Surah adh-Dhuha 93 ~ Tafsir Ibni Katsir (1/2)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah adh-Dhuha 93 ~ Tafsir Ibni Katsir (1/2)

SŪRAT-UDH-DHUḤĀ
(Waktu Matahari Sepenggalan Naik)

Makkiyyah, 11 Ayat
Turun sesudah Sūrat-ul-Fajr

 

Telah diriwayatkan kepada kami melalui jalur Abul-Ḥasan alias Aḥmad ibnu Muḥammad ibnu ‘Abdillāh ibnu Abī Buzzah al-Muqrī yang mengatakan bahwa ia pernah belajar membaca al-Qur’ān dari ‘Ikrimah Ibnu Sulaimān, dan ia menceritakan kepadaku bahwa ia pernah belajar kepada Ismā‘īl ibnu Qusthanthīn dan Syibl ibnu ‘Abbād. Ketika qiraahnya sampai pada sūrat-udh-Dhuḥā, keduanya mengatakan kepadanya: “Bertakbirlah sampai kamu khatamkan suratnya dan juga pada akhir tiap surat lainnya.” Karena sesungguhnya kami belajar qiraat pada Ibnu Katsīr, dan ternyata dia memerintahkan hal tersebut kepada kami. Ibnu Katsīr telah menceritakan kepada kami bahwa dia belajar qiraat dari Mujāhid, dan ternyata Mujāhid memerintahkan kepadanya untuk melakukan hal itu (takbir), dan Mujāhid menceritakan kepadanya bahwa ia belajar qiraat kepada Ibnu ‘Abbās, maka ternyata ia memerintahkan kepadanya untuk melakukan hal itu, dan Ibnu ‘Abbās menceritakan kepadanya bahwa ia pernah belajar qiraat kepada Ubai ibnu Ka‘b, dan Ubai memerintahkan kepadanya untuk melakukan hal itu. Dan Ubai menceritakan kepadanya bahwa ia pernah belajar qiraat kepada Rasūlullāh s.a.w., dan ternyata beliau memerintahkan kepadanya untuk melakukan hal itu.

Ini merupakan sunah yang dikemukakan oleh Abul-Ḥasan alias Aḥmad ibnu Muḥammad Ibnu ‘Abdullāh al-Buzzī, salah seorang putra al-Qāsim ibnu Abū Buzzah secara munfarid (tunggal); dia adalah seorang Imām dalam ilmu qiraat.

Adapun dalam ilmu hadis ia dinilai dha‘īf oleh Abū Ḥātim ar-Rāzī, yang telah mengatakan bahwa ia tidak mau meriwayatkan hadis darinya. Hal yang semisal dikatakan oleh Abū Ja‘far al-‘Uqailī yang mengatakan bahwa Abul-Ḥasan ini hadisnya tidak terpakai.

Tetapi Syaikh Syihāb-ud-Dīn Abū Syāmah di dalam syarah asy-Syāthibī telah meriwayatkan dari asy-Syāfi‘ī, bahwa ia pernah mendengar seorang lelaki mengucapkan takbir ini dalam salatnya, maka Imām Syāfi‘ī mengatakan: “Kami baik dan sesuai dengan tuntunan sunah.” Hal ini memberikan pengertian bahwa hadis ini berpredikat shaḥīḥ.

Kemudian para ulama ahli qiraat berbeda pendapat mengenai tempat dilakukannya takbir ini dan juga mengenai shīgat-nya. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa hendaknya seseorang mengucapkan takbir dimulai dari akhir sūrat-ul-Lail (hingga surat-surat berikutnya). Dan sebagian yang lainnya mengatakan takbir dimulai dari akhir sūrat-udh-Dhuḥā.

Mengenai bentuk takbir ini menurut sebagian dari mereka ialah hendaknya seseorang mengucapkan: “Allah Maha Besar, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Allah Maha Besar.”

Ulama ahli qiraat sehubungan dengan topik membaca takbir mulai dari akhir sūrat-udh-Dhuḥā ini menyebutkan bahwa ketika wahyu datang terlambat kepada Rasūlullāh s.a.w. dan beliau mengalami kesenjangan di masa fatrah wahyu itu, kemudian datanglah Malaikat (Jibril) dengan membawa wahyu firman-Nya:

وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى

Demi waktu matahari sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi. (adh-Dhuḥā: 1-2), hingga akhir surat.

Maka Nabi s.a.w. mengucapkan takbir karena gembira dan senang kepada wahyu yang datang lagi. Tetapi hadis ini tidak diriwayatkan melalui sanad yang dapat dipertanggungjawabkan ke-shaḥīḥ-an atau ke-dha‘īf-annya; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Adh-Dhuḥā, ayat: 1-11

وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى. وَ لَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُوْلَى. وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى. أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى. وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى. وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى. فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ. وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ. وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

093: 1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
093: 2. dan demi malam apabila telah sunyi,
093: 3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci padamu,
093: 4. dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.
093: 5. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
093: 6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
093: 7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
093: 8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
093: 9. Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
093: 10. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya.
093: 11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).

 

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Na‘īm, telah menceritakan kepada kami Sufyān, dari al-Aswad ibnu Qais yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Jundub menceritakan bahwa Nabi s.a.w. mengalami sakit selama satu atau dua malam hingga beliau tidak melakukan qiyām-ul-lail. Maka datanglah kepadanya seorang wanita dan berkata: “Hai Muḥammad, menurut hematku setanmu itu tiada lain telah meninggalkanmu,” maksudnya malaikat yang membawa wahyu kepadanya. Maka Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى

Demi waktu matahari yang sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, (adh-Dhuḥā: 1-3).

Imām Bukhārī, Imām Muslim, Imām Tirmidzī, Imām Nasā’ī, Imām Ibnu Abī Ḥātim, dan Imām Ibnu Jarīr telah meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dari al-Aswad ibnu Qais, dari Jundub ibnu ‘Abdullāh al-Bajalī yang juga dikenal pula dengan al-‘Alaqī dengan sanad yang sama.

Menurut riwayat Sufyān ibnu ‘Uyainah, dari al-Aswad ibnu Qais, disebutkan bahwa ia pernah mendengar Jundub mengatakan bahwa Malaikat Jibril datang terlambat kepada Rasūlullāh s.a.w., maka orang-orang musyrik mengatakan: “Muḥammad ditinggalkan oleh Tuhannya.” Maka Allah menurunkan firman-Nya:

وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى

Demi waktu matahari yang sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, (adh-Dhuḥā: 1-3).

Ibnu Abī Ḥātim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abū Sa‘īd al-Asyāj dan ‘Amr ibnu ‘Abdullāh al-Audī, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abū Usāmah, telah menceritakan kepadaku Sufyān, telah menceritakan kepadaku al-Aswad ibnu Qais; ia pernah mendengar Jundub mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah dilempar dengan batu hingga mengenai jari tangannya sampai berdarah, maka beliau mengucapkan kalimat berikut:

هَلْ أَنْتَ إِلَّا أُصْبُعٍ دَمِيَتْ، وَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ مَا لَقِيْتِ

Tiadalah engkau selain dari jari tangan yang berdarah, di jalan Allah padahal engkau mengalaminya.

Lalu Rasūlullāh s.a.w. tinggal selama dua atau tiga malam tanpa mengerjakan qiyām-ul-lail (salat sunat malam hari). Maka ada seorang wanita (musyrik) yang berkata kepadanya: “Menurutku tiada lain setanmu telah meninggalkanmu.” Maka turunlah firman Allah s.w.t.:

وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى

Demi waktu matahari yang sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, (adh-Dhuḥā: 1-3).

Menurut konteks hadis yang ada pada Abū Sa‘īd, suatu pendapat mengatakan bahwa wanita tersebut adalah Ummu Jamīl, istri Abū Lahab. Disebutkan pula bahwa jari tangan beliau s.a.w. terluka. Dan mengenai sabda Nabi s.a.w. di atas bertepatan dengan wazan syair telah disebutkan di dalam kitab Shaḥīḥain. Akan tetapi, hal yang aneh dalam hadis ini ialah luka di ibu jari itu menjadi penyebab beliau s.a.w. meninggalkan qiyām-ul-lailnya dan juga menjadi turunnya surat ini.

Adapun menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abusy-Syawārib, telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ul-Wāḥid ibnu Ziyād, telah menceritakan kepada kami Sulaimān asy-Syaibānī, dari ‘Abdullāh ibnu Syaddād, bahwa Siti Khadījah, berkata kepada Nabi s.a.w.: “Menurut hemat saya. Tuhanmu telah meninggalkan kamu.” Maka Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى

Demi waktu matahari yang sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, (adh-Dhuḥā: 1-3).

Ibnu Jarīr mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Abū Kuraib, telah menceritakan kepada kami Wakī‘, dari Hisyām ibnu ‘Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril datang terlambat kepada Nabi s.a.w. Maka Nabi s.a.w. merasa sangat gelisah karenanya, lalu Siti Khadījah mengatakan: “Sesungguhnya aku melihat Tuhanmu telah meninggalkan kamu, karena aku melihat kegelisahanmu yang berat.” ‘Urwah melanjutkan kisahnya, bahwa maka turunlah firman Allah s.w.t.:

وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى

Demi waktu matahari yang sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, (adh-Dhuḥā: 1-3). hingga akhir surat.

Maka sesungguhnya hadis ini berpredikat mursal dari kedua jalur tersebut. Barang kali penyebutan Khadījah bukanlah berdasarkan hafalan, atau memang dia terlibat dan mengatakannya dengan nada menyesal dan bersedih hati; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.

Sebagian ulama Salaf – antara lain Ibnu Isḥāq – menyebutkan, bahwa surat inilah yang disampaikan oleh Jibril a.s. kepada Nabi s.a.w. ketika Jibril a.s. menampakkan rupa aslinya kepada Nabi s.a.w. dan datang mendekatinya, lalu turun menuju kepada beliau s.a.w. yang saat itu beliau sedang berada di Lembah Abthaḥ, seperti yang disebutkan firman-Nya:

فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى.

Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (an-Najm: 10).

Ibnu Isḥāq mengatakan bahwa saat itulah Jibril menyampaikan kepada Rasūlullāh s.a.w. surat ini yang diawali oleh firman-Nya:

وَ الضُّحَى. وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى

Demi waktu matahari sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi. (adh-Dhuḥā: 1-2).

Al-‘Aufī telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa setelah diturunkan kepada Nabi s.a.w. permulaan wahyu al-Qur’ān, maka Jibril datang terlambat beberapa hari dari Nabi s.a.w. sehingga roman muka beliau s.a.w. berubah sedih karenanya. Dan orang-orang musyrik mengatakan: “Dia telah ditinggalkan oleh Tuhannya dan dibenci.” Maka Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya s.w.t.:

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى

Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, (adh-Dhuḥā: 3)

Ini merupakan sumpah dari Allah s.w.t. dengan menyebut waktu dhuḥā dan cahaya yang Dia ciptakan padanya.

وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى

dan demi malam apabila telah sunyi. (adh-Dhuḥā: 2).

Yakni bila telah tenang dan gelap gulita. Demikianlah menurut Mujāhid, Qatādah, adh-Dhaḥḥāk, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya. Hal ini menunjukkan akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Pencipta, dan merupakan bukti yang jelas lagi gamblang. Makna ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَ الَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَ النَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى.

Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang. (al-Lail: 1-2).

Juga sama dengan firman Allah s.w.t.:

فَالِقُ الْإِصْبَاحِ، وَ جَعَلَ الَّيْلَ سَكَنًا وَ الشَّمْسَ وَ الْقَمَرَ حُسْبَانًا، ذلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ.

Dan menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (al-An‘ām: 96).

Adapun firman Allah s.w.t.:

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ

Tuhanmu tiada meninggalkan kamu, (adh-Dhuḥā: 3)

Artinya: Dia tidak meninggalkanmu.

وَ مَا قَلَى

dan tiada (pula) benci kepadamu, (adh-Dhuḥā: 3)

Yakni Dia tidak murka kepadamu.

وَ لَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُوْلَى.

dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan. (adh-Dhuḥā: 4)

Sesungguhnya negeri akhirat itu lebih baik bagimu daripada negeri ini (dunia). Karena itu, Rasūlullāh s.a.w. adalah orang yang paling zuhud terhadap perkara dunia dan paling menjauhinya serta paling tidak menyukainya, sebagaimana yang telah dimaklumi dari perjalanan hidup beliau s.a.w. ketika Nabi s.a.w. disuruh memilih di usia senjanya antara hidup kekal di dunia sampai akhir usia dunia – kemudian ke surga – dan antara kembali ke sisi Allah s.w.t. Maka beliau s.a.w. memilih apa yang ada di sisi Allah daripada dunia yang rendah ini.

Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazīd, telah menceritakan kepada kami al-Mas‘ūdī, dari ‘Amr ibnu Murrah, dari Ibrāhīm an-Nakha‘ī, dari ‘Alqamah, dari ‘Abdullāh ibnu Mas‘ūd yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. berbaring di atas hamparan tikar sehingga anyaman tikar yang kasar itu membekas di lambungnya. Ketika beliau bangkit dari berbaringnya, maka aku (Ibnu Mas‘ūd) mengusap lambung beliau dan kukatakan kepadanya: “Wahai Rasūlullāh, izinkanlah kepada kami untuk menggelarkan kasur di atas tikarmu.” Maka Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

مَا لِيْ وَ لِلدُّنْيَا إِنَّمَا مَثَلِيْ وَ مَثَلُ الدُّنْيَا كَرَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَ تَرَكَهَا.

Apakah hubungannya antara aku dan dunia, sesungguhnya perumpamaan antara aku dan dunia tiada lain bagaikan seorang musafir yang berteduh di bawah naungan sebuah pohon, kemudian dia pergi meninggalkannya.

Imām Tirmidzī dan Imām Ibnu Mājah meriwayatkannya melalui hadis al-Mas‘ūdī, dan Imām Tirmidzī mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak ḥasan berarti shaḥīḥ.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *