Pandangan Islam Terhadap Seni Tari – Seni Dalam Pandangan Islam (2/3)

SENI DALAM PANDANGAN ISLĀM.
Seni Vocal, Musik dan Tari.

Oleh: ‘Abd-ur-Raḥmān Al-Baghdādī.
 
Penerbit: GEMA INSANI PRESS.

Rangkaian Pos: Pandangan Islam Terhadap Seni Tari - Seni Dalam Pandangan Islam

2. TANGGAPAN UTAMA ISLĀM TERHADAP TARIAN.

Imām Al-Ghazālī dalam kitāb IḤYĀ’-UL‘ULŪM-ID-DĪN, (Lihat: Imām al-Ghazali, IḤYĀ’-UL-‘ULŪM-ID-DĪN, Jilid VI, hlm. 1141, 1142 dan 1187) beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil menari hukumnya mubāh. Sebab, kata beliau: “Para sahabat Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan “hajal” (berjinjit) pada saat mereka merasa bahagia. Imām al-Ghazālī kemudian menyebutkan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib pernah berjinjit atau menari tatkala ia mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

(أَنْتَ مِنِّي وَ أَنَا مِنْكَ)

Engkau tergolong ke dalam golonganku, dan aku tergolong ke dalam golonganmu.”

Begitu juga Ja‘far bin Abī Thālib. Kata Imām al-Ghazālī, dia pernah melakukan hal yang sama (berjinjit) ketika mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w. :

(أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَ خُلُقِي)

Engkau adalah orang yang paling mirip dengan corak dan tabiatku“.

Juga Zaid bin Ḥāritsah pernah berjinjit tatkala mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w.:

(أَنْتَ أَخُونَا وَ مَوْلاَنَا)

Engkau adalah saudara dan penolong kami.

Dalam kesempatan lain ‘Ā’isyah diijinkan Rasūlullāh s.a.w. untuk menyaksikan penari-penari Ḥabsyah. Kemudian Imām al-Ghazālī menyimpulkan bahwa menari itu hukumnya boleh pada saat-saat bahagia, seperti hari raya, pesta pernikahan, pulangnya seseorang ke kampung halamannya, saat walīmahan pernikāhan, ‘aqīqahan, lahirnya seorang bayi, atau pada waktu khitanan, dan setelah seseorang hafal al-Qur’ān. Semua ini hukumnya mubāḥ yang tujuannya untuk menampakkan rasa gembira. Tetapi tari-tarian itu maupun jenis-jenis hiburan lainnya tidak layak dilakukan para pejabat dan pepimpin yang menjadi panutan masyarakat. Ini bertujuan agar mereka tidak dikecilkan rakyat, tidak dijatuhkan martabatnya, atau tidak dijauhi oleh rakyatnya.

Tentang riwāyat Imām Bukhārī dan Imām Aḥmad yang berkaitan dengan menarinya orang-orang Ḥabsyah di hadapan Rasūlullāh s.a.w., Al-Qādhī ‘Iyādh berkata: “Ini merupakan dalīl yang paling kuat tentang bolehnya tarian sebab Rasūlullāh s.a.w. membiarkan mereka melakukannya, bahkan mendorong mereka untuk melanjutkan tariannya.”

Akan tetapi Imām Ibnu Ḥajar menentang pengertian Ḥadīts yang membolehkan tarian. Beliau berkata: “Sekelompok shūfī telah berdalīl kepada Ḥadīts tersebut untuk membolehkan tari-tarian dan mendengarkan alat-alat musik. Padahal jumhur ‘ulamā’ telah menegur pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan tujuan. Tujuan orang-orang Ḥabsyah yang bermain-main dengan perisai dan tombak merupakan bagian dari latihan yang biasa mereka lakukan untuk berperang. Oleh karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai ḥujjah untuk membolehkan tari-tarian yang tujuannya untuk menghibur diri.” (Lihat: Ibnu Ḥajar al-Asqalānī, FATḤ-UL-BĀRĪ, Jilid VI, hlm. 553).

Adapun mengenai nukilan Imām al-Ghazālī tentang “hajal” (berjinjitnya) ‘Alī, Ja‘far, dan Zaid, maka ditentang keras oleh Imām Ibn-ul-Jauzī (Lihat: Imām Ibn-ul-Jauzī TALBĪS IBLĪS, hlm. 258-260). Katanya, hajal tidak lebih dari semacam cara dalam gerak kaki berjalan yang dilakukan pada saat seseorang merasa gembira. Sedangkan tarian tidak demikian! Gerakan Zafarnya orang-orang Ḥabsyah adalah mendorong keras dan menyepak dengan kaki. Maka inipun merupakan salah satu cara dalam berjalan pada saat berhadapan dalam peperangan.

Kemudian Imām Ibn-ul-Jauzī berkata: “Menurut Abū-l Wafā Ibn-ul-‘Aqīl, Al-Qur’ān telah mencantumkan ke-ḥarām-an tarian dengan nash yang tegas seperti firman Allah s.w.t.:

(وَ لاَ تَمْشِي فِي الأَرْضِ مَرَحًا) (لقمن:18)

Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan angkuh.” (31:18)

Allah s.w.t. juga mencela orang-orang yang sombong dengan firmanNya:

(إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلُّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ) (لقمن:18)

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi membanggakan diri.” (31:18).

Karena itulah menurut Abū-l-Wafā Ibn-ul-‘Aqīl, menari merupakan cara berjalan paling angkuh dan penuh dengan kesombongan. Kemudian Imām Ibn-ul-Jauzī melanjutkan dengan mengomentari tarian orang shūfī. Katanya, dapatkah kita membayangkan suatu perbuatan keji yang dapat menjatuhkan nilai akal dan kewibawaan bagi seseorang serta menyebabkan ia terjatuh dari sifat kesopanan dan rendah hati, seperti yang dilakukan oleh seorang (shūfī yang) berjenggot. Apalagi yang melakukannya adalah kakek-kakek yang berjenggot, bertepuk tangan dan mengikuti irama yang dinyanyikan para wanita dan anak-anak muda yang belum tumbuh jenggotnya. Apakah layak bagi seseorang membanggakan diri dengan menari seperti binatang dan menepuk dada seperti wanita (sambil menari), yang sudah gaek dan hampir masuk liang kubur yang nantinya akan diminta pertanggungjawabannya di Padang Maḥsyar?

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *