2-9-2 Menyentuh Mayat – Fiqih Lima Madzhab

FIQIH LIMA MADZHAB
(Ja‘farī, Ḥanafī, Mālikī, Syāfi‘ī, Ḥanbalī)
(Judul Asli: Al-Fiqhu ‘Alal-Madzāhib-il-Khamsah)
Oleh: Muhammad Jawad Mughniyah.

Penerjemah: Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus al-Kaff.
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA

Rangkaian Pos: 002-9 Menyentuh Mayat | Fiqih Lima Madzhab

2. MAYAT

BAB 9

MENYENTUH MAYAT

(Bagian 2)

 

Cara Memandikan.

Imāmiyyah: Mayat itu wajib dimandikan tiga kali. Pertama, airnya sedikit dan dicampur dengan daun bidara. Kedua, airnya dicampur kapur. Dan Ketiga, dimandikan dengan air bersih. Dan orang yang memandikan wajib memulai dalam memandikannya dari kepala, kemudian tubuh bagian kanan, lalu ke tubuh bagian kiri. Empat madzhab: Yang diwajibkan itu hanya dimandikan dengan air berish satu kali. Sedangkan kedua kalinya itu adalah disunnahkan. Dan tidak ada persyaratan tentang cara-cara memandikannya, sebagaimana mandi junub. Mereka (empat madzhab) tidak mewajibkan dengan bidara dan kapur, hanya disunnahkan untuk mencampuri airnya itu dengan kapur dan sejenisnya yang harum.

Disyaratkan tentang sahnya memandikan itu adalah: Niat, airnya adalah air mutlak, suci, menghilangkan najis yang di badan mayat, dan tidak ada sesuatu yang dapat mencegah sampainya air ke tubuh mayat secara langsung.

Imāmiyyah: Dimakruhkan memandikan mayat dengan air yang panas. Ḥanafī: Dengan air panas itu adalah lebih utama. Ḥanbalī, Mālikī dan Syāfi‘ī. Dengan air dingin adalah disunnahkan.

Semua ulama madzhab sepakat bahwa orang yang ihram dalam haji tidak perlu diberi kapur dalam air mandinya, sebagaimana mereka juga sepakat bahwa menjauhkannya dari bentuk harum-haruman.

Kalau tidak dapat dimandikan karena ada ‘udzur yang disebabkan karena tidak ada air, terbakar, sakit yang sekiranya kalau dimandikan dagingnya (kulitnya) akan rusak, maka boleh ditayammumkan sebagai pengganti mandi, menurut kesepakatan semua ulama madzhab. Sedangkan cara-cara mentanyamumkannya persis seperti orang hidup bertayammum. Keterangan lebih rinci akan dijelaskan nanti dalam bab tayammum.

Sekelompok ahli fiqih Imāmiyyah berpendapat: Wajib ditayammumkan tiga kali. Pertama, sebagai pengganti dari air mandi dengan air bidara. Kedua, sebagai pengganti dari mandi dengan air kapur. Ketiga, sebagai pengganti dari mandi dengan air bersih. Sedangkan menurut sebagian dari mereka yang termasuk para peneliti (Imāmiyyah). Cukup tayammum satu kali.

 

Hanut

Hanut ialah mengusap tempat-tempat sujud mayat yang tujuh dengan kapur setelah dimandikan. Tempat-tempat sujud itu adalah dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung ibu jari kaki. Imāmiyyah: Mewajibkan hanut ini, sedangkan madzhab-madzhab yang lain tidak mewajibkannya. Mereka (Imāmiyyah) tidak membedakan antara yang tua, muda, sampai yang bayi karena miskram (keguguran), juga tidak membedakan antara wanita maupun lelaki, kecuali bagi orang yang ihram untuk haji. Mereka menambahkan hidung dari tujuh tempat sujud tersebut, namun ini hanya sunnah.

 

Mengafani

Mengafani mayat itu adalah wajib, menurut semua ulama madzhab.

Empat madzhab: Yang diwajibkan dalam mengafani itu hanya dengan sehelai kain yang dapat menutupi semua mayat. Sedang menggunakan tiga helai kain adalah sunnah.

Imāmiyyah: Tiga potong kain itu adalah wajib, bukan sunnah.

Pertama: Kain lepas yang dapat menutupi dasar pusar sampai lutut.

Kedua: Baju yang dapat menutupi dua bahunya sampai separuh betisnya.

Ketiga: Sarung yang dapat menutupi semua badannya.

Syarat dalam mengafani seperti syarat pakaian penutup yang diwajibkan dalam shalat, baik dari kesuciannya, boleh dan tidak bolehnya, seperti dari sutra, atau dari kulit binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, atau emas bagi lelaki dan wanita, dan lain-lainnya, seperti yang akan dijelaskan nanti secara lebih rinci.

Untuk kafan seorang istri dibebankan pada suaminya kalau ia hidup cukup (senang), menurut Imāmiyyah, Syāfi‘ī, dan Ḥanafī.

Māliki dan Ḥanbalī: Tidak diwajibkan bagi suami untuk mengafani istrinya walau istrinya itu fakir.

Ukuran kafan yang wajib dan yang lainnya yang berhubungan dengan mayat harus diambil dari harta warisannya selain istri dan harus didahulukan dari hutang, wasiat, dan pembagian harta warisannya selain dari harta yang berhubungan dengan hak gadai.

 

Matinya Orang Fakir

Empat madzhab dan sekelompok dari Imāmiyyah: Kalau yang meninggal itu tidak meninggalkan harta untuk dibelikan kain kafan, maka ia harus dikafani oleh orang yang memberikan nafkahnya ketika ia hidup. Kalau tidak ada orang yang menanggungnya, atau orang yang menanggungnya juga fakir, maka bait-ul-māl (kas negara) yang bertanggung-jawab untuk membelikan kain kafannya, atau diambil dari zakat kalau mungkin (bisa), jika tidak, maka semua orang Islam yang mampu, bertanggung-jawab untuk biaya kafannya.

Sekelompok yang lain dari Imāmiyyah: Orang yang meninggal tanpa meninggalkan harta dan tidak pula orang yang menanggungnya, maka ia ada seorang pun yang wajib untuk mengeluarkan hartanya untuk mengkafaninya, karena yang wajib itu adalah mengurusnya, bukan untuk mengeluarkan hartanya. Maka kalau ia mengeluarkan hartanya untuk membelikan kain kafan adalah disunnahkan, karena ia termasuk perbuatan iḥsān. Kalau tidak ada orang yang berbuat iḥsān (kebaikan) untuk memberi, maka mayat itu dipendam dalam keadaan telanjang.

 

Menshalatkan Orang Yang Mati Syahid

Semua ulama madzhab sepakat bahwa shalat itu wajib bagi semua kaum muslimin juga pada anak-anak mereka, tanpa membedakan madzhab dan sekte mereka. Dan shalat itu tidak sah kecuali setelah dimandikan dan dikafani. Orang yang mati syahid tidak wajib dimandikan dan dikafani, hanya ia wajib dikafani dengan baju yang dipakainya.

Syāfi‘ī: Memberikan pilihan; apakah ia dipendam dengan bajunya yang dipakainya atau digantinya dengan baju yang lain, keduanya sama-sama boleh.

Mereka (ulama madzhab) berbeda pendapat tentang menshalati orang yang mati syahid.

Syāfi‘ī, Mālikī dan Ḥanbalī: Tidak wajib dishalatinya. Imāmiyyah dan Ḥanafī: Wajib dishalati sebagaimana mayat-mayat yang lain.

 

Menshalatkan Mayat Anak Kecil.

Ulama madzhab berbeda pendapat tentang shalat atas mayat anak kecil.

Syāfi‘ī, dan Mālikī: Dishalatinya kalau menangis atau mengeluarkan suara ketika ia lahir. Maksudnya hukum shalat bagi mayat anak kecil sama dengan hukum warisan. Ḥanbalī dan Ḥanafī: Dishalati kalau sudah empat bulan dalam kandungan ibunya.

 

Imāmiyyah: Tidak wajib dishalati bagi mayat anak-anak kecil kaum muslimin kecuali setelah sampai enam tahun, dan bila tidak sampai enam tahun, hanya disunnahkan untuk dishalatinya.

 

Menshalatkan Orang Meninggal yang Ghaib.

Imāmiyyah, Mālikī dan Ḥanafī: Tidak boleh menshalati mayat yang ghaib atau tidak ada ketika dishalati. Pendapat ini berpijak kepada kenyataan yang ada pada sejarah Nabi, di mana bila Nabi Muḥammad s.a.w. dan para sahabatnya mengerjakan pasti hal tersebut diketahui dan tersebar.

Ḥanbalī dan Syāfi‘ī: Boleh shalat ghaib, berdasarkan hadits bahwa Rasūlullāh s.a.w. shalat pada Najasyi, ketika ada berita duka sampai kepada beliau. Pendapat ini ditolak bahwa perbuatan Rasūlullāh s.a.w. ini merupakan perbuatan khusus bagi Rasūlullāh s.a.w, atau perbuatan Rasūlullāh s.a.w. itu hanya khusus bagi Najasyi. Dari itu, beliau tidak pernah mengulanginya lagi terhadap kematian para sahabat sekalipun beliau mengetahuinya dan mereka jauh dari beliau.

 

Para Wali

Imāmiyyah: Semua kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan mengurusi mayat, sah atau tidaknya tergantung pada izin wali tanpa ada bedanya, baik memandikan, mengkafani, tahnit dan shalat jenazah. Dan barang siapa yang melakukan sesuatu dari perbuatan tersebut tanpa izin wali dengan cara apapun, maka perbuatan tersebut adalah batal, dan wajib diulangi. Wali boleh melakukan sendiri atau ia mengizinkan orang lain untuk mengerjakannya. Kalau ia tidak bisa melakukannya sendiri, dan tidak memberikan izin, maka gugurlah izin tersebut.

Dan suami menurut Imāmiyyah adalah pendahulu (ujung tombak) yang harus didahulukan dalam kewalian bagi semua kerabat (famili) istrinya. Urutan pertama: Para bapak (ayah) dan anak lelaki. Urutan kedua, yaitu saudara-saudara lelaki dan kakek-kakek. Urutan ketiga adalah para paman (saudara ayah dan para paman dari saudara ibu). Ayah lebih utama dari semua urutan yang pertama. Kakek adalah lebih utama dari saudara-saudara pada urutan kedua. Bila tidak ada lelaki dalam urutan tersebut, maka kewalian ada pada wanita. Bila banyak saudara lelaki, juga banyak paman dari ayah dan dari ibu, maka dalam mengurusinya (mayat) tergantung pada izin semuanya.

Empat madzhab: Tidak menjelaskan adanya wali, baik secara positif maupun negatif dalam membahas tentang memandikannya, mengkafaninya. Ini menunjukkan bahwa dalam mengurusi masalah tersebut tidak perlu izin pada mereka. Mereka (empat madzhab) hanya membicarakan tentang yang lebih utama dan lebih berhak dalam menshalati mayat.

Ḥanafī: Orang-orang yang lebih utama dalam menshalati mayat mengikuti urutan seperti berikut: Sultan (penguasa, pemerintah, raja), kemudian wakilnya, kemudian hakim, kemudian ketua tentara. Kemudian Imam yang hidup dan lebih ia utama dari wali mayat, kemudian wali mayat, kemudian mengikuti urutan ‘ashabah dalam nikah.

Syāfi‘ī: Dilakukan oleh bapak si mayat, kemudian saudara kandungnya – Maksudnya saudara dari bapak dan dari ibu kemudian saudara kandung si mayat saja, dan seterusnya mengikut urutan pembagian ahli waris.

Mālikī: Yang paling berhak adalah orang yang diwasiatkan mayat untuk menshalatinya untuk mendapatkan barakah karena kesalehannya, kemudian khalifah, kemudian anak lelaki, bapak, saudara, keponakan lelaki, kakek, dan paman dan seterusnya.

Ḥanbalī: Yang lebih utama adalah orang yang diwasiatkan yang adil, kemudian sultan, wakilnya, ayah dan anak lelaki, kemudian famili terdekat, sedangkan famili terdekat itu berdasarkan urutan pembagian ahli waris (al-Fiqhu ‘alal-Madzāhib-il-Arba‘ah, dalam bab al-Aḥaqqu bi Shalāti ‘alal-Mayyit).

 

Kabur (Syubhat) Antara Muslim dan Non Muslim

Kalau didapatkan mayat dan tidak diketahui apakah ia Muslim atau bukan, maka kalau ia berada di daerah Muslim ia tetap dihukumi seperti orang Islam. Bila tidak, maka bagi orang yang melihatnya tidak wajib melakukan sesuatu baginya, karena ragu pada dasar taklīf itu (tuntutan syara‘).

Kalau mayat orang-orang Islam bercampur-baur dengan non-Muslim dan tidak bisa dibedakannya:

Maka Ḥanbalī, Imāmiyyah, dan Syāfi‘ī: Hendaknya dishalati satu persatu dengan niat hanya akan menshalati yang Islam saja. Ḥanafī: Diambil mayoritas. Kalau kebanyakan yang meninggal itu orang-orang Islam, hendaknya dishalati. Tapi bila tidak, maka tidak usah dishalati.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *