Pandangan Islam Terhadap Seni Tari – Seni Dalam Pandangan Islam (1/3)

SENI DALAM PANDANGAN ISLĀM.
Seni Vocal, Musik dan Tari.

Oleh: ‘Abd-ur-Raḥmān Al-Baghdādī.
 
Penerbit: GEMA INSANI PRESS.

Rangkaian Pos: Pandangan Islam Terhadap Seni Tari - Seni Dalam Pandangan Islam

BAB X.

PANDANGAN ISLĀM TERHADAP SENI TARI.

 

Seni tari dilakukan dengan menggerakkan tubuh secara berirama dan diiringi dengan musik. Gerakannya bisa dinikmati sendiri, merupakan ekspresi gagasan, emosi atau kisah. Pada tarian shūfī (darwish), gerakan dipakai untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri).

Sejak dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara kerajaan dan masyarakat maupun pribadi. Seni tari adalah akar tarian Barat populer masa kini. Bangsa-bangsa primitif percaya pada daya magis dari tari. Dari tarian ini dikenal tari Kesuburan dan Hujan, tari Eksorsisme, dan Kebangkitan, tari Perburuan dan Perang. Tarian Asia Timur hampir seluruhnya bersifat keagamaan, walaupun ada yang bersifat sosial. Selain itu ada tarian rakyat yang komunal (folk dance). Tarian ini dijadikan lambang kekuatan kerjasama kelompok dan perwujūdan saling menghormati, sesuai dengan tradisi masyarakat.

Tarian tradisional seringkali mendapat sentuhan penata tari yang kemudian menjadi tarian kreasi baru. Kita lantas mengenal adanya seni tari modern yang umumnya digali dari tarian traditional. Tarian ini lebih mengutamakan keindahan, irama gerak dan memfokuskan pada hiburan.

Seni sekarang berbeda halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya. Orang mengenal ada tari balet, tapdans, ketoprak atau sendratari Gaya tarian abad XX berkembang dengan irama-irama musik pop singkopik, misalnya dansa cha-cha-cha, togo, soul, twist, dan terakhir adalah disko dan breakdance. Kedua tarian ini gerakannya menggila dan digandrungi anak muda.

1. SENI TARI DALAM LINTASAN SEJARAH ISLĀM.

Dalam sejarah Islām terdapat perbedaan pendapat antara yang pro dengan yang kontra tentang seni tari. Seni tari pada permulaan Islām berbentuk sederhana dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar jazīrah ‘Arab, seperti orang-orang Sudan, Ethiopia, dan lain-lain. Menari biasa dilakukan pada hari-hari gembira, seperti hari raya dan hari-hari gembira lainnya.

Salah satu contoh tentang hal ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dari ‘Anas r.a. yang berkata (Lihat SUNAN ABŪ DĀWŪD, Jilid IV, hlm. 281):

(لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ (ص) الْمَدِينَةَ لَعِبَتِ الْحَبْشَةُ فَرْحًا بِذلِكَ لَعِبُوا بِحِرَابِهِمْ)

Tatkala Rasūlullāh datang ke Madīnah, orang-orang absyah (Ethiopia sekarang) menari dengan gembira menyambut kedatangan beliau sambil memainkan senjata mereka.

Imām Aḥmad dan Ibnu Ḥibbān juga meriwayatkan dengan sanad yang shaḥīḥ dari Anas r.a. Beliau berkata (Lihat MUSNAD IMĀM AḤMAD, Jilid III, hlm. 152; lihat juga al-Qastallanī, IRSYĀD-US-SARĪ, SYARḤ-SHAḤĪḤ BUKHĀRĪ, Jilid II, hlm. 204-205):

(كَانَتِ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُونَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ (ص) وَ يَرْقُصُونَ وَ يَقُولُونَ: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ)

Orang-orang absyah (pada hari raya ‘Īd-ul-Adhā) menari (dengan memainkan senjata mereka) di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Banyak anak-anak berkumpul di sekitarnya karena ingin menonton tarian mereka. Orang-orang absyah bernyanyi (dengan syair): “MUAMMAD ADALAH HAMBA YANG SHĀLI.…” (secara berulang-ulang).

Sesudah jaman Rasūlullāh s.a.w., khususnya di jaman Daulah ‘Abbāsiyyah, seni tari berkembang dengan pesat. Kehidupan mewah yang dicapai kaum Muslimīn pada waktu itu telah mengantarkan mereka ke dalam suatu dunia hiburan yang seakan-akan telah menjadi keharusan dalam masyarakat yang ma‘mūr (Hukum mendengarkan alunan lagu adalah mubāḥ, tetapi ketika itu orang-orang telah melakukannya). Namun banyak ‘ulamā’ yang tidak setuju dengan tarian semacam itu, tercatat di antaranya ialah Imām Syaikh-ul-Islām, Aḥmad Ibnu Taimiyah (wafat tahun 1328 M). Beliau menentang keras seni tari dalam kitabnya yang berjudul Risālah fī Simāi war-Raqs was-Surākh (Risālah tentang Mendengar Musik, Tarian-Tarian dan Nyanyian). Namun ada juga kalangan ‘ulamā’ yang membolehkan seni tari selama tidak melanggar norma-norma Islām. Yang berpendapat begini di antaranya Ibrāhīm Muḥammad al-Ḥalabī (wafat tahun 1545 M.). Beliau mengarang kitāb yang berjudul Ar-Rahs Wal-Waqs Limustaill-ir-Raqs (Benteng yang Kokoh bagi Orang yang Membolehkan Tari-Tarian).

Pengarang kitāb ‘ilmu seni tari yang pertama di dalam Islām adalah al-Farābī (wafat tahun 950 M.), yang mengarang kitāb AR-RAQSU WAZ-ZAFNU (Kitāb tentang Tari dan Gerak Kaki) (Lihat: Prof. A. Hasjmy, Ibidem, hlm. 326). Pengaruh kitāb ini masih dapat kita ketahui, Riau adalah pusat kerajaan Melayu dan pernah memperoleh masa kejayaannya di sana. Berbagai guru serta pelatih tari dan nyanyian dipelihara sultan di istana. Begitu juga dengan perkembangan sya‘ir. Bentuk seni inipun berkembang dengan baik dan mendapatkan perhatian sultan. Tari Zapin sampai sekarang masih hidup subur di kepulauan Riau (Melayu). Bahkan banyak tradisi yang sekarang berkembang di nusantara adalah hasil perkembangan tari rakyat Riau yang diperagakan mulai dari lingkup istana sampai kedai-kedai kopi. Serampang dua belas, misalnya, adalah tarian populer peninggalan karya tersebut. Kata-kata pengiring tarian ini masih menggunakan bahasa ‘Arab yang bercampur dengan bahasa Melayu (Lihat: Dr. Oemar A. Hoesin, KULTUR ISLĀM, hlm. 466-467).

Dahulu, pada jaman khilafah ‘Abbāsiyah, seni tari telah mendapatkan tempat yang istimewa di tengah masyarakat, baik di kalangan istana, gedung-gedung khusus (rumah pejabat dan hartawan), maupun di tempat-tempat hiburan lainnya (taman ria dan sebagainya). Pada akhir masa khilafah ‘Abbāsiyah, kesenian tari mulai mundur ketika tentara bangsa Mongol menguasai pusat peradaban Islām di Baghdād. Semua hasil karya seni dirusak oleh tentara keji itu karena memang bangsa ini tidak menyukai tarian. Kemudian pada masa khilafah ‘Utsmāniah berikutnya, seni tari berkembang lebih pesat lagi, khususnya tarian shūfī yang biasa dilakukan oleh kaum pria saja. Sedangkan penari wanita menarikan tarian di istana dan rumah-rumah para pejabat. Mereka ini adalah penari “berkaliber tinggi”.

Namun perlu diperhatikan di sini, dalam sejarah umat Islām yang panjang, tari-tarian itu tidak pernah dilakukan di tempat-tempat terbuka yang penontonnya bercampur-baur antara lelaki dengan wanita. Ini berbeda halnya dengan nyanyian. Pada masa pemerintahan khilafah ‘Abbāsiyah, para penyanyi diijinkan menyanyi sambil menari di jalanan atau di atas jembatan serta di tempat-tempat umum lainnya. Rumah-rumah les privat menyanyi dan menari dibuka untuk umum, baik di rumah-rumah orang kaya maupun miskin. (Lihat: Abū-l-Farāj al-Ishfahānī, AL-AGHĀNĪ, Jilid XVIII, hlm. 128, dan Jilid XIII, hlm. 127). Tetapi tidak pernah dilakukan di tempat-tempat khusus, seperti yang dilakukan sekarang ini (khususnya anak-anak muda), misalnya di night club, panggung pertunjukan, dan sebagainya.

Perlu diingat, tari-tarian pada masa lalu hanya dilakukan oleh wanita-wanita budak saja yang bekerja di istana, di rumah para pejabat, atau di rumah-rumah rakyat biasa. Namun ada juga penari dari kalangan pria, misalnya Ibrāhīm al-Maushilī (wafat 235 H.), dan sekelompok penari kawakan yang tercatat di dalam kitāb al-Aghānī. (Lihat: Abū-l-Farāj al-Ishfahānī, ibidem, Jilid V (Riwayat hidup Ibrāhīm Al-Maushilī)).

Sebagaimana kami sebutkan di atas, tari-tarian di masa permulaan Islām tidak pernah dilakukan dalam keadaan kaum lelaki menari bercampur dengan kaum wanita, kecuali sesudah kebudayaan Barat mulai mewarnai dan mempengaruhi kebudayaan Islām. Sesudah itu baru muncul kebiasaan menari dengan mengikuti para penari Barat dengan gaya merangsang syahwat dan membangkitkan birahi, seperti tari balet, dansa, joget, dangdut, atau tarian yang menimbulkan histeria seperti disko dan break dance.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *