Hukum Mendengarkan Nyanyian di Radio dan Radio Kaset – Seni Dalam Pandangan Islam

SENI DALAM PANDANGAN ISLĀM.
Seni Vocal, Musik dan Tari.

Oleh: ‘Abd-ur-Raḥmān Al-Baghdādī.
 
Penerbit: GEMA INSANI PRESS.

BAB IX.

HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN DI RADIO DAN RADIO KASET.

 

Bentuk nyanyian masa kini tidak berubah dari yang sudah pernah ada pada masa lampau, ratusan tahun silam. Yang berubah hanyalah suasana dan tempatnya sekarang. Kini nyanyian digelar di panggung-panggung terbuka, misalnya teater, gedung pertunjukan sandiwara, klub malam, panggung pertunjukkan, dan sebagainya. Pada abad ini orang-orang mulai mendengar nyanyian melalui radio, radio kaset, video, dan audiovisual lainnya. Sekarang hanya sedikit saja yang suka mendengar dan menyaksikan pertunjukan dan show langsung dari pemain panggung dan penyanyi laki-laki dan wanita. Orang-orang lebih memilih radio dan kaset rekaman, video, film, televisi, dan lain-lain.

Kemudian timbul pertanyaan, apakah jenis hiburan tersebut boleh didengar atau tidak? Jawabnya: Wallāhu a‘lam adalah demikian:

Nyanyian yang sajikan demikian status hukumnya sama saja dengan nyanyian-nyanyian lainnya. Tidak peduli apakah penyanyi dapat dilihat di arena pertunjukkan atau hanya suaranya saja yang terdengar. Apa yang kami paparkan sebelumnya kini lebih dipertegas lagi. Apabila nyanyian itu bercampur-baur dengan kata-kata atau perbuatan yang ditolak oleh Islām, maka pelaku dan jenis nyanyian itu arām. Selain itu, maka ia alāl dan boleh.

Lain halnya dengan mendengarkan nyanyian melalui radio, radiokaset, piring hitam, dan sejenisnya. Jenis nyanyian yang disajikan demikian mubāḥ dan tidak apa-apa. Tidak peduli apakah nyanyian itu bersifat merayu/menggoda, tak tahu malu, atau melampaui batas etika nyanyian di dalam Islām, misalnya menyebutkan kata-kata porno, jorok dan kotor. Tidak peduli apakah nyanyian itu disampaikan dengan cara memelas, dibumbui dengan sya‘ir jatuh cinta asmara, cerita tentang kecantikan perempuan yang disenangi, rasa rindu dan kasih sayang, dan seterusnya. Nyanyian yang sama sekali tidak mengandung hal-hal tersebut di atas hukumnya mubāḥ (boleh).

Untuk menjelaskan perihal tersebut, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan di sini, yaitu:

 

  1. ANTARA SUARA ASLI DENGAN REKAMAN.

Suara yang didengar itu adalah rekaman suara di kaset melalui radio dan audiovisual lainnya, bukan suara asli dan langsung dari penyanyinya (lelaki maupun wanita). Dari segi hukum syara‘, ada perbedaan antara fakta dengan imajinasi. Ada perbedaan antara bentuk asli dengan gambar, rekaman dan sejenisnya. Melihat aurat wanita di telivisi tidak sama hukumnya dengan melihat aurat wanita di hadapan mata kepala sendiri dalam bentuk aslinya. Ia tidak sama dengan bentuk imajinasi yang kita buat atau dibuat orang.

 

  1. SUARA DARI BENDA MATI (TIDAK BERNYAWA).

Lagu di radio dan kaset rekaman bukan suara milik seseorang yang memiliki nyawa. Bukan pula mukallaf agar mampu menerima seruan yang ma‘rūf dan dicegah melakukan yang mungkar jika ia menyeleweng dari Islām. Tetapi ia hanya merupakan suara yang keluar dari suatu alat atau benda yang tidak berakal. Alat tersebut juga bukan aurat. Dengan demikian, lagu atau nyanyian melalui televisi, film, video, atau bentuk audiovisual lainnya tentu saja bukan aurat dalam bentuk aslinya. Ia hanya gambar semata.

Sabda Rasūlullāh s.a.w. yang berkaitan dengan yang mungkar dan ia harus dicegah dengan tangan atau lisan, tidak bisa diterapkan di sini ketika kita mendengarkan lagu di radio, televisi, dan sebagainya. Terkadang kita mendengar suara lagu dari seorang penyanyi lelaki maupun wanita yang sudah lama meninggal dunia. Dari keadaan yang demikian, maka bagaimana mungkin kita bisa menyerukan kepadanya agar berbuat yang ma‘rūf (baik dan sesuai dengan ajaran Islām) serta mencegahnya melakukan yang mungkar (buruk menurut hukum Islām)?

Barangkali ada yang membantah hal tersebut dan mengatakan bahwa kita bisa melakukan amar ma‘rūf dan nahi mungkar dengan cara mengganti gelombang radio, canel televisi, atau memilih kaset yang sesuai dengan etika hukum Islām. Tetapi kita bisa balik bertanya, apakah dengan begitu selesai masalahnya?

Tentu masalahnya tidak sederhana dan segampang itu. Mengganti gelombang radio atau canel televisi tetap tidak dapat mengubah hal mungkar (sya‘ir porno, jorok dan kotor). Paling-paling yang bisa kita lakukan hanya sebatas menghindari diri agar kita tidak mendengar nyanyian dan kata-kata mungkar yang terdapat pada lagu tersebut. Ini sama halnya dengan seseorang yang menutup telinganya sementara ia tetap membiarkan penyanyi itu terus berdendang dengan kemungkarannya. Apakah dengan demikian, perbuatan yang demikian dapat diketegorikan sebagai perbuatan amar ma‘rūf nahi mungkar? Tentu tidak. Bahkan ia hanya berupa penolakan mendengarkan bagi dirinya sendiri, dan tidak lebih dari itu. Sedangkan kemungkaran itu tetap ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Lalu, untuk mengubah keadaan tersebut, bagaimana caranya?

Perubahan menyeluruh dan mendasar hanyalah melalui suatu kekuasaan dan kekuatan dari suatu negara yang menerapkan Islam secara totalitas. Syarī‘at Islām telah membebankan tugas mencegah kemungkaran dengan kekuatan fisik yang dimilikinya untuk membersihkan masyarakat dari noda-noda dosa dan kemaksiatan yang telah merajalela dan mendarah-daging di dalam tubuh umat.

Oleh karena itu dari keterangan di atas kita mengtahui bahwa mendengarkan nyanyian melalui radio, radiokaset, televisi, dan media audiovisual lainnya, hukumnya tetap mubāḥ. Dasarnya adalah dengan mengambil kaidah syara‘ yang berbunyi: (Lihat: Zain-ul-‘Ābidīn Ibrāhīm al-Misrī, AL-ASYBĀH WAN-NAZHĀ’IR, Jilid I, hlm. 97; Maḥmūd al-Ḥamzawī, AL-FAWĀ’ID-UL-BĀHIYAH FIL-QAWĀ’IDI WAl-FAWĀ’ID-IL-FIQHIYYAH, hlm. 284; Ibnu ‘Ābidīn, ḤĀSYIYAT-UR RADD-UL-MUKHTAR, Jilid I, hlm 71, Jilid III, hlm. 244, dan Jilid IV, hlm. 176):

(الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيلُ التَّحْرِيمِ)

Hukum asal segala sesuatu adalah mubāḥ (boleh dipakai dan dimanfaatkan), kecuali bila ada dalil yang meng-arām-kannya.”

Ḥadīts Rasūlullāh s.a.w. tentang kewajiban mencegah kemungkaran dengan tangan, lisan dan hati tidak dapat diterapkan di sini. Begitu juga dengan firman Allah s.w.t. tentang orang-orang zhalim, fasik, kafir, dan orang-orang yang mengucapkan atau melakukan kekufuran dan kemaksiatan:

(فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ) (الأنعَام: 68)

Maka, janganlah kamu duduk bersama dengan orang-orang zhalim itu sesudah (mereka) diberi peringatan.” (6:68).

Atau firmanNya:

(فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ (إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ) (النساء: 140)

Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka beralih kepada pembicaraan yang lain. (Karena sesungguhnya kalau kamu berbuat demikian, tentulah kamu serupa dengan mereka).…” (4:140).

Dua ayat tersebut di atas tidak bisa diterapkan terhadap si pendengar lagu melalui radio, radio kaset, televisi dan yang sejenisnya karena penyanyinya tidak bersama si pendengar. Pendengar tidak ikut serta bersamanya di tempat-tempat pertunjukan (langsung).

 

  1. BUKAN SUARA YANG BERHADAPAN LANGSUNG.

Mendengarkan nyanyian itu bukanlah mendengarkan suara penyanyi asli yang langsung dan berhadapan. Ia hanya berupa suara rekaman. Ia adalah bentuk mendengarkan yang tidak langsung. Dengan kata lain, suara itu bukan kepunyaan si penyannyi secara langsung berhadapan. Suara itu hanya milik dari suatu alat audio atau visual semisal televisi, radio, film, video, radiokaset, dan lain-lain. Karena kita tidak dapat menerapkan sabda Rasūlullāh s.a.w.: (Lihat: SHAḤĪḤ MUSLIM, Ḥadīts No. 2654; SUNAN ABŪ DĀWŪD, Ḥadīts No. 2154; dan MUSNAD IMĀM AḤMAD, Jilid II, hlm. 276, 317 dan 329):

(وَ الأُذُنُ تَزْنِي وَ زِنَاهَا الاِسْتِمَاعُ)

Telinga akan ikut berzina pula. Zinanya adalah mendengarkan (sesuatu yang telah di-arām-kan untuk mendengarkannya).” (HR. ABŪ DĀWŪD dan AḤMAD).

Sebab, tidak mungkin menimbulkan dampak (positif maupun negetif), sebagaimana penjelasan Rasūlullūh s.a.w. berikut ini:

(وَ الْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ)

Faraj (kemaluan) akan mengakui (apa yang didengarnya); atau menolaknya (sama sekali tidak terpengaruh).”

Bagaimana mungkin bisa terjadi pada seorang pendengar lagu di radio, televisi, video, radiokaset, dan jenisnya, kemudian ia bertindak langsung terhadap penyanyinya, misalnya dengan menodainya? Suatu hal yang mustahil untuk dilakukan!

Barangkali ada yang memberikan komentar sebagai bantahan. Bukankah bisa jadi nyanyian yang didengar melalui alat-alat audiovisual itu tetap saja mampu membangkitkan birahi dan naluri seksual?

Jika komentar itu dijadikan sebab untuk meng-ḥarām-kan nyanyian tersebut, maka bagaimana kalau ia tidak membangkitkan birahi? Apakah ia berarti mubāḥ (boleh didengar)? Lagi pula, siapa yang berhak menentukan sebab (‘illat) untuk mengharamkan sesuatu? Apakah ‘illat itu boleh dengan akal?

Sudah diketahui, ‘illat tidak boleh berdasarkan ‘aqliyyah (berdasarkan akal). Ia hanya semata-mata berdasarkan suatu dalil syar‘i sebab masalah ḥalāl dan ḥarāmnya sesuatu adalah masalah yang ḥaqq dan itu otoritas Allah s.w.t. semata. Dalam hal ini tidak terdapat adanya suatu ‘illat tentang ḥalāl dan ḥarāmnya nyanyian. Karenanya, nyanyian tidak bisa di-ḥarām-kan hanya karena alasan membangkitkan syahwat (nafsu birahi). Bahkan alasan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai tolok ukur dalam masalah “tarīm” (menentukan ḥarāmnya sesuatu). Cara tersebut bertolak dari pertimbangan akal, bukan syara‘. Selain itu, syara‘ tidak mengharamkan usaha individu manusia untuk membangkitkan syahwatnya karena usaha yang demikian tidak secara otomatis mendorongnya melakukan perzinaan, berpacaran, atau perbuatan ḥarām lainnya.

Ada alasan yang mengatakan bahwa mendengar lagu dapat mengalihkan perhatian seseorang dari dzikrullāh ketika mendengarkanya melalui alat-alat audiovisual. Alasan tersebut dapat disanggah. Setiap sesuatu yang mengalihkan perhatian orang dari dzikrullāh adalah bāthil, maka kita lantas bertanya, apa itu dzikrullāh? Apakah ia hanya ucapan dua kalimat syahadat atau melaksanakan ibadah dan perbuatan-perbuatan wājib? Bila yang dimaksud adalah mengucapkan dua kalimat syahadat atau mengucapkan “LĀ ILĀHA ILLALLĀH” secara berulang-ulang maka mendengarkan nyanyian dalam hal ini tidak sampai mengalihkan perhatian seorang dari dzikrullāh tadi.

Namun bila yang dimaksud adalah melakukan solat atau mengerjakan ibadah-ibadah lainnya dan melaksanakan hal-hal yang fardhu, maka harus dipertimbangkan apakah betul nyanyian dari alat-alat audiovisual itu dapat mengalihkan perhatian seseorang dari pelaksanaan fardhu dan kewajiban yang serupa lainnya. Jika “ya”, maka mendengar nyanyian atau musik seperti itu adalah ḥarām. Setiap sesuatu yang dapat menyibukkan seseorang sehingga menjauhkannya dari pelaksanaan ibadah-ibadah yang wājib atau fardhu, maka hukumnya ḥarām, tanpa melihat bagaimana bentuk kesibukannya. Tidak peduli apakah ia penting atau tidak. Tidak peduli apakah kesibukannya itu mencari nafkah yang wājib atau mubāḥ, atau sibuk menghibur diri sehingga lupa kepada kewajiban ibadah wājib tadi.

Jual-beli, misalnya, dapat menyibukkan seseorang dan mengalihkan perhatiannya, walaupun dari segi hukum asalnya adalah mubāḥ. Begitu pula pekerjaan kantoran atau pabrik juga dapat menyibukkan dan mengalihkan perhatian seseorang, walaupun hukum mencari nafkah bagi seorang fakir miskin atau mencari uang adalah fardhu. Tetapi semua kegiatan tersebut baik yang fardhu maupun mubāḥ, jika sampai melengahkan atau mengalihkan seseorang dari pelaksanaan solat atau setiap perbuatan yang wājib, maka perbuatan tersebut tidak boleh dikerjakan sampai kewajiban ibadah terlaksana.

Misalnya shalat Jum‘at. Allah s.w.t. telah melarang kaum Muslimīn berjual-beli pada waktu shalat Jum‘at setelah dikumandangkannya adzan yang kedua atau setelah khathīb naik mimbar, sebagaimana firmanNya:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلى ذِكْرِ اللهِ وَ ذَرُوا الْبَيْعَ…) (الجمعة: 9)

Hai orang-orang yang beriman, apabila ada panggilan (adzan) untuk mengerjakan solat pada hari Jum‘at, maka bersegeralah kamu mendatangi (masjid) untuk melakukan dzikrullāh (solat Jum‘at) dan tinggalkanlah jual-beli…..” (62:9).

Munculnya larangan jual-beli pada waktu mendengar adzan Jum‘at adalah karena kegiatan tersebut dapat menyibukkan orang dan mengalihkan perhatiannya dari melaksanakan solat Jum‘at. Tetapi di luar waktu itu, setiap sesuatu yang dapat menyibukkan seseorang sehingga shalatnya tertinggal adalah ḥarām apabila aktivitas itu dilakukan pada saat pelaksanaan yang fardhu. Dalam hal ini telah ditetapkan dan dibatasi waktu pelaksanaan shalat itu. Tetapi sesudah waktu shalat lewat dan fardhu sudah dilaksanakan, maka apa yang dilakukan sebelumnya, baik pekerjaan itu wājib maupun mubāḥ, ia boleh dilanjutkan kembali dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas.

Islām membolehkan kaum Muslimīn menghibur diri pada waktu-waktu tertentu. Juga dibolehkan menampakkan rasa gembira dengan berbagai cara, dalam hal ini termasuk aktivitas bernyanyi, memainkan alat musik, mendengarkan lagu, dan sebagainya. Kehidupan ini tidak semata-mata digolongkan dalam bentuk aktivitas ibadah secara terus-menerus. Kehidupan juga bukan hanya berusaha mencari rezeki dan bekerja dari pagi sampai malam setiap hari tanpa ada waktu sedikit pun untuk menghibur diri, beristirahat, dan menjalankan berbagai kewajiban lain. Sama halnya dengan menuntut ‘ilmu (belajar) dari pagi sampai sore di sekolah, kemudian dilanjutkan di rumah sampai tengah malam dan dilakukan rutin setiap hari. Karena itulah, Islām mengijinkan pemeluknya menghibur diri dengan berbagai cara, di samping juga beribadah, beramal, menuntut ‘ilmu, berjuang untuk Islām, berusaha mencari rezeki, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Tentang hal ini, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: (Lihat FATḤ-UL-KABĪR, Jilid III, hlm.297).

(وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ كُنْتُمْ تَكُونُونَ فِي بُيُوتِكُمْ عَلى الْحَالَةِ الَّتِي عَلَيْهَا عِنْدِي لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَ لأَظَلَّتْكُمْ بِأَجْنِحَتِهَا وَ لَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ: سَاعَةٌ وَ سَاعَةٌ)

Demi Allah yang jiwaku ada pada gengaman-Nya, jika kalian di rumahmu masing-masing berdzikir dan berada dalam keadaan yang sama seperti kamu berada di sisi-Ku, maka tentu para malaikat akan berjabatan tangan dengan kalian dan akan melindungi kalian dengan sayapnya. Tetapi, hai anzhalah (kehidupan ini) kadang-kadang begini dan begitu (Rasūlullāh s.a.w. mengulang-ulangi kata-kata tersebut sebanyak tiga kali)” (HR. IMĀM AḤMAD, TIRMIDZĪ, dan IBNU MĀJAH, dari Āanzhalah al-Asdī).

Maksud sabda Rasūlullāh s.a.w. di atas diterangkan pada bagian awal dari Ḥadīts tersebut, yaitu ucapan Ḥanzhalah:

(نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ (ص) يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَ الْجَنَّةِ حَتّى كَأَنَّا رَأَى عَيْنَ فَإِذَا خَرَجْنَا عِنْدَ رَسُولِ اللهِ (ص) عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَ الأَوْلاَدَ وَ الضَّيْعَاتِ فَنَسِينَا كَثِيرًا)

Jika kita berada di sisi Rasūlullāh s.a.w., beliau mengingatkan kita tentang jannah dan jahannam, sampai-sampai kita seakan-akan melihatnya. Tetapi apabila kita meninggalkan Rasūlullāh s.a.w., lantas kita sibuk denga istri, anak-anak dan usaha-usaha kita dalam mencari nafkah sampai kita banyak yang lupa diri.

Dalam riwayat lain disebutkan:

(ثُمَّ إِذَا عُدْتُ الْبَيْتَ ضَاحَكْتُ الصِّبْيَانَ وَ لاَعَبْتُ الْمَرْأَةَ)

Jika aku pulang ke rumah, aku tertawa bersama anak-anak dan bergurau dengan istri.

Sehubungan dengan perbuatan yang disebutkan oleh Ḥanzhalah tadi, di antara para sahabat ada yang melakukannya dan ada yang tidak. Tetapi Abū Bakar menganggap Ḥanzhalah telah berbuat nifāq, namun Rasūlullāh tidak menganggap demikian. Bahkan beliau menjelaskan bahwa kehidupan ini tidak bisa berjalan apabila tidak dinikmati, baik dengan cara bermain bersama anak-anak, istri, teman-teman, atau bekerja bersama anak-anak, istri, teman-teman, atau bekerja untuk menambah kekayaan, menghibur teman atau menghibur diri dengan berekreasi, termasuk di sini bernyanyi, mendengar musik, dan sebagainya.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

(رَوِّحُوا الْقُلُوبَ سَاعَةً وَ سَاعَةً)

Legakanlah hatimu sekali-kali.” (HR. ABŪ DĀWŪD dari Ibnu Syihak az-Zuhrī dengan sanad mursal dan asan).

Imām al-Manawī menjelaskan perihal Ḥadīts ini sebagai berikut (Lihat Imām Al-Manawī, FAIDH-UL-QADĪR, Jilid IV, hlm. 40-41):

Legakanlah hatimu sekali-kali dari kesibukan melaksanakan ibadah dengan cara mengerjakan suatu perbuatan mubāḥ yang tidak beresiko siksaan dan pahala (Allah s.w.t.).

Imām al-Manawī melanjutkan. Katanya, pernah dibacakan al-Qur’ān dan puisi di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Lalu Abū Bakar datang dan menolak perbuatan ini. Ia berkata: “Bagaimana bisa disatukan bacaan al-Qur’ān dengan puisi di hadapan Rasūlullāh!” Namun Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

(نَعَمْ سَاعَةٌ هذَا وَ سَاعَةٌ ذَاكَ)

Ya, bisa, Sekali-sekali untuk ini dan sekali-sekali untuk yang itu.”

Semua keterangan di atas menunjukkan bahwa kita boleh melegakan hati dan menghibur diri sesekali dengan musik, lagu atau bentuk kesibukan ringan lainnya, misalnya olahraga, berbagai perlombaan, dan sebagainya. Tetapi bila perbuatan mubah itu menyebabkan ibadah kita tertinggal dan hal-hal fardhu diabaikan, maka yang menjadi ḥarām bukanlah aktivitas menghibur diri dengan nyanyian dan musik. Jika kesibukan mubāḥ itu dianggap sesuatu yang penting dan mengalihkan perhatian kita dari kewajiban-kewajiban hidup yang wājib dilaksanakan maka haram hukumnya.

Terkadang pelaksanaan kewajiban seperti mencari nafkah yang wājib dapat mengalihkan perhatian seseorang dari pelaksanaan solat. Dalam hal ini yang ḥarām bukan menyibukkan diri dalam mencari nafkah tapi bila mencari nafkahnya dilakukan pada waktu shalat Jum‘at, atau terus-menerus bekerja dari pagi sampai larut malam sehingga tidak sempat menunaikan shalat. Begitu juga halnya dengan musik dan nyanyian mubāḥ yang didengar melalui radio, kaset dan sejenisnya. Juga nyanyian yang keluar dari senandang budak perempuan, dari istri, teman, saudara dan kerabat dekat lainnya. Nyanyian ini boleh didengar asalkan tidak sampai kelewat batas yang ditetapkan syara‘ sehingga sampai menyibukkan diri dan mengalihkan perhatian kita dari melaksanakan shalat serta kewajiban-kewajiban hidup lainnya. Jika demikian, maka hukumnya ḥarām. Keharamannya bukan karena nyanyian tetapi akibatnya yang melalaikan. Hanya itu! Kecuali, bila nyanyian itu disertai dengan hal-hal yang haram sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya.

Mendengarkan nyanyian yang mubāḥ, hukumnya mubāḥ sebab termasuk jenis hiburan yang mubāḥ pula. Statusnya sama dengan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan manusia, seperti naik kuda, berenang, memanah, duduk, berdiri, berjalan, bertamasya, dan sebagainya.

Semua orang boleh melakukanya. Oleh karena itu, jika kita ingin melakukan suatu kegiatan yang mubāḥ untuk menghibur diri maka sebenarnya kita melakukannya bukan untuk menyesatkan diri atau menjauhkan kita dari jalan Allah s.w.t., bahkan sebaliknya. Hal itu dilakukan hanya untuk menghilangkan kejenuhan dengan suatu macam hiburan yang mubāḥ, atau kita melakukannya untuk memperkuat diri agar mampu melaksanakan ibadah dan setiap ketaatan lainnya terhadap Allah s.w.t. Tidak mungkin (sedikit sekali) orang melakukannya untuk menjauhi diri dari ketaatan semacam itu.

Apabila hati kita telah merasa lelah, bosan, dan jemu, untuk mengatasinya maka Abū Dardā’ (salah seorang sahabat Rasūlullāh s.a.w.) berkata: “Aku suka melegakan hatiku dengan sebagian dari hal-hal yang tidak bermanfaat, yakni dengan bermacam-hiburan yang mubāḥ agar aku kembali bersemangat untuk mengerjakan yang ḥaqq (kewajiban hidup).”

Imām ‘Alī bin Abī Thālib juga berkata (Lihat Yūsuf Qardhawī, ḤALĀL DAN ḤARĀM DALAM ISLĀM, hlm. 283): “Sesungguhnya hati manusia bisa bosan dan lelah seperti layaknya badan manusia. Oleh karena itu, carilah berbagai kegiatan yang tepat untuknya (yang melegakan).

[Mungkin berasal dari ucapan ini:

(إِنَّ هذِهِ الْقُلُوْبَ تَمَلُّ كَمَا تَمَلُّ الأَبْدَانُ فَابْتَغُوْا لَهَا طَرَائِفَ الحِكَمِ) (نهج البلاغة.رقم: 91)

Hati ini menjadi muak ketika tubuh menjadi muak; maka carikan ucapan-ucapan bijaksana yang indah untuknya.” (Dari kitab PUNCAK KEFASIHAN, Oleh Penerbit Lantera, No.91, hlm. 753)

Pengaruh musik dan nyanyian memang berakibat baik terhadap manusia jika nyanyian itu diwarnai dengan nilai-nilai keislaman. Tentang hal ini, Prof. Sidi Gazalba berpendapat: “Musik dapat menimbulkan emosi gejolak di dalam bāthin pendengarnya. Merangsang mereka kepada gerakan-gerakan liar. Tetapi nada musik dapat pula menimbulkan ketenangan, kerukunan, damai, dan kenikmatan hati. Nada musik yang melahirkan kesan seperti itu selaras dengan kesan yang dikehendaki Islam.” (Lihat Prof. Madya Drs. Sidi Gazalba, ISLAM DAN KESENIAN, hlm. 195).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *