Surah al-Lahab 111 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

SURAH AL-LAHAB

Diturunkan di Makkah
Jumlah Ayat: 5.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ. مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَ مَا كَسَبَ. سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ. وَ امْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ. فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ

111:1. Binasalah kedua tangan Abū Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
111:2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.
111:3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
111:4. Begitu pula istrinya, pembawa kayu bakar.
111:5. Yang di lehernya ada tali dari sabut.
Abū Lahab atau ‘Abd-ul-‘Uzzā bin ‘Abd-il-Muththalib adalah paman Nabi Muḥammad s.a.w. Dia disebut Abū Lahab karena wajahnya mengkilap. Dia dan istrinya “Umm-ul-Jamīl”, termasuk orang yang paling sengit menyakiti Rasūlullāh dan memusuhi dakwah Islam yang beliau bawa.

Ibnu Isḥāq mengatakan bahwa telah diceritakan kepadanya oleh Ḥusain bin ‘Abdillāh bin ‘Ubaidillāh bin ‘Abbās, dia berkata: “Saya mendengar Rabī‘ah bin ‘Abbād ad-Dailī berkata: “Aku, seorang muda, bersama ayah melihat Rasūlullāh mengikuti beberapa kabilah dan di belakang beliau ada seorang lelaki yang juling matanya, parasnya elok, dan rambutnya sampai pundak. Rasūlullāh berdiri menghadap suatu kabilah, lalu bersabda: “Wahai Bani Fulan, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian. Aku menyuruh kalian supaya menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Kalian percayai aku dan kalian lindungi aku sehingga aku dapat melaksanakan tugas yang diberikan Allah kepadaku.”

Setelah beliau selesai menyampaikan perkataannya, berkatalah seseorang yang lain yang ada di belakang beliau: “Hai Bani Fulān, orang ini menginginkan agar kalian meninggalkan Lāta dan ‘Uzzā, dan sekutu-sekutu kalian dari golongan jinn dari Bani Mālik bin Aqmas, untuk mengikuti bid‘ah dan kesesatan yang dibawanya. Karena itu, janganlah kalian dengarkan dan jangan kalian ikuti dia!” Lalu aku bertanya kepada ayah: “Siapakah ia?” Ayah menjawab: “Dia adalah paman beliau, Abū Lahab.” (Diriwayatkan oleh Imām Aḥmad dan Thabrānī dengan lafal ini).

Inilah salah satu contoh dari tipu-daya Abū Lahab terhadap dakwah Islam dan Rasūlullāh s.a.w. Dan istrinya, Ummu Jamīl, selalu membantunya di dalam melakukan tindakan yang zhālim ini. Nama aslinya adalah Arwā binti Ḥarb bin Umayyah, saudara perempuan Abū Sufyān.

Abū Lahab mengambil sikap demikian terhadap Rasūlullāh sejak hari pertama dakwah. Imām Bukhārī meriwayatkan dengan isnādnya dari Ibnu ‘Abbās bahwa Rasūlullāh ke Buthḥā’, lalu naik ke gunung, kemudian berseru: “Wahai, berkumpullah pagi ini!” Kemudian orang-orang Quraisy berkumpul kepada beliau, lalu beliau bersabda: “Bagaimana pendapat kalian jika aku berkata kepada kalian bahwa musuh akan menyerang pada waktu pagi atau sore hari, apakah kalian percaya kepadaku?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya, aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian sebelum datangnya ‘adzāb yang pedih.” Abū Lahab menyahut: “Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami? Celakalah engkau!” Kemudian Allah menurunkan surah: (تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ.).

Di dalam satu riwayat disebutkan: “Lalu Abū Lahab berdiri sambil mengacung-acungkan tangannya seraya berkata: “Kecelakaanlah untukmu sepanjang hari! Apakah hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami?” Lalu Allah menurunkan surah ini.”

Ketika Bani Hāsyim sepakat terhadap kepemimpinan Abū Thālib untuk melindungi Nabi s.a.w., meskipun mereka tidak mengikuti agama beliau, melainkan hanya karena dorongan fanatisme kabilah (kesukuan, golongan), maka Abū Lahab keluar menemui saudara-saudaranya dan mengadakan janji setia dengan orang-orang Quraisy. Bersama-sama mereka, ia membuat piagam pemutusan hubungan dengan Bani Hāsyim dan hendak menyakiti Bani Hāsyim supaya mau menyerahkan Nabi Muḥammad kepada mereka.

Abū Lahab telah meminang dua putri Rasūlullāh, Ruqayyah dan Ummu Kultsūm, untuk kedua anak laki-lakinya sebelum diutusnya Nabi s.a.w. Tetapi, setelah beliau diutus sebagai Rasūl, maka Abū Lahab memerintahkan kedua anaknya untuk menceraikan istrinya itu. Tentu saja hal ini memberatkan pundak Nabi Muḥammad.

Demikianlah kelakuan Abū Lahab dan istrinya, Ummu Jamīl, yang mengobarkan peperangan yang sengit terhadap Nabi s.a.w. dan dakwah Islam, tanpa kelembutan dan basa-basi sedikit pun. Sedangkan, karena rumah Abū Lahab berdekatan dengan rumah Rasūlullāh, maka gangguannya sangat berat.

Diriwayatkan bahwa Ummu Jamīl biasa membawa duri dan meletakkannya di jalan yang biasa dilalui Nabi. Ada yang mengatakan bahwa perkataan “membawa kayu bakar” itu adalah kiasan terhadap segala usaha dan tindakannya mengganggu, menyakiti, memfitnah, dan mencelakakan Nabi s.a.w.

Surah ini turun untuk menjawab serangan yang dilancarkan Abū Lahab dan istrinya. Allah-lah yang menangani urusan peperangan ini, bukan Rasūlullāh!

تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ.

Binasalah kedua tangan Abū Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.” (al-Lahab: 1)

At-tabāb” berarti kebinasaan, kehancuran, dan keterpotongan. Lafal “tabbat” yang pertama itu adalah sebagai doa dan lafal “tabba” yang kedua adalah untuk memastikan terjadinya atau terealisirnya doa tersebut. Maka, dalam sebuah ayat yang pendek pada permulaan surah ini muncullah doa dan menjadi kenyataan, perang selesai, dan layar pun ditutup.

Ayat berikutnya merupakan ketetapan dan penjelasan mengenai apa yang terjadi:

مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَ مَا كَسَبَ.

Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” (al-Lahab: 2)

Sungguh binasa kedua tangannya, hancur, dan binasalah dia. Harta bendanya dan segala usahanya tidak berfaedah baginya dan tidak dapat menyelamatkannya dari kebinasaan dan kehancuran.

Itulah yang terjadi di dunia. Adapun di akhirat,

سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ.

Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak” (al-Lahab: 3)

Disebutkannya “lahab” “gejolak” untuk menggambarkan dan menjelaskan keadaan api itu dan mengisyaratkan gejolak dan nyalanya.

وَ امْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ.

Begitu pula istrinya, pembawa kayu bakar” (al-Lahab: 4)

Istrinya juga akan masuk ke neraka bersamanya, dengan membawa kayu bakar. Dan keadaannya,

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ

Yang di lehernya ada tali dari sabut” (al-Lahab: 5)

Untuk mengikat dia di neraka. Atau, tali itu untuk mengikat kayu. Begitulah ma‘na hakikinya, jika yang dimaksudkan adalah duri. Atau, diartikan secara majazi dengan pengertian bahwa membawa kayu bakar itu sebagai kiasan dari membawa keburukan dan berusaha menyakiti dan mencelakakan Nabi s.a.w.

Pengungkapan surah ini mengandung keserasian yang lembut dengan tema dan suasananya. Untuk menjelaskan hal ini, kami petikkan beberapa kutipan dari kitab Masyāhid-ul-Qiyāmati fī-l-Qur’ān, di dalam mengantarkan pengungkapan jiwa Ummu Jamīl yang jahat dan kegila-gilaan.

Abū Lahab,
sayashlā nāran dzāta lahab,
Wamra’atuhū ḥammālata-l-ḥathab,
sa tashlāhā wa fī ‘unuqihā ḥablun
min masad…..”

Keserasian dalam kata-kata dan dalam lukisan. Jahannam di sini adalah nāran dzāta lahab, api yang menyala-nyala, yang akan dimaksud oleh Abū Lahab. Istrinya biasa membawa ḥathab “kayu bakar” dan diletakkannya di jalan yang biasa dilewati Nabi Muḥammad, untuk mengganggu beliau (dalam arti hakiki atau majazi). Ḥathab ini adalah sesuatu yang digunakan untuk menyalakan lahab. Ia mengikat kayu bakar itu dengan tali. Maka, ‘adzāb terhadap dirinya adalah neraka yang menyala-nyala. Di situ, dia akan diikat dengan tali dari sabut agar serasi antara balasan dan perbuatannya. Juga supaya sempurna pula gambaran dengan kandungannya yang sederhana, ya‘ni kayu bakar dan tali, api dan gejolaknya, yang akan dimasuki oleh Abū Lahab dan istrinya si pembawa kayu bakar.

Keserasian lainnya ialah bunyi kata-katanya bersama suara yang menceritakannya dengan pengikatan tumpukan kayu dan ketertarikan leher oleh tali dari sabut. Bacalah: “Tabbat yadā Abī Lahabin wa tabb”, niscaya anda akan merasakan kerasnya ikatan itu, serupa dengan pengikatan kayu keras-keras. Serupa juga dengan pengikatan leher dan penarikan terhadapnya. Juga serasi dengan nuansa kemarahan besar dan ancaman yang terdapat dalam surah itu.

Terdapat keserasian nuansa musikalnya dengan gerak suaranya, serasi dengan lukisan-lukisannya dalam bagian-bagiannya yang rapi, sesuai bunyi lafalnya dalam ungkapan, serta sesuai dengan nuansa surah dan sebab turunnya. Semua ini terangkum dalam lima ayat pendek, yang termasuk salah satu surah terpendek dalam al-Qur’ān.

Keserasian dan kerapian ungkapan ini membuat Ummu Jamīl beranggapan bahwa Rasūlullāh menyindirnya dengan syair. Khususnya, setelah tersebarnya surah ini dengan kandungannya yang berisi ancaman, hinaan, dan pelukisan yang buruk terhadap Ummu Jamīl. Lukisan yang merendahkan seorang wanita yang ujub dan suka membanggakan diri, suka mengunggulkan kemuliaan leluhur dan nasabnya. Kemudian dilukiskan dengan gambaran ini: “Pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari ijuk.” Semuanya dikemukakan dengan menggunakan uslub yang sudah demikian popelur di kalangan bangsa ‘Arab!

Ibnu Isḥāq berkata: “Saya mendapatkan informasi bahwa Ummu Jamīl pembawa kayu bakar itu ketika mendengar al-Qur’ān yang membicarakan dirinya dan suaminya, maka datanglah ia kepada Rasūlullāh ketika beliau sedang duduk di masjid di sisi Ka‘bah bersama Abū Bakar ash-Shiddīq, ketika itu ia membawa batu segenggam. Ketika dia berhenti di hadapan Rasūlullāh dan Abū Bakar. Lalu ia berkata: “Hai Abū Bakar, mana sahabatmu itu? Aku telah mendengar bahwa dia menyindir saya. Demi Allah, kalau saya menjumpainya niscaya saya pukul mulutnya dengan batu ini. Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya saya juga seorang penyair!” Kemudian dia bersyair:

Orang tercela kami tentang,

Perintahnya kami langgar.”

Kemudian dia pergi. Lalu Abū Bakar berkata: “Wahai Rasūlullāh, apakah ia tidak melihatmu?” Rasūlullāh menjawab: “Ia tidak melihat aku. Sesungguhnya, Allah telah menutup penglihatannya dariku.”

Al-Ḥāfizh Abū Bakar al-Bazzār meriwayatkan dengan isnādnya dari Ibnu ‘Abbās, katanya: “Ketika turun surah: (تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ), datanglah istri Abū Lahab kepada Rasūlullāh ketika beliau sedang duduk bersama Abū Bakar. Lalu Abū Bakar berkata kepada beliau: “Sebaiknya engkau menjauh agar dia tidak dapat menyakitimu.” Rasūlullāh menjawab: “Sesungguhnya, dia akan terhalang melihatku.” Lalu Ummu Jamīl maju dan menghadap Abū Bakar seraya berkata: “Hai Abū Bakar, sahabatmu telah menyindir aku.” Abū Bakar menjawab: “Tidak, Demi Tuhan yang memiliki bangunan (Ka‘bah) ini, beliau tidak mengucapkan syair.” Ummu Jamīl berkata: “Engkau selalu membenarkan dia.” Setelah Ummu Jamīl pergi, Abū Bakar berkata kepada Rasūlullāh: “Dia tidak melihatmu?” Beliau menjawab: “Tidak, selama ada malaikat yang menutupiku sehingga dia pergi.”

Demikianlah kemarahan dan kebenciannya terhadap perkataan (ayat) yang disangkanya syair (karena kesamaan bunyi itu tidak terdapat melainkan pada syair), yang ditolaknya oleh Abū Bakar dan dia membenarkan Nabi. Akan tetapi, lukisan surah dan ayat-ayatnya ini telah dicatat dan direkam dalam kitab yang abadi. Juga dicatat oleh lembaran-lembaran semesta yang mengucapkan kemarahan dan serangan Allah terhadap Abū Lahab dan istrinya, sebagai balasan terhadap tipu-dayanya terhadap dakwah Allah dan Rasūl-Nya. Kebinasaan, kehancuran, dan kehinaan sebagai balasan bagi orang-orang yang menentang dan merintangi dakwah Allah di dunia, dan api neraka di akhirat sebagai balasan yang sesuai. Juga kehinaan yang diisyaratkan oleh tali di dunia dan akhirat.

Unduh Rujukan:

  • [download id="26234"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *