3. MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN.
Keinginan untuk menari sama dengan keinginan manusia untuk berjalan, bermain, dan seterusnya. Semua merupakan perbuatan yang biasa dilakukan secara alami (fitri) dalam rangka menghibur diri atau mencari kesenangan dan kebahagiaan. Syara‘ tidak meng-ḥarām-kan seseorang untuk menggerakkan badan, tangan, kaki, perut, dan sebagainya. Bahkan semua perbuatan itu akan muncul secara alami. Hukum asal untuk menari adalah mubāḥ selama dalīl-dalīl syara‘ tidak meng-ḥarām-kan tari-tarian tertentu, baik yang berirama maupun yang tidak diiringi musik.
Telah cukup banyak jenis tarian yang ada di tengah masyarakat saat ini. Ada tarian dari masyarakat primitif yang berbentuk tarian upacara ritual. Tarian ini tetap dilestarikan keberadaannya. Ada tarian modern (daerah) yang ditarikan oleh masyarakat setempat pada berbagai upacara perayaan atau ketika menyambut tamu luar negeri. Biasanya tari-tarian ini tidak terlepas dari iringan musik dan nyanyian khas serta ciptaan daerah tertentu.
Tarian rakyat itu akhirnya tidak terlepas dari promosi negeri tempat asalnya. Tujuannya adalah untuk menarik wisata mancanegara yang berkunjung ke negeri-negeri tertentu. Bahkan terkadang, tarian dari negara tertentu dapat kita temukan di negeri lain karena perwakilan konsulat bidang kebudayaan negara tersebut dengan sukacita menggelarkannya. Sekarang kita dapat mengenal adanya tarian Fandago dari Spanyol, Polka dari Bohemia, Czardas dari Hongaria, Jig dari Irlandia, atau Fling dari Skotlandia.
Di kepulauan-kepulauan sekitar Pasifik dan negeri-negeri Timur lainnya, terdapat tarian-tarian yang seluruhnya dilakukan dengan sikap duduk. Ada tari perut di Timur Tengah, yang biasanya dilakukan dengan penekanan gerak pada bagian perut, berputar atau menggelepar. Tarian ini adalah jenis tarian hiburan semata. Ada juga tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita.
Tarian Barat juga banyak macamnya. Ada tari Balet yang merupakan tarian drama tunggal yang diiringi musik. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sepasang manusia (lelaki-perempuan). Ini sama saja dengan dansa Agogo, cha-cha-cha, twist, dan disko. Semua tarian ini sudah lazim dilakukan oleh pasangan penari lelaki dan wanita. Lalu, bagaimana status hukum syara‘ terhadap tari-tarian yang telah disebutkan di atas? Di bawah ini akan dirinci pandangan syara‘ terhadap tarian sebagai berikut:
- Syara‘ melarang kaum Muslimīn menyerupai orang kafir dalam hal-hal yang menyangkut urusan agama. Dalam hal ini termasuk semua jenis tarian upacara keagamaan dan primitif.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat SHAḤĪḤ BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7319):
(لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ:يَا رَسُولَ اللهِ كَفَارِسَ وَ الرُّومَ؟ فَقَالَ: وَ مَنْ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ أُولئِكَ؟)
“Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku menerima (mengambil) apa-apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu (abad-abad silam) sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai ketika mereka masuk ke liang biawak, kalian pun mengikutinya.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasūlullāh, apakah yang (engkau) maksudkan di sini adalah (seperti) bangsa-bangsa Persia dan Romawi?” Rasūlullāh menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka.“ (HR. BUKHĀRĪ).
Dalam riwāyat lain disebutkan bahwa yang diakui oleh kaun Muslimīn adalah orang-orang Nashrānī dan Yahūdī. (Lihat SHAḤĪḤ BUKHĀRĪ, Ḥadīts No. 7320).
- Setiap tarian yang berpasangan lelaki wanita yang bercampur-baur dan diiringi dengan instrumen musik, maka ḥarām hukumnya, karena Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat: ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QADĪR, Ḥadīts No. 5824):
(الْغِيرَةُ مِنَ الإِيمَانِ وَ الْمِذَاءُ مِنَ النِّفَاقِ)
“Ghīrah (cemburu) itu adalah bagian dari īmān, sedangkan Mizā’ adalah bagian dari nifāq.” (HR AL-BAZZĀR, BAIHAQĪ, dari Abū Sa‘īd al-Khudrī).
Imām Ibnu ‘Atsīr menafsirkan Mizā’ dengan makna sebagai berikut:
- Lelaki yang membawa sejumlah pria ke rumahnya untuk mencampuri istrinya;
- Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari “AMDZAIT-UL-FARAS” yang artinya: “Aku telah melepaskan kudaku untuk merumput.”(Lihat: Ibn-ul-‘Atsīr, AN-NIHĀYAH, Jilid IV, hlm. 312-313).
Dalam kitāb MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, Imām al-Qazwīnī menukil pendapat Imām al-Ḥalīmī tentang arti Ḥadīts tersebut, yaitu: (Lihat: Imām al-Ḥalīmī, MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, hlm. 238). mengumpulkan lelaki-perempuan agar masing-masing pasangan mencampuri pasangan lainnya, atau membiarkan lelaki pergi bersama kaum wanita.
Berdasarkan keterangan di atas, maka bercampurnya kaum lelaki dengan wanita yang bukan muḥrim dalam bentuk apapun adalah ḥarām, baik mereka pergi bertamasya bersama-sama maupun barmain-main seperti layaknya suami-istri. Termasuk dalam hal ini adalah menari bersama dengan lelaki-perempuan dan mengikuti irama musik pop Barat, dangdut, disko, dan lain-lain. Menurut ketentuan syara‘, setiap sesuatu yang menghantarkan kepada perbuatan ḥarām maka ia ḥarām pula, sebagaimana kaidah syara‘ yang berbunyi:
(الْوَسِيلَةُ إِلى الْحَرَامِ حَرَامٌ)
“Sesuatu yang menghantarkan kepada yang ḥarām maka ia ḥarām pula (dikerjakan).”
Tari-tarian masa sekarang sering dilakukan bersama-sama lelaki-wanita. Bahkan acara tersebut tidak terlepas dari perbuatan-perbuatan ḥarām lainnya. Misalnya, berpegangan tangan, berangkulan, badan berdempetan, saling menggeserkan bagian-bagian tubuh tertentu, berangkulan dan berpelukan, dan perbuatan yang lebih jauh dari itu. Di samping itu, mereka juga menenggak minuman keras sampai teler. Tidak jarang acara sejenis itu menghantarkan mereka kepada perbuatan dosa besar, yaitu bersetubuh dengan pasangannya. Lantas kita mendengar banyak di antara remaja yang berbadan dua.
Ada dalīl lain yang meng-ḥarām-kan semua jenis tarian dari semua bangsa-bangsa, yaitu (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QADĪR, Ḥadīts No. 8593):
(مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ)
“Siapa saja yang menyerupai suatu kaum (dalam pola hidup dan adat istiadat), maka ia (telah) tergolong ke dalam golongan mereka.” (HR. ABŪ DĀWŪD, THABRĀNĪ, dari Ibnu ‘Umar, dan Ḥudzaifah bin al-Yaman).
Kata “menyerupai” di dalam Ḥadīts tersebut adalah bentuk seruan umum yang sama halnya dengan kata “suatu kaum”. Inilah adalah larangan menyerupai bangsa manapun dengan apa saja secara mutlak, baik dalam urusan ‘aqīdah, ‘ibādah, nikāḥ, adat kebiasaan, hidup bebas, dan sebagainya. Termasuk di sini hal-hal yang menyangkut masalah tari-tarian.
- Seorang wanita atau lelaki boleh bernyanyi dan menari di rumahnya sendiri untuk anggota keluarga atau kerabat yang muḥrim. Seorang istri boleh bernyanyi dan menari untuk suami atau sebaliknya, khususnya pada hari gembira, misalnya pesta pernikahan, lahirnya seorang bayi, hari raya, dan sebagainya.
- Bertolak dari umumnya nash-nash yang membolehkan menggerakan kaki, seperti :
(فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا) (الملك: 15)
“Berjalanlah di segala penjuru (bumi)….” (67:15).
atau:
(اُرْكُضْ بِرِجْلِكَ) (ص:42)
“Hentakkanlah kakimu….” (38:42).
atau Ḥadīts-Ḥadīts yang membolehkan seorang lelaki berjinjit, memainkan tombak dan perisai dan senjata tajam lainnya sambil menarikannya sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Maka, hukum asal menari adalah mubāḥ selama tidak melampaui batas-batas syara‘ yang telah disebutkan pada butir-butir sebelumnya. Walaupun demikian, tidak boleh kaum lelaki muḥrim atau suami menari dengan tarian yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita, misalnya tari perut dan sejenisnya. Sebaliknya, kaum wanita tidak boleh menarikan tarian lelaki, sebab Rasūlullāh s.a.w. melarang kaum lelaki menyerupai wanita atau sebaliknya:
(لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ وَ لاَ مَنْ تَشَبَّهَ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ)
“Tidak termasuk golonganku wanita yang menyerupai lelaki, dan lelaki yang menyerupai wanita.” (HR. IMĀM AḤMAD, dari Ibnu ‘Amru bin al-‘Āsh).