Surah adh-Dhuha 93 ~ Tafsir Ibni Katsir (2/2)

Dari Buku:
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 30
(An-Nabā’ s.d. An-Nās)
Oleh: Al-Imam Abu Fida’ Isma‘il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah adh-Dhuha 93 ~ Tafsir Ibni Katsir (1/2)

Firman Allah s.w.t.:

وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى.

Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati kamu menjadi puas. (adh-Dhuḥā: 5)

Yakni kelak di negeri akhirat Allah akan memberinya hingga ia merasa puas tentang umatnya dan juga kemuliaan yang telah disediakan oleh Allah untuk dirinya. Yang antara lain ialah Telaga Kautsar yang kedua tepinya berupa kubah-kubah dari mutiara yang berongga, sedangkan tanahnya bibit minyak kesturi, sebagaimana yang akan diterangkan kemudian.

Imām Abū ‘Amr al-Auza‘ī telah meriwayatkan dari Ismā‘īl ibnu ‘Abdullāh ibnu Abul-Muhājir al-Makhzūmī, dari ‘Alī ibnu ‘Abdullāh ibnu ‘Abbās, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ditampakkan kepada Rasūlullāh s.a.w. apa yang bakal dibukakan buat umatnya sesudah ia tiada perbendaharaan-perbendaharaan. Maka beliau merasa senang dengan hal tersebut, lalu Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى.

Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati kamu menjadi puas. (adh-Dhuḥā: 5)

Dan Allah s.w.t. memberikan kepada beliau s.a.w. di dalam surga sejuta gedung, dalam tiap gedung terdapat istri-istri dan para pelayan yang layak baginya. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr dan Ibnu Abī Ḥātim melalui jalur Abū Amr al-Auza’i. Sanad ini shaḥīḥ sampai kepada Ibnu ‘Abbās, dan hal yang semisal dengan ini tiada lain kecuali berpredikat mauqūf.

As-Saddī telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa untuk memuaskan hati Nabi Muḥammad s.a.w., Allah tidak akan memasukkan seorang pun dari kalangan ahli baitnya ke dalam neraka. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr dan Ibnu Abī Ḥātim. Al-Ḥasan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hal tersebut ialah syafaat (diizinkan untuk memberi syafaat). Hal yang sama telah dikatakan oleh Abū Ja‘far al-Bāqir.

Abū Bakar ibnu Abū Syaibah mengatakan, telah meriwayatkan kepada kami Mu‘āwiyah ibnu Hisyām, dari ‘Alī ibnu Shalīḥ, dari Yazīd ibnu Abū Ziyād, dari Ibrāhīm, dari ‘Alqamah, dari ‘Abdullāh yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

إِنَّا أَهْلُ بَيْتٍ اخْتَارَ اللهُ لَنَا الْآخِرَةَ عَلَى الدُّنْيَا، وَ لَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى.

Sesungguhnya kami adalah suatu ahli bait, Allah telah memilihkan akhirat di atas dunia bagi kami. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.

Kemudian Allah s.w.t. menyebutkan dalam firman berikutnya bilangan nikmat-nikmat yang telah Dia karuniakan kepada hamba dan Rasul-Nya Nabi Muḥammad s.a.w.:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. (adh-Dhuḥā: 6)

Demikian itu karena ayah beliau wafat sejak beliau masih berada dalam kandungan ibunya. Menurut pendapat yang lain, ayah beliau wafat ketika beliau baru dilahirkan. Kemudian ibunya (yakni Āminah binti Wahb) wafat pula saat beliau berusia enam tahun. Sesudah itu beliau berada dalam pemeliharaan kakeknya (yaitu ‘Abd-ul-Muththalib) hingga kakeknya wafat saat beliau masih berusia delapan tahun.

Kemudian beliau dipelihara oleh pamannya yang bernama Abū Thālib, yang bersikap terus-menerus melindunginya, menolongnya, meninggikan kedudukannya, dan mengagungkannya serta membentenginya dari gangguan kaumnya sesudah Allah mengangkatnya menjadi seorang rasul dalam usia empat puluh tahun.

Perlu diketahui bahwa Abū Thālib adalah pengikut agama kaumnya yang menyembah berhala-berhala, dan Nabi s.a.w. tidak terpengaruh, yang hal ini tidak lain berkat takdir Allah dan pengaturan-Nya yang baik. Dan ketika Abū Thālib meninggal dunia sebelum Nabi s.a.w. akan melakukan hijrah dalam waktu yang tidak lama, maka orang-orang yang kurang akalnya dan orang-orang yang bodoh dari kalangan kaum Quraisy mulai berani mengganggunya.

Maka Allah s.w.t. memilihkan hijrah baginya dari kalangan mereka menuju negeri kaum Aus dan Khazraj, sebagaimana yang telah digariskan oleh suratan takdir-Nya yang lengkap lagi sempurna. Ketika beliau s.a.w. sampai di negeri mereka, mereka memberinya tempat, menolongnya, melindunginya, dan membelanya dengan jiwa dan harta mereka; semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka semuanya. Dan semuanya itu berkat pemeliharaan dan penjagaan serta perhatian dari Allah kepada Nabi s.a.w.”

Firman Allah s.w.t.:

وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى.

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (adh-Dhuḥā: 7)

Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَ كَذلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوْحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتَابُ وَ لَا الْإِيْمَانُ وَ لكِنْ جَعَلْنَاهُ نُوْرًا نَهْدِيْ بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا.

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’ān) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitāb (al-Qur’ān) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’ān itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. (asy-Syur‘rā’: 52), hingga akhir ayat.

Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah sesungguhnya Nabi s.a.w. pernah tersesat di lereng-lereng pegunungan Makkah saat ia masih kecil, kemudian ia dapat pulang kembali ke rumahnya. Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya ia pernah tersesat bersama pamannya di tengah jalan menuju ke negeri Syam. Saat itu Nabi s.a.w. mengendarai unta betina di malam yang gelap, lalu datanglah iblis yang menyesatkannya dari jalur jalannya. Maka datanglah Malaikat Jibril yang langsung meniup iblis hingga terpental jauh sampai ke negeri Ḥabsyah. Kemudian Jibril meluruskan kembali kendaraan Nabi s.a.w. ke jalur yang dituju. Keduanya diriwayatkan oleh al-Baghawī.

Firman Allah s.w.t.:

وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (adh-Dhuḥā: 8).

Yakni pada mulanya kamu hidup dalam keadaan fakir lagi banyak anak, lalu Allah memberimu kecukupan dari selain-Nya. Dengan demikian, berarti Allah menghimpunkan baginya antara kedudukan orang fakir yang sabar dan orang kaya yang bersyukur, semoga salawat dan salam-Nya terlimpahkan kepadanya.

Qatādah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَآوَى. وَ وَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى. وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى.

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (adh-Dhuḥā: 6-8)

Bahwa demikianlah kedudukan Nabi s.a.w. sebelum beliau diangkat menjadi utusan oleh Allah s.w.t. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr dan Ibnu Abī Ḥātim.

Di dalam kitab Shaḥīḥain disebutkan melalui jalur ‘Abd-ur-Razzāq dari Ma‘mar, dari Hammām ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa berikut ini adalah apa yang telah diceritakan kepada kami oleh Abū Hurairah yang telah mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَ لكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ.

Bukanlah orang kaya itu karena banyak memiliki harta benda, tetapi orang yang kaya itu adalah orang yang jiwanya kaya.

Di dalam kitab Shaḥīḥ Muslim disebutkan dari ‘Abdullāh ibnu ‘Amr yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَ رُزِقَ كَفَافًا وَ قَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.

Sesungguhnya beruntunglah orang yang Islam dan diberi rezeki secukupnya serta Allah telah menjadikannya menerima seadanya menurut apa yang diberikan oleh-Nya. (diberi sifat qanā‘ah).

Kemudian Allah s.w.t. dalam ayat selanjutnya berfirman:

فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ.

Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. (adh-Dhuḥā: 9)

Yaitu sebagaimana engkau dahulu seorang yang yatim, lalu Allah melindungimu, maka janganlah kaum berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim. Yakni janganlah kamu menghina, membentak, dan merendahkannya; tetapi perlakukanlah dia dengan baik, dan kasihanilah dia. Qatādah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa jadilah engkau terhadap anak yatim sebagai seorang ayah yang penyayang.

وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ.

Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. (adh-Dhuḥā: 10)

Yaitu sebagaimana engkau dahulu dalam keadaan kebingungan, lalu Allah memberimu petunjuk, maka janganlah kamu menghardik orang yang meminta ilmu yang benar kepadamu dengan permintaan yang sesungguhnya.

Ibnu Isḥāq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ أَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ.

Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. (adh-Dhuḥā: 10)

Maksudnya, janganlah kamu bersikap sewenang-wenang, jangan sombong, jangan berkata kotor, dan jangan pula bersikap kasar terhadap orang-orang yang lemah dari hamba-hamba Allah. Qatādah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa makna yang dimaksud ialah bila menolak orang miskin lakukanlah dengan sikap kasih sayang dan lembah lembut.

وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (adh-Dhuḥā: 11)

Yakni sebagaimana engkau dahulu orang yang kekurangan lagi banyak tanggungannya, lalu Allah menjadikanmu berkecukupan, maka syukurilah nikmat Allah yang diberikan kepadamu itu. Sebagaimana yang disebutkan dalam doa yang di-ma’tsūr dari Nabi s.a.w. seperti berikut:

وَ اجْعَلْنَا شَاكِرِيْنَ لِنِعْمَتِكَ مُثْنِيْنَ بِهَا عَلَيْكَ قَابِلِيْهَا وَ أَتِمَّهَا عَلَيْنَا.

Dan jadikanlah kami orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu dan memanjatkan pujian kepada-Mu karenanya serta menerimanya, dan sempurnakanlah nikmat itu kepada kami.

Ibnu Jarīr mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya‘qūb, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aliyyah, telah menceritakan kepada kami Sa‘īd ibnu Iyās al-Jarīrī, dari Abū Nadhrah yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang muslim memandang bahwa termasuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah ialah dengan menyebut-nyebutnya (mensyukurinya dengan lisan).

‘Abdullāh ibnu Imām Aḥmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Manshūr ibnu Abī Muzāḥim, telah menceritakan kepada kami al-Jarrāḥ ibnu Falīḥ, dari Abū ‘Abd-ur-Raḥmān, dari asy-Sya‘bī, dari an-Nu‘mān ibnu Basyīr yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda di atas mimbar:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ، وَ مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَ تَرْكُهَا كُفْرٌ، وَ الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَ الْفُرْقَةُ عَذَابٌ.

Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, berarti tidak mensyukuri nikmat yang banyak. Dan barang siapa yang tidak berterima kasih kepada (jasa) orang lain, berarti dia tidak bersyukur kepada Allah. Dan menyebut-nyebut nikmat Allah adalah (ungkapan rasa) syukur, sedangkan meninggalkannya berarti mengingkarinya. Persatuan itu membawa rahmat dan berpecah belah itu membawa adzab.

Sanad hadis ini dha‘īf.

Di dalam kitab Shaḥīḥain disebutkan dari Anas, bahwa Kaum Muhājirīn bertanya: “Wahai Rasūlullāh, orang-orang Anshār telah memborong semua pahala.” Maka Nabi s.a.w. menjawab:

لَا، مَا دَعَوْتُمُ اللهَ لَهُمْ وَ أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِمْ

Tidak, selama kalian mendoakan mereka kepada Allah dan memuji sikap baik mereka.

Abū Dāūd mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrāhīm, telah menceritakan kepada kami ar-Rabī‘ ibnu Muslim, dari Muḥammad ibnu Ziyād, dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w. yang telah bersabda:

لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada (kebaikan) orang lain.

Imām Tirmidzī meriwayatkannya dari Aḥmad ibnu Muḥammad, dari Ibn-ul Mubārak, dari ar-Rabī‘ ibnu Muslim, dan Imām Tirmidzī mengatakan bahwa hadis ini shaḥīḥ.

 

Abū Dāūd mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh ibn-ul-Jarrāḥ, telah menceritakan kepada kami Jarīr, dari al-A‘masy, dari Abū Sufyān, dari Jabīr, dari Nabi s.a.w. yang telah bersabda:

مَنْ أُبْلِيَ بَلَاءً (حَسَنًا) فَذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَ مَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ

Barang siapa yang mendapat suatu cobaan (yang baik), lalu ia menyebutnya, berarti dia telah mensyukurinya; dan barang siapa yang menyembunyikannya, berarti dia telah mengingkarinya.

Imām Abū Dāūd meriwayatkan hadis ini secara munfarid (tunggal).

Abū Dāūd mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami ibnu Gaziyyah, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan kaumku, dari Jābir ibnu ‘Abdullāh yang mengatakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah bersabda:

مَنْ أُعْطِيَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِبِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَ مَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ.

Barang siapa yang diberi suatu pemberian, lalu ia mempunyai sesuatu untuk membalasnya, maka balaslah pemberian itu. Dan jika ia tidak mempunyai sesuatu untuk membalasnya, maka hendaklah ia memuji pemberinya. Maka barang siapa yang memuji pemberinya, berarti telah mensyukurinya; dan barang siapa yang menyembunyikannya (tidak menyebutnya), berarti dia telah mengingkarinya.

Abū Dāūd mengatakan bahwa Yaḥyā ibnu Ayyūb meriwayatkannya dari ‘Imārah ibnu Ghaziyyah, dari Syurahbīl, dari Jābir; mereka tidak mau menyebut nama Syurahbīl karena mereka tidak suka kepadanya. Abū Dāūd meriwayatkan hadis ini secara munfarid (tunggal).

Mujāhid mengatakan bahwa nikmat yang dimaksud dalam ayat ini adalah kenabian yang telah diberikan oleh Allah s.w.t. kepada Nabi-Nya. Yakni syukurilah kenabian yang telah diberikan Tuhanmu kepadamu. Menurut riwayat yang lain, nikmat yang dimaksud adalah al-Qur’ān.

Laits telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari al-Ḥasan ibnu ‘Alī sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (adh-Dhuḥā: 11)

Yakni kebaikan apapun yang telah kamu kerjakan, maka ceritakanlah hal itu kepada saudara-saudaramu.

Muḥammad ibnu Isḥāq telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu berupa nikmat, kemuliaan dan kenabian, hendaklah engkau menyebut-nyebutnya dan ceritakanlah kepada orang lain dan serulah (mereka) kepadanya. Muḥammad ibnu Isḥāq melanjutkan, bahwa lalu Rasūlullāh s.a.w. menceritakan karunia kenabian yang telah diterima olehnya itu kepada orang-orang yang telah beliau percayai dari kalangan keluarganya secara diam-diam. Lalu difardhukanlah ibadah salat kepadanya, maka beliau mengerjakannya.

Demikianlah akhir tafsir sūrat-udh-Dhuḥā: dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah s.w.t. atas segala karunia-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *