul ingin mencaritahu apa yang membuat Nabi s.a.w. berteriak di pagi hari. Kemudian setelah beberapa orang berkumpul, Nabi s.a.w. berkata lagi: “Wahai bani fulan, wahai bani fulan, wahai bani fulan, wahai bani ‘Abdi Manaf, wahai bani ‘Abd-ul-Muthallib!” dan semakin banyaklah orang-orang yang berkumpul di sekitarnya, lalu beliau berkata: “Apa pendapat kalian apabila aku katakan ada seekor unta yang keluar dari bawah bukit ini, apakah kalian akan percaya kepadaku?” mereka menjawab: “(Tentu kami akan percaya karena) kami tidak pernah melihat engkau berbohong sebelumnya.” Lalu Nabi s.a.w. melanjutkan: “Maka dengarkanlah, karena aku baru saja diangkat oleh Allah sebagai pemberi peringatan kepada kalian sebelum datangnya azab yang sangat keras.” Mendengar hal itu Abu Lahab berkata: “Sial kamu wahai Muhammad, apakah kamu mengumpulkan kami semua di sini hanya untuk memberitahukan hal itu?” lalu ia berdiri dan pergi. Maka diturunkanlah surah ini kepada Nabi s.a.w.: Tabbat yadā abī lahabin wa qad tabb (dengan tambahan kata qad sebelum kata tabb). “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia telah binasa” (begitulah qirā’ah yang dibaca oleh al-A‘masy (7884)) hingga akhir dari surah ini.

Al-Hamidi dan ulama hadits lainnya menyambungkan riwayat ini dengan riwayat lainnya, yaitu: setelah istri dari Abu Lahab mendengar apa yang terjadi dengan suaminya dan apa yang disebutkan di dalam al-Qur’an, ia mencari-cari Nabi s.a.w., yang pada saat itu sedang duduk di mesjid (masjid-ul-ḥarām) di dekat Ka‘bah, ia duduk bersama dengan Abu Bakar ketika itu. Namun ketika istri Abu Lahab yang membawa sebongkah batu yang sangat keras itu tiba di mesjid, Allah mengambil penglihatannya atas Nabi s.a.w., yang ia lihat saat itu hanya Abu Bakar saja, lalu ia berkata kepada Abu Bakar: “Wahai Abu Bakar, aku mendengar sahabatmu telah menyindirku, aku bersumpah apabila aku bertemu dengannya maka aku akan pukul mulutnya dengan batu ini. Dengarkanlah syairku ini wahai Abu Bakar.

Kepada mudzammam (orang yang tercela) kami menentang, dan segala perintahnya kami menolak, dan pada agama yang dibawanya kami membenci. (7895).

Abu Bakar kebingungan sendirian setelah ditinggal oleh istri Abu Lahab, ia berkata Nabi s.a.w.: “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak melihat bagaimana ia tidak bisa melihatmu?” Nabi s.a.w. menjawab: “Ia memang tidak dapat melihatku, Allah telah mengambil penglihatannya terhadapku.

Kata mudzammam yang disebutkan dalam syair istri Abu Lahab tersebut sering digunakan oleh kaum Quraisy untuk menghina Nabi s.a.w., mereka tidak memanggil beliau dengan menggunakan namanya, namun dengan panggilan mudzammam. Dan mengenai hal ini beliau pernah berkata: “Lihatlah bagaimana Allah telah menghilangkan cacian kaum Quraisy dariku, mereka telah mencela dan mencercaku dengan panggilan mudzammam, padahali namaku adalah Muhammad.”

Diriwayatkan (7906), bahwa sebab diturunkannya surah ini adalah seperti Abu Lahab datang kepada Nabi s.a.w. dan berkata: “(Penghormatan macam) apakah yang akan aku terima apabila aku beriman kepadamu wahai Muhammad?” Nabi s.a.w. menjawab: “Seperti yang diterima oleh kaum muslimin lainnya.” Lalu ia berkata: “Apakah aku tidak akan memiliki kelebihan apapun dibandingkan mereka?” Nabi s.a.w. menjawab: “Apa yang sebenarnya engkau inginkan?” ia berkata: “Celakalah yang mengikuti agama ini, bagaimana mungkin aku disama-ratakan dengan orang-orang itu?” lalu diturunkanlah firman Allah s.w.t.: (تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ.) “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

Sedangkan riwayat ketiga dari ‘Abd-ur-Rahman bin Kaisan menyebutkan, bahwa sebab diturunkannya ayat ini adalah: bahwa setiap kali ada utusan dari daerah lain yang ingin bertemu dengan Nabi s.a.w., Abu Lahab selalu menemui mereka terlebih dahulu, lalu ia bertanya-tanya tentang apa yang mereka ketahui dari diri Nabi s.a.w., mereka menjawab: “Tentu engkau lebih mengenalnya dibandingkan kami.” Lalu Abu Lahab akan berkata: “Dia adalah seorang pendusta dan penyihir.” Maka para utusan tersebut pun kembali ke daerahnya dan mengurungkan niat mereka untuk menemui Nabi s.a.w.

Pada suatu ketika datanglah satu utusan, dan seperti biasanya Abu Lahab pun mencegat mereka terlebih dahulu dan mengatakan apa yang selalu ia katakan. Namun berbeda dengan utusan lainnya, utusan kali ini berkata kepada Abu Lahab: “Kami tidak akan kembali ke daerah asal kami kecuali kami telah bertemu dengannya dan mendengar apa yang akan dikatakan olehnya.” Maka Abu Lahab pun berkata: “Sesungguhnya kami ini masih menanganinya hingga saat ini, oleh karena itu celakalah dan kesengsaraanlah baginya.” Lalu berita ini pun sampai ke telinga Nabi s.a.w., dan beliau merasa sangat sedih mendengarnya. Kemudian diturunkanlah firman Allah s.w.t.: (تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ.) “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa,” hingga akhir surah. (7917).

Diriwayatkan pula, bahwa ketika itu Abu Lahab berniat ingin melempar Nabi s.a.w. dengan sebuah batu, lalu Allah mencegah batu itu sampai mengena di tubuh Nabi s.a.w., dan Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya: (تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ.) “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa,” yakni kedua tangan yang melemparkan batu ke arah Nabi s.a.w.

Mengenai makna dari kata (تَبَّ), Qatadah mengartikannya: merugilah. Ibnu ‘Abbas memaknainya: kecewalah. ‘Atha’ menafsirkannya: tersesatlah. Ibnu Jubair berpendapat binasalah. Yaman bin Riab mengartikannya: mulutnya akan bersiul setiap kali ia mendengar suatu berita.

Adapun penyebutan tangan secara khusus untuk makna celaka, karena biasanya suatu perbuatan itu akan dilakukan dengan kedua tangan, maka tangan itulah yang pertama kali akan terkena hukumannya. Dan maknanya adalah kedua tangan itu akan binasa bersama dengan pemiliknya.

Beberapa ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan tangan pada ayat ini adalah memang benar-benar kedua tangan Abu Lahab.

Namun, masyarakat ‘Arab terkadang menyebutkan kata tangan untuk mewakili seluruh tubuh, seperti juga yang disebutkan pada firman Allah s.w.t.: (ذلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ.) “Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu.” (7928) Yakni, yang kamu lakukan terdahulu.

Ini adalah bentuk bahasa yang fasih dalam tata bahasa ‘Arab, yaitu menyebutkan satu bagian dari sesuatu untuk mengungkapkan keseluruhannya, seperti menyebutkan jari-jemari namun yang dimaksudkan adalah tangan secara keseluruhan.

Al-Farra’ mengatakan: kata (تَبَّ) yang pertama disebutkan pada ayat ini adalah doa, sedangkan yang kedua adalah pemberitahuan. Seperti ketika dikatakan: Allah s.w.t. akan membinasakannya dan ia memang telah binasa.

‘Abdullah dan Ubai membaca kata (تَبَّ) di akhir ayat dengan menambahkan kata qad (yakni qad tabba). (7939).

Adapun mengenai Abu Lahab, yang menjadi topik utama surah ini, memiliki nama asli ‘Abd-ul-‘Uzza, ia adalah anak dari ‘Abd-ul-Muthallib, yang otomatis menjadikan dia sebagai paman Nabi s.a.w. Sedangkan istrinya bernama al-Aura’ Ummu Jamil, saudari kandung dari Abu Sufyan bin Harb. Kedua suami istri ini sama-sama sangat membenci dan memusuhi Nabi s.a.w.

Thariq bin ‘Abdullah al-Muharibi pernah mengatakan: Ketika pada suatu hari aku berada di pasar Dzul-Majaz, aku melihat seorang laki-laki mengatakan: “Wahai masyarakat sekalian, ucapkanlah kalimat lā ilāha illallāh, maka kamu akan menjadi manusia yang beruntung.” Namun tiba-tiba ada seseorang di belakangnya melemparkan batu ke arahnya hingga membuat kedua kaki dan tumitnya berdarah, lalu si pelempar tadi berkata: Wahai masyarakat sekalian, ia adalah seorang pendusta, janganlah kalian mempercayainya.” Untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku pun bertanya kepada orang yang berada di sampingku: “Siapakah mereka itu?” ia menjawab: “Yang pertama adalah Muhammad, ia mengaku bahwa ia adalah seorang Nabi. Sedangkan yang kedua adalah pamannya Abu Lahab, ia mengira bahwa Muhmmad itu seorang pendusta.”

‘Atha’ meriwayatkan, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Pada suatu hari Abu Lahab berkata: “Kalian telah disihir oleh Muhammad, jika salah satu dari kita memakan seekor kambing dan meminum satu kendi air susu maka kita belum merasa kenyang akibat sihir tersebut. Namun Muhammad dapat mengenyangkan perut-perut kalian dengan hanya memberikan satu paha kambing dan segelas susu. Bukankah itu sihir?”

Kedua: Firman Allah s.w.t. (أَبِيْ لَهَبٍ) “Abu Lahab.” Dikatakan, bahwa sebutan Lahab (nyala api) untuk Abu Lahab disebabkan oleh kerupawanan dan wajahnya yang bersinar. Dan sekelompok orang menjadikan hal ini sebagai dalil untuk pembolehan memberi gelar kepada orang musyrik.

Ini adalah pendapat yang tidak benar, sebab Allah s.w.t. menyebutnya dengan nama Abu Lahab menurut ulama untuk empat makna. (79410):

  1. Nama aslinya adalah ‘Abd-ul-‘Uzza, dan ‘Uzza itu adalah nama sebuah berhala (‘Abd-ul-‘Uzza = hamba berhala), sedangkan Allah tidak akan menyebutkan penghambaan kepada berhala di dalam Kitab suci-Nya.
  2. Abu Lahab lebih dikenal dengan nama panggilannya ini dibanding namanya yang asli, oleh karena itu Allah menyebutkan nama itu.
  3. Nama yang asli itu lebih terhormat dari nama julukan (alias), oleh karena itu Allah menurunkan derajat Abu Lahab dengan menyebutkan nama yang lebih rendah kehormatannya. Itulah mengapa Allah memanggil para Nabi-Nya dengan nama-nama mereka, tidak ada satu pun dari mereka yang dipanggil dengan nama julukannya. Untuk lebih membuktikan bahwa nama asli itu lebih terhormat daripada nama julukan, lihatlah nama Allah ‘azza wa jalla, hanya nama tidak ada julukan sama sekali, walaupun julukan itu sebenarnya untuk lebih memperjelas, namun julukan tetap tidak mungkin dinisbatkan kepada Allah, karena Allah suci dari segala julukan.
  4. Bahwa Allah ingin memperlihatkan nisbat Abu Lahab yang sebenarnya, yaitu api neraka, dan makna dari nama Abu Lahab adalah bapaknya api neraka, sebagai nisbatnya yang hakiki, bukan seperti nisbat yang dibuat-buat olehnya sendiri.

Ada juga yang mengatakan bahwa nama panggilannya itu adalah nama aslinya, karena keluarganya memang memberi nama Abu Lahab semenjak lahir, karena terangnya sinar yang terpancar dari wajahnya, namun Allah menghendaki agar ia tidak diberi nama dengan kata sinonim yang lebih bagus, karena bisa saja ia diberi Abu Nur atau Abu Dhiya (yang keduanya sama-sama bermakna bapaknya cahaya), namun Allah memilihkan nama yang buruk kepada kedua orang tua Abu Lahab untuk nama anak mereka, agar lisan-lisan yang menyebutkan namanya akan menisbatkan dia kepada lahab (nyala api) yang lebih memiliki konotasi buruk dan hina. Kemudian ditambah lagi dengan tempat tujuan abadinya yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya, yaitu neraka Jahannam.

Beberapa ulama, di antaranya Mujahid, Hamid, Ibnu Katsir, dan Ibnu Muhaishin, membaca kata (لَهَبٍ) dengan menggunakan sukūn pada huruf hā’ (79511), namun mereka tidak berbeda dalam membaca kata yang sama pada ayat ketiga, yaitu dengan menggunakan ḥarakat fatḥah pada huruf hā’. Alasan mereka memberi ḥarakat pada kata tersebut, karena kata itu terletak di penghujung ayat, hingga lebih mudah jika haruf hā’ memiliki ḥarakat.

Ketiga: Ibnu ‘Abbas mengatakan: Setelah Allah menciptakan Qalam, Ia berkata kepada Qalam tersebut: “Tulislah semua kejadian yang akan terjadi.” Salah satu yang ditulis oleh Qalam tersebut adalah surah ini, yaitu firman Allah s.w.t.: (تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ.) “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

Manshur mengatakan: Al-Hasan pernah ditanya mengenai surah ini, apakah ia termasuk yang dicatat di Lauh-ul-Mahfuzh? Apakah Abu Lahab sebenarnya mampu untuk tidak masuk neraka? Ia menjawab: Aku bersumpah, ia tidak akan dapat menghidari neraka, karena itulah tujuan yang pasti akan dicapainya, jalannya telah tertulis dalam Lauh-ul-Mahfuzh jauh sebelum Abu Lahab dan bahkan kedua orang tuanya dilahirkan.

Hal ini diperkuat oleh riwayat yang menceritakan tentang perkataan Nabi Musa kepada Nabi Adam: “Engkau adalah satu-satunya manusia yang diciptakan oleh Allah dengan Tangan-Nya sendiri, ruh yang ada pada dirimu juga Allah yang meniupkannya, dan engkau juga diberi tempat yang penuh dengan kenikmatan di surga, bahkan para malaikat-Nya diperintahkan untuk bersujud kepadamu, namun sayang, engkau telah mengecewakan seluruh manusia, hingga mereka tidak dapat menikmati hidup di dalam surga sepertimu.” Lalu Nabi Adam menjawab: “Ada apa denganmu wahai Musa, engkau adalah satu-satunya manusia yang diberi keistimewaan untuk dapat bercakap-cakap dengan-Nya, dan engkau juga diberikan Kitab suci Taurat, bagaimana mungkin engkau dapat menyalahkan aku tentang suatu hal yang telah dituliskan (ditakdirkan) kepadaku sebelum langit dan bumi ini diciptakan: “Setelah menceritakan kisah ini Nabi s.a.w. berkata: “Akhirnya Nabi Musa tidak mampu untuk mengalahkan hujjah yang disampaikan oleh Nabi Adam.” (79612).

Sedikit berbeda dengan riwayat yang disampaikan oleh Hammam, dari Abu Hurairah: Nabi Adam berkata kepada Nabi Musa: “Berapa tahun tenggang waktu yang engkau ketahui antara penulisan Kitab Taurat yang diwahyukan kepadamu sebelum akhirnya Allah menciptakan aku?” Nabi Musa menjawab: “Dua ribu tahun.” Lalu Nabi Adam berkata: “Apakah di dalam Kitab suci itu tertulis: (وَ عَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى.) “Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (79713). Nabi Musa menjawab: “Ada.” Nabi Adam melanjutkan: “Lalu bagaimana mungkin kamu menyalahkanku atas suatu hal yang telah ditetapkan oleh Allah kepadaku untuk aku perbuat, sebelum dua ribu tahun setelahnya aku diciptakan oleh Allah.” Akhirnya Nabi Musa tidak mampu untuk mengalahkan hujjah yang disampaikan oleh Nabi Adam.

Sedangkan pada riwayat yang disampaikan oleh Thawus, Ibnu Hurmuz, dan al-A‘raj, dari Abu Hurairah, menyebutkan bahwa tenggang waktu antara penulisan Kitab suci dan penciptaan Nabi Adam adalah empat puluh tahun saja.

Catatan:

  1. 785). H.R. al-Bukhari pada pembahasan tentang tafsir (3/222), juga Muslim pada pembahasan tentang keimanan, bab: mengenai firman Allah s.w.t. (وَ أَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْأَقْرَبِيْنَ) (1/194), juga at-Tirmidzi pada pembahasan tentang tafsir (5/451), hadits nomor 3363), lalu ia mengomentari: hadits ini termasuk hadits ḥasan shaḥīḥ. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad (1/281), dan disebutkan pula oleh as-Suyuthi dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (6/408), dari sanad yang beragam.
  2. 786). At-Taubah [9]: 214
  3. 787). Kalimat wa rahthaka minhum-ul-mukhlashīn ini adalah bacaan yang tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir. Ketika menerangkan shaḥīḥ Muslim, Imam Nawawi mengatakan: kelihatannya ini adalah potongan ayat yang diturunkan pada waktu itu namun telah di-nasakh bacaannya, dan penambahan ini tidak terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.
  4. 788). Qirā’ah al-A‘masy ini tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawatir. Dan bacaan ini disebutkan oleh Ibnu ‘Athiyyah dalam al-Muḥarrar-ul-Wajīz (16/378), dan juga oleh az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyāf (4/240).
  5. 789). Lih. Tafsīr-ul-Mawardī (6/368), juga Aḥkām-ul-Qur’ān (4/1993), dan juga al-Muḥarrar-ul-Wajīz (16/381).
  6. 790). Lih. Tafsīr-ul-Mawardī (6/363).
  7. 791). Lih. Tafsīr-ul-Mawardī (6/363).
  8. 792). Al-Hajj [22]: 10.
  9. 793). Qirā’ah ini tidak termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir, seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya.
  10. 794). Keempat makna ini disebutkan oleh Ibn-ul-‘Arabi dalam Aḥkām-ul-Qur’ān (4/1994), dan juga tafsīr-ul-Mawardī (6/365).
  11. 795). Qirā’ah yang menggunakan sukūn pada huruf hā’ termasuk qirā’ah sab‘ah yang mutawātir, sebagaimana tercantum dalam al-Iqnā’ (2/814), dan juga Taqrīb-un-Nasyr, h. 190.
  12. 796). Hadits ini adalah hadits shaḥīḥ, yang telah kami sampaikan periwayatkannya beberapa kali.
  13. 797). Thāhā [20]: 121.

Unduh Rujukan:

  • [download id="17382"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *