Seni Musik, Suara dan Tari Pada Masa Khilafah Islam – Seni Dalam Pandangan Islam

SENI DALAM PANDANGAN ISLĀM.
Seni Vocal, Musik dan Tari.

Oleh: ‘Abd-ur-Raḥmān Al-Baghdādī.
 
Penerbit: GEMA INSANI PRESS.

BĀB XI.

SENI MUSIK, SUARA DAN TARI PADA MASA KHILAFAH ISLĀM.

 

Khilafah Islām terdahulu tidak pernah melarang rakyatnya mempelajari seni suara dan musik, Mereka dibiarkan mendirikan sekolah-sekolah musik dan membangun pabrik alat-alat musik. Mereka diberikan ghairah untuk mengarang buku-buku tentang seni suara, musik dan tari. Negara khilafah juga tidak pernah mengambil tindakan hukum terhadap biduan dan biduanita yang bernyanyi di rumah-rumah individu. Bahkan mereka diberi ijin untuk bernyanyi di istana dan di rumah penguasa.

Perhatian ke arah pendidikan musik telah dicurahkan sejak akhir masa Daulah Umawiyah, yang kemudian dilanjutkan pada masa kekhilafahan ‘Abbāsiyah sehingga di berbagai kota banyak berdiri sekolah musik dengan berbagai tingakat pendidikan, mulai dari tingkat menengah sampai ke perguruan tinngi. Pabrik alat-alat musik dibangun di berbagai negeri Islām. Sejarah telah mencatat bahwa pusat pabrik pembuatan alat-alat musik yang sangat terkenal ada di kota Sevilla (Andalusia atau Spanyol).

Catatan tentang kesenian umat Islām begitu banyak disebut orang. Para penemu dan pencipta alat musik Islām juga cukup banyak jumlahnya, yang muncul sejak pertengahan abad kedua hijrah, misalnya Yūnus al-Khatīb yang meninggal tahun 135 H, Khalīl bin Aḥmad (170 H.), Ibnu-n-Nadīm al-Maushillī (235 H.), Ḥunaian Ibnu Isḥāq (264 H.), dan lain-lain.

Pada masa itu cakrawala umat Islām juga diramaikan oleh biduan dan biduanita yang status umumnya adalah pelayan. Mereka ini bukan penyanyi bayaran yang disewa untuk setiap pertunjukannya. Merekalah yang bernyanyi untuk menghibur khalīfah dan para penguasa lainnya di istana dan rumah mereka masing-masing. Setiap pelayan menghibur tuannya sendiri-sendiri.

Seni tari berkembang luas pada masa Daulah ‘Abbāsiyah. Berkembangnya seni ini karena ketika itu perbudakan masih berlaku. Para budak wanita bernyanyi untuk menghibur para pejabat maupun rakyat. Tetapi biduanita-biduanita istana pada umumnya adalah dari kalangan sendiri. (Lihat: A. Hasjmi, SEJARAH KEBUDAYAAN ISLĀM, Cet. 2, hlm. 321, 326; Lihat juga Oemar Amin Hoesein KULTUR ISLĀM, hlm. 427-445).

Berkembangnya kesenian di seluruh negeri Islām tidak menyebabkan berkembangannya seni yang dicampuri oleh maksiat dan hal-hal yang dilarang syara‘ Kalau ada hal-hal tersebut maka biasanya khilafah Islām akan mengambil tindakan keras dengan menangkap pelakunya, sekaligus menutup tempat-tempat hiburan yang berselubung kemaksiatan. Tindakan seperti itu dilakukan melalui para ḥākim al-Ḥisbah. Bahkan khalīfah memerintahkan dan membiarkan qādhī (ḥākim) memusnahkan alat-alat musik apabila negara berpendapat bahwa memainkan alat-alat musik dan bernyanyi dengan diiringi musik adalah ḥarām (Lihat: Imām al-‘Āmidī, AL-AḤKĀM-US-SULTHĀNIYYAH, hlm. 294-296). Namun Qādhī al-Ḥisbah tidak akan bertindak langsung bila suara musik dan nyanyian tersebut muncul dari rumah-rumah penduduk. Ia hanya melarang tanpa mendobrak pintu rumah, apalagi sampai merusak bagian lainnya. (Lihat: Imām al-‘Āmidī, ibidem, hlm. 297).

Namun setelah khilafah Islām diruntuhkan oleh Barat (gabungan negara Eropa), mulailah muncul kembali tempat-tempat hiburan yang terbuka untuk umum. Kita lantas mengenal ada yang namanya klub malam, bar, diskotik, dan panggung-panggung terbuka. Muncul pula nyanyian cabul yang sesungguhnya tidak pantas dinyanyikan. Bahkan kita sudah amat mudah menemukan nyanyian yang disertai dengan acara joget, ajojing, dan dansa yang disertai dengan jeritan histeris. Penyanyi wanitanya pun telah banyak yang tidak punya rasa malu lagi. Mereka lebih suka memamerkan auratnya dengan mengenakan pakaian ketat, tipis dan mini.

Tentu saja semua keadaan itu bukan cermin kebudayaan Islām. Seni yang demikian bertentangan dengan ketentuan Islām. Ia tidak lebih dari jiplakan kebudayaan Barat. Secara pasti ia telah merusak jiwa pemuda Islām. Bahkan di hadapan kepala kita telah tampak nyata bukti kerusakan itu di seluruh negeri Islām.

Keadaan tersebut tentu saja menjadi kewajiban negara khilafah masa depan untuk mengatasi kerusakan yang terjadi di masyarakat pada setiap negeri Islām yang dikuasainya. Dengan kekuatan dan kekuasaannya, negara khilafah pasti mampu membersihkan bentuk seni musik, suara, dan tari dari noda-noda kebudayaan Barat. Khilafah akan dengan mudah melakukan berbagai tindakan dalam hal tersebut. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Melarang setiap nyanyian, rekaman dan tarian yang mengajak orang untuk minum arak, bergaul bebas, berpacaran, bermain cinta, atau bunuh diri karena putus cinta.
  2. Melarang setiap nyanyian dan tarian yang disertai dengan omongan kotor dan cabul yang mengarah kepada perbuatan-perbuatan dosa atau membangkitkan birahi seksual.
  3. Melarang setiap nyanyian dan tarian yang disertai dengan perbuatan-perbuatan harām, seperti minum khamr, percampuran antara lelaki dengan wanita.
  4. Lagu-lagu dan kaset-kaset Barat dilarang beredar dan para penyanyinya tidak diijinkan melakukan pertunjukkan (show) di negeri-negeri Islām.
  5. Setiap tempat pertunjukan untuk menyanyi dan menari, seperti klub malam, bar dan diskotik harus ditutup dan tidak diberi ijin membukanya oleh pemerintah. Begitu pula halnya dengan panggung-panggung terbuka.
  6. Para penyanyi wanita tidak diperbolehkan tampil di televisi, film, panggung-panggung umum atau di studio untuk menari atau merekam lagu kaset, video, film dan sebagainya. Untuk nyanyian, hanya di radio yang diperbolehkan.
  7. Tidak dilarang beredarnya kaset nyanyian wanita maupun pria asal berupa nyanyian yang mubāḥ dan tidak bertentangan dengan ‘aqīdah Islām.
  8. Hanya lagu-lagu atau rekaman yang mengandung nilai-nilai keislaman dan sesuai dengan ‘aqīdah dan akhlāq Islām yang boleh beredar di negeri-negeri Islām.
  9. Setiap keluarga diijinkan bernyanyi atau mendengarkan rekaman lagu dan menari dalam suasana gembira guna melahirkan perasaan riang dan menghibur hati pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada hari raya, pesta perkawinan, ‘aqīqahan, pulang kampungnya salah seorang anggota keluarga, pada waktu lahirnya seorang bayi, dan sebagainya, dengan syarat tidak melampaui batas-batas syara‘.
  10. Tidak dibolehkan memberi bayaran kepada penyanyi wanita. Tetapi bagi kaum lelaki boleh. Penyanyi wanita hanya boleh bernyanyi di rumah saja.
  11. Menarikan tarian hanya diperkenankan di tempat tertutup dan terbatas pada anggota keluarga serta kerabat yang muḥrim.

Demikian kira-kira yang akan dilakukan oleh khilafah Islām pada masa mendatang dengan berpedoman kepada keadaan kaum Muslimīn sekarang ini. Namun demikian, tindakan-tindakan di atas hendaklah merupakan sebuah keputusan pasti yang tidak bisa diubah-ubah lagi sebab khilafah diberikan wewenang untuk bertindak dan menentukan sikap dalam menentukan hukum dan peraturan berdasarkan ijtihādnya. Oleh karena itu, bisa jadi khilafah pada periode tertentu membolehkan orang bermain musik dan menyanyikan lagu. Pada periode berikutnya bahkan khilafah mengharāmkan semua jenis lagu dan alat musik, juga mengharamkan menggunakan alat-alat musik dan melagukan nyanyian tertentu yang menurutnya tidak sesuai dengan etika hukum Islām.

Perbedaan sikap seperti itu karena para fuqahā’ telah memperselisihkan masalah seni ini, Tidak ada kesepakatan pendapat di antara mereka. Namun apapun yang terjadi nanti dan selama masih bertolak dari pandangan hukum Islām, maka kaum Muslimīn wājib mentaati semua ketentuan yang ditetapkan oleh khalifah.

 

TAMMAT. WAL-ḤAMDULILLĀH.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *