Surah adh-Dhuha 93 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

SURAH AL-DHUḤĀ

“CAHAYA PAGI”

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang.

 

Salah satu tafsir tradisional yang sering dikutip menjelaskan bahwa surah Makkiyyah awal ini merupakan surah yang memecahkan masa bungkam. Selama masa bungkam tersebut tidak ada wahyu baru yang turun kepada Nabi. Adapun konteks historis dan gambaran rinci tentang suasana yang melatarbelakangi turunnya surah-surah al-Qur’an, sebagian besar sudah kita ketahui. Rincian-rincian historisnya bisa dibaca dalam berbagai kitab tafsir lain. Yang menarik perhatian kita di sini adalah bagaimana agar kita, sebagai bagian dari debu-debu langkah kaki Nabi, dapat segera menerapkannya pada diri kita sendiri.

وَ الضُّحَى

  1. Demi terangnya waktu pagi,

Dhuḥā adalah saat-saat yang menyusuli matahari terbit ketika kita bermandikan sinar terang mentari pagi. Dalam ayat ini Allah sedang berkata: “Demi penyaksian langsung di mana pengetahuan datang kepadamu; demi penyaksian terhadap Kebenaran, terhadap Realitas; demi waktu tatkala segala sesuatu yang gelap diterangi oleh cahaya yang cemerlang!”

وَ اللَّيْلِ إِذَا سَجَى

  1. Dan demi malam tatkala sunyi-senyap,

Allah juga bersumpah demi lawannya waktu pagi, yakni saat kegelapan malam dan kebodohan mengambil alih. Baik cahaya pengetahuan maupun kegelapan tanpa pengetahuan dua-duanya adalah ciptaan Allah. Inilah keseimbangan dari seluruh eksistensi yang diperintah oleh Allah sebagai sang Maharaja.

مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى

  1. Tuhanmu tidak meninggalkanmu, dan tidak juga membencimu.

Penduduk Makkah mengolok-olok Nabi dengan mengatakan bahwa Tuhan telah meninggalkan beliau, terbukti dari kenyataan bahwa beliau tidak lagi menerima wahyu al-Qur’an secara teratur dan langsung. Kita dapat mengambil manfaat dari peristiwa ini. Setiap orang pernah mengalami masa-masa di mana sama sekali tidak mendapatkan ilham. Kejadian ini normal-normal saja dan mungkin disebabkan oleh sejumlah faktor. Ada juga masa-masa di mana kita benar-benar dipenuhi ilham, seakan-akan kita telah dibukakan untuk itu. Ada hari-hari tertentu di mana kita lebih baik membajak dan mengolah tanah, melakukan hal yang sederhana; di hari lainnya kita lebih baik duduk berkontemplasi dan begadang semalam suntuk melakukan salat, namun demikian di hari lainnya lagi lebih baik terlibat dalam aktivitas, melihat dunia, mengunjungi orang, dan sebagainya. Pada suatu hari tertentu, masing-masing orang akan mengalami orientasi yang agak berbeda.

Pada saat kita merasa tidak berada lagi dalam keadaan musyāhadah (penyaksian), dan tidak lagi menyaksikan tangan Allah bekerja di balik segala sesuatu, tidaklah berarti kita jauh dari Allah atau bahwa kita terpisah dari-Nya. Bisa saja itu merupakan pertanda ada sesuatu yang salah pada kita. Jika seseorang terluka tangannya dan merasakan sakit yang sangat, maka bagaimana ia dapat senantiasa menyadari nilai-nilai luhur yang ada di dalam dirinya? Pada saat itu perhatiannya terserap oleh tuntutan fisik: tangan, luka, sakit. Hal ini normal dan orang tersebut hendaklah merawat lukanya sampai sembuh.

Dengan kejadian tadi tidak berarti bahwa Allah telah meninggalkannya. Tangannya mungkin patah, sehingga yang terbaik baginya adalah istirahat dan berusaha melihat hikmah di balik kejadian tersebut. Mungkin juga hal itu terjadi bukan hanya untuk kepentingannya, tapi bisa jadi agar seseorang lain yang biasanya hatinya sekeras batu menjadi bersimpati kepadanya. Implikasinya di sini adalah bahwa segala sesuatu mesti melibatkan hal-hal yang berlawanan (siang dan malam, laki-laki dan perempuan, hidup dan mati). Ini adalah contoh dari mīzān (timbangan). Allah, Tuhan kita, senantiasa ada, dan tiada kemarahan, yang ada hanyalah cinta. Perasaan bahwa ada kemarahan muncul hanya karena tidak adanya keyakinan dan keimanan pada kita.

وَ لَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى

  1. Dan sesungguhnya yang akan datang itu lebih baik bagimu daripada yang telah berlalu sebelumnya.

Inilah janji yang diberikan kepada Nabi tentang kemenangan terakhir. Ayat ini juga berbicara tentang apa yang akan terjadi di saat akhir. Alam akhirat, ‘hari ‘akhir’, juga berarti ‘alam baka’, alam yang lebih baik karena ia berada di wilayah tak berbatas waktu, abadi. Di sini, di dunia ini, kita tidak bisa menguasai apa pun. Apa pun yang kita tegakkan, pasti ada hal lain yang akan meruntuhkannya; begitulah sifat dari waktu dan gerak dinamis kehidupan. Siapa yang memiliki tingkat kecerdasan tertentu akan segera menarik kesimpulan bahwa dunia ini bersifat sementara. Dunia akan cepat sekali ditinggalkan sehingga kita tidak dapat memprediksi perjalanannya dengan pasti. Yang dapat kita yakini hanyalah bahwa tatkala satu siklus waktu berhenti maka fase berikutnya akan mulai.

وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى

  1. Dan Tuhanmu segera akan memberikan kepadamu sehingga kamu merasa senang.

Rabb (Tuhan)—Dialah Yang menumbuhkan kita hingga mencapai potensi penuh, mencapai totalitas kita—akan memperlihatkan tanda-tanda-Nya kepada orang-orang yang memiliki iman. Kesadaran orang beriman tidak hanya akan membuat mereka mampu memahami tanda-tanda-Nya, tapi juga mampu bersabar menghadapi tanda-tanda tersebut.

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى

  1. Bukankah Ia menemukanmu seorang anak yatim dan kemudian memberi perlindungan kepadamu?

Bukankah Ia menemukanmu sebagai anak yatim yang kesepian, terpisah, dan terputus? Nabi Muḥammad sudah yatim sejak lahir. Bapaknya meninggal sebelum beliau lahir, dan ibunya meninggal, menurut sebagian sumber, saat beliau berusia dua tahun, dan menurut sumber lainnya, saat beliau berusia enam tahun. Ayat ini mengatakan, ‘Tidak bisakah kau saksikan bahwa orang yang tidak memiliki bapak atau pelindung pun keadaannya terus berkembang?’ Pertama-tama Nabi dirawat oleh kakeknya, kemudian pamannya. Sama halnya dengan yang terjadi pada kita masing-masing: andaikan kita menengok kesendirian kita di masa lampau, kita bisa melihat bahwa ketika waktu berlalu dengan intensitasnya yang berkurang, atau bahwa meskipun teman baik kita pergi meninggalkan kita, kita tetap saja mendapat teman baru lagi.

Nabi pernah berkata tentang anak yatim, ‘Aku dan orang yang merawat anak yatim bagaikan ini (sambil merapatkan dua jarinya) di surga, seandainya ia bertakwa kepada Allah.’ Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa yang ada hanyalah keterhubungan, hanya Satu. Tapi meskipun kita menyukai kesatuan, namun sayang kita telah salah menafsirkannya dengan hanya melindungi orang yang sudah mempunyai hubungan, hanya melindungi orang, umpamanya, yang dicintai oleh bapaknya dan, oleh karenanya, yang sudah mempunyai hubungan. Kita lupa bahwa anak yatim di sini adalah untuk menunjukkan kepada kita akan pentingnya keterhubungan dan takutnya terhadap keterpisahan dan kesendirian. Menjauhi anak yatim merupakan suatu bentuk kebalikan dari pemujaan terhadap tauhid. Sebagai penyembah Keesaan Allah selamanya, maka kita merasa secara duniawi harus menghubungkan dengan orang-orang yang sudah berhubungan, dan menolak mereka yang terpisah.

وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى

  1. Dan Ia menemukan engkau tersesat, lalu Ia memberikan petunjuk kepadamu?

وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى

  1. Dan Ia menemukan engkau sedang membutuhkan, lalu Ia mencukupinya?

Nabi juga seorang yatim dalam arti keharusannya untuk mengalami pengetahuan langsung tentang Allah. Maka Allah berkata, ‘Apakah Dia tidak menunjukimu ke jalan yang benar?’ Allah meinbimbing Rasul sampai kemana pun ia memandang, ia melihat tangan Allah.

Allah berkali-kali menjumpai Nabi dalam keadaan miskin, lalu Dia memberinya bekal. Kita semua membutuhkan bekal. ‘Ā’il (miskin) juga berarti ‘tergantung’, dan dari kata itu kemudian muncullah kata ā’ilah, yang berarti ‘keluarga’. Kita semua tergantung pada sesuatu, membutuhkan keamanan baik jasmani maupun rohani.

Nabi terkenal sebagai amīn (terpercaya). Beliau orang yang paling jujur dan terbuka, dan percaya terhadap Sang Pencipta. Tidak lama kemudian seorang wanita terkaya dari suku Quraisy, Khadījah namanya, wanita lajang yang paling diidam-idamkan dari golongan mereka, menikahinya dan memberikan segala yang dimilikinya kepada beliau. Hubungan mereka membuat banyak orang yang tidak suka berusaha menciptakan berbagai kesulitan di antara keduanya. Mereka berkata kepada Khadījah, ‘Lihatlah bagaimana seluruh kekayaanmu sedang dihambur-hamburkan oleh Nabi Muḥammad!’ Namun bukannya cemas, Khadījah malah bangga karena Nabi memanfaatkan hartanya, puas bahwa harta yang disediakannya untuk Nabi digunakan di jalan Allah.

فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ

  1. Oleh karena itu, terhadap anak yatim, janganlah menindasnya.

Kita masing-masing pernah merasakan kesendirian di dunia ini, mengalami kerugian, khawatir akan perbekalan kita dan dipenuhi dengan perasaan tidak aman. Namun dengan melongok ke belakang kita pun tahu bahwa kita berada dalam keadaan lebih baik sekarang, karena sekarang kita memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak. Akibatnya, kita sekarang bisa benar-benar bersyukur kepada Tuhan, dan cara kita bersyukur kepada Allah digambarkan dalam ayat ini dan dua ayat berikutnya. Kita tidak boleh menekan, menindas, membiarkan, atau menggunakan kekerasan kepada anak yatim, atau lebih luas lagi, kepada setiap orang yang merasa terpisah dan tersisihkan di dunia ini.

وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ

  1. Dan terhadap orang yang bertanya, janganlah mengusirnya,

Ini menyangkut orang miskin, apa pun kebutuhannya, baik kebutuhan terhadap harta maupun pengetahuan. Mungkin saja si miskin itu suka mementingkan dirinya sendiri, tapi ia menganggap dirinya miskin sehingga datang kepada kita. Karena mungkin memang benar ia sedang membutuhkan maka kita tidak boleh mengusirnya. Kita harus saling membantu dalam kehidupan ini, dan saling meringankan penderitaan sesama.

وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

  1. Dan tentang nikmat dari Tuhanmn, maka siarkanlah!

Allah sedang mengatakan, ‘Yang ada hanyalah nikmat Tuhanmu, maka bersyukurlah kepada-Nya dengan membicarakannya, dengan menerangkannya, dengan menyediakannya, dengan menyatakannya.’ Jika yang kita anggap sebagai nikmat itu adalah sebuah rumah, maka hendaklah kita menggunakannya, bukalah pintunya agar dapat dimanfaatkan dan dipenuhi oleh tetamu. Begitulah caranya kita dapat berbicara tentang nikmat dan rahmat Allah. Namun zaman sekarang kebanyakan orang takut. Umpamanya, zaman sekarang kalau kita bertanya kepada seorang penjaga toko di pasar apakah usahanya beruntung, jawaban yang diberikannya mungkin bernada sumbang karena takut kalau jawabannya ‘ya’ ujung-ujungnya akan dimintai uang. Apa gunanya suatu nikmat kalau tidak di-hidupkan, tidak dikenal dan dirasakan bersama? Banyak orang yang akhirnya menumpuk uang yang disembunyikannya sehingga tetap tidak digunakan sampai saat kematiannya. Apa manfaatnya harta itu bagi dia?

Allah mendorong kita untuk membicarakan apa saja kebaikan yang datang kepada kita. Bila hal ini menjadi kebiasaan, maka kebersamaan tersebut akan mendatangkan kebaikan pada kita, dan kita akan menjadi optimistis, itulah sifat kita sesungguhnya, karena manusia terapung di samudera rahmat Allah. Pada hakikatnya yang ada hanyalah ‘masa depan yang cemerlang’, karena babak penghabisan tak lain adalah kecemerlangan nūr (cahaya) Allah. Kita semua akhirnya akan mencapai cahaya itu, lantas mengapa kita harus membuat diri kita dan orang lain menderita sepanjang jalan? Bagaimana pun, segala kesulitan kita hanyalah akibat dari keterlibatan kita sebagai pengelola dalam persiapan untuk menjalani realitas akhir itu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *