Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah (2/3)

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

Rangkaian Pos: Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah

وَ إِذَا الْمَوْؤُوْدَةُ سُئِلَتْ

  1. Dan tatkala gadis kecil yang dikubur hidup-hidup ditanya,

بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

  1. Karena dosa apakah ia dibunuh.

Orang ‘Arab pada zaman Nabi begitu arogan dan bangga akan kegagahan lahiriahnya sehingga lahirnya seorang anak perempuan selalu tidak disukai. Mereka lupa bahwa laki-laki sendiri berasal dari perempuan! Mereka kuatir kaum perempuan akan mencemarkan mereka karena dosanya. Ketika menoleh ke belakang pada kebudayaan itu, kita melihat bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang hal terburuk yang kita derita: ketakutan akan hal yang tak dikenal. Segala sesuatu yang menguras energi kita adalah ketakutan terhadap hal yang tak dikenal. Segala kecemasan kita tertumpu pada hal yang satu itu. Jika kita bisa sungguh-sungguh mengatakan tawakkaltu ‘alallāh (Aku bertawakal kepada Allah), dan kemudian menerima kondisi kita sebagai hamba Tuhan, maka segala kecemasan kita akan lenyap.

Maw’ūdah adalah gadis muda atau bayi perempuan yang telah dikubur hidup-hidup. Wa’ada artinya ‘mengubur gadis kecil hidup-hidup’. Dalam bahasa ‘Arab kuno wa’ada juga berarti ‘memancarkan suara dinding yang ambruk’. Suara dinding yang runtuh menunjukkan bahwa pembunuhan seorang bayi merupakan kejahatan yang sangat sadis. Ini menunjukkan bahwa dunia sedang menjelang akhir: kehidupan diakhiri tanpa dibolehkan untuk memenuhi hak takdirnya. Dengan kata lain, di akhir zaman, sifat sebenarnya dari segala sesuatu akan diungkapkan. Roh tidak lagi menggunakan hak duniawinya untuk memancarkan cahaya spiritual. Roh, yang memancarkan cahaya batin, dipadamkan oleh kejahatan manusia, oleh ketakutannya, pengingkarannya terhadap Tuhan (kufr), tidak percaya kepada Allah dan kemurahan-Nya. Kini roh sedang ditanya, dan bertanya kepada dirinya sendiri, tentang kejahatan apa yang telah dilakukannya. Dengan melakukan demikian, roh mengumumkan bahwa ia tidak melakukan kejahatan, bahwa tidak ada alasan untuk memadamkan dirinya. Kekufuran manusialah yang menyebabkan kehidupannya terputus. Gadis kecil yang dikubur yang mempertanyakan alasan atas kematiannya adalah sebuah mitsāl (kiasan) tentang tidak ada kemungkinan dalam kehidupan ini atau yang akan datang untuk menindas sesuatu dan melupakannya selamanya. Kita tidak dapat mendiamkan sesuatu hanya karena ia tidak bisa bereaksi dalam dunia ini. Segala sesuatu segera akan terbuka sepenuhnya, dan roh akan dijadikan sebagai saksi.

Dari sudut pandang syariat, orang Arab tidak berhak membunuhi keturunan mereka. Menurut tradisi, dalam kultur kesukuan gurun pasir, seorang bayi perempuan dianggap sebagai suatu kekurangan karena ia tidak bisa menjadi pejuang dan hanya merupakan mulut lain yang harus diberi makan. Laki-laki bertanggung jawab atas segala tindakannya; ia tidak dapat melepaskan diri. Jika ia membunuh seseorang secara salah, maka tamatlah, tak peduli apa pun tujuan perbuatannya itu, karena ia telah membunuh simbol penciptaan secara keseluruhan.

Secara lahiriah, kita bertangguh jawab kepada syariat, dan di alam kehidupan ini, hukum lahir (syariat) berpengaruh terhadap realitas (hakikat) batin. Yang dilihat oleh sejumlah orang atau yang merupakan konsensus masyarakat—asalkan mereka tidak secara bersama-sama berhalusinasi—adalah yang dianggap sebagai benar.

Jika setiap orang menyepakati identitas si pembunuh, maka keputusan itu dianggap sah. Adapun menurut syariat, keputusan (hukum) itu menentukan perbuatan, dan perbuatan tersebut harus dianggap pembunuhan. Selanjutnya adalah urusan antara si pembunuh dengan Allah. Jika ia membunuh seseorang seperseratus persen di jalan Allah (fī sabīlillāh), maka sekalipun orang-orang akan menghukum dengan membunuhnya, ia akan senang. Ia akan mengatakan, “Semakin cepat aku membebaskan diri dari kaum ini dan bertemu dengan Tuhanku, semakin baik!”

Pada kehidupan yang akan datang, hakikat batin akan mempengaruhi hukum lahir (syariat); yang halus akan mempengaruhi yang kasar. Dalam kehidupan ini, seperti kita lihat, yang kasar mempengaruhi yang halus, dan kita mulai dengan yang kasar dalam rangka mencapai yang halus. Kita memulai dengan benar, dengan menerapkan hukum lahir, dengan memberi makan dan merawat diri kita secara baik. Jika kita tidak melakukannya, maka kita gila. Jika kita mengatakan bahwa kita tidak peduli dengan dunia, itu hanyalah upaya kita untuk lari dari tanggung jawab. Pada awal perjalanan kita sungguh-sungguh peduli. Kita ingin memiliki pakaian yang pantas dan makanan yang layak. Ini adalah sikap yang positif. Jika dari sejak awal kita tidak peduli dengan kebutuhan fisik, kita menunjukkan bahwa kita tidak dapat memenuhinya, bahwa kita tidak memahaminya, atau bahwa kita tidak melihat kegunaannya. Dengan bersikap seperti ini, kita sedang menolak ciptaan Allah. Oleh karena itu, bagaimana kita dapat memahami makna penolakan Realitas batin, atau menutupi Realitas (kufur) jika kita berada dalam keadaan kufur lahiriah dari sejak awal?

وَ إِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ

  1. Dan tatkala catatan-catatan dibuka,

Shuḥuf adalah jamak dari shaḥīfah, yang berarti ‘gulungan catatan, halaman’, sesuatu yang dapat dibuat rata dan di atasnya dituliskan sesuatu. Juga berarti ‘surat kabar’, karena keadaannya rata. Mushḥaf artinya salinan al-Qur’an. Halaman-halaman ini menunjuk kepada halaman kabar atau pada halaman hati manusia yang di dalamnya tertulis segala niat manusia.

Tidak ada tempat untuk menyembunyikan niat-niat kita. Semakin kita menyembunyikan, akhirnya kita semakin dituntut untuk menghilangkannya agar dapat mernbebaskan diri kita. Itulah sebabnya mengapa ada yang lari ke hal-hal seperti minuman keras, obat-obat terlarang, dan berbagai obat perangsang lainnya untuk melegakan diri. Alam manusia berkenaan dengan kelegaan; karena itu, kehidupan tak lain adalah mencari kebebasan dari berbagai belenggu beban diri.

Atribut pokok manusia adalah kebebasan batin. Kebebasan batin dapat dicapai melalui disiplin lahir, tapi disiplin lahir ini harus secara ikhlas dihidupkan. Ia tidak dapat dipaksa. Karena alasan itulah maka kaum muslim harus berada di lingkungan orang yang berorientasi benar, berkawan secara patut. Orang-orang tersebut ingin mengetahui kebenaran. Jika seseorang berkawan dengan para pencuri selama empat puluh hari, meskipun dia sendiri baik dan jujur, maka akhirnya dia akan terpengaruh mereka karena dia tidak ingin tersingkir dari mereka. Insān, kata untuk ‘orang, manusia’, berasal dari kata kerja anisa, ‘peramah, bersahabat, suka bergaul, bersosialisasi’. Uns, dari akar kata yang sama artinya ‘kekariban, keakraban’. Manusia ingin berhubungan; ia adalah muwaḥḥid (pemersatu), dan mencari kesatuan (tauḥīd) baik ia menyadarinya atau tidak.

Dalam realitasnya tidak ada lahir maupun batin, hanya Allah yang memanifestasikan Diri-Nya sebagai lahir maupun batin. Pada waktu itu, kita bingung karena kita hidup dalam dualitas dan melihat berbagai hal hanya dari perspektif tersebut. ‘Alī ibn Abī Thālib berkata, “Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan.” Sebaik-baiknya tempat adalah yang di pertengahan. Kebanyakan orang tidak sanggup bertahan di ujung-ujung. Kaum muslim harus, menggabungkan hukum lahiriah (syariat) dengan hakikat batin, karena kita tidak bisa memiliki salah satu tanpa salah satunya lagi. Sebagian besar umat muslim di dunia ini tidak mengerti dan meronta karena tidak menggabungkan antara aspek lahir dan aspek batin dalam kehidupan sehari-hari. Kita berbicara tentang Islam, tapi kita tidak menghidupkannya, dan karena alasan inilah para pemuda kita tidak mengerti dan menolak nilai-nilai tradisional. Kita harus berada di pertengahan karena dari tempat yang strategis ini kita dapat melihat kedua ujung cakrawala. Hukum lahiriah (syariat) yang sangat banyak tanpa realitas (hakikat) batin bagaikan sebuah kapal raksasa yang bermuatan barang berat sekali tapi tanpa layar untuk menahan angin; ia berayun dan menggelepar di lautan. Syariat hadir untuk membuat perbedaan, untuk memisahkan. Urusan syariat adalah membedakan berbagai hal dan membuat kita dapat memilih dengan benar di antara berbagai alternatif yang kita hadapi dalam kehidupan. Syariat memungkinkan kita untuk membedakan antara hal yang benar dan salah. Perbedaan itu harus jelas. Syariat bersifat membeda-bedakan karena ia berbicara tentang hukum, yang berarti keadilan dan kebijakan. Keadilan berarti bahwa satu bentuk tindakan adalah benar sedangkan bentuk tindakan lainnya salah.

Dengan cara yang sama, hakikat batin tanpa hukum lahiriah (syariat) bagaikan sebuah kapal dengan layar yang tinggi tapi tanpa ada barang di dalamnya. Ia akan terbalik. Jika seorang muslim berkata, “aku hanya tertarik dengan urusan batin”, ia berbohong. Muslim sejati adalah orang yang pertengahan, yang berada di ruang antara (barzakh), mata rantai perantara yang secara simultan menghubungkan urusan lahir dan batin.

وَ إِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ

  1. Dan tatkala langit dibuka tutupnya

Kasyatha artinya ‘menghilangkan, membuka’ tutup. Pengertiannya adalah bahwa segala sesuatu yang wujud hanyalah merupakan tutup lahiriah saja. Dari sudut pandang kita, seluruh penciptaan ini diciptakan untuk kita; jika tidak, maka tidak akan ada artinya. Yang memiliki arti penting adalah manusia. Namun, eksistensi manusia hanya berarti jika ia memenuhi tujuannya, yakni untuk mengenal penyebab keberadaannya. Seluruh penciptaan berasal dari Allah, dan melalui penciptaan ini diharapkan agar manusia mengenal Allah. Lelangit yang nampak jelas dan terus-menerus meledak dan mengembang, menurut pandangan Sang Pencipta, hanyalah merupakan fantasi: dalam perhitungan-Nya, milyaran bimasakti semuanya tidak setara dengan sebutir pasir sekalipun. Ketika tutup langit dibukakan, maka kita akan melihat ketidakberartiannya. Lelangit hanyalah kulit, permukaan, penampakkan, yang akhirnya akan terkelupas.

وَ إِذَا الْجَحِيْمُ سُعِّرَتْ

  1. Dan tatkala api neraka dinyalakan,

Segala sesuatu yang ada asalnya diciptakan dari satu massa padat lalu memuai karena panas. Dari massa padat yang memuai itu kemudian muncullah semua bintang dan planet dan seluruh penciptaan dalam jangka waktu milyaran tahun. Permulaan yang padat itu sama dengan kekuatan absolut (qudrah). Massa tersebut tidak bisa benar-benar disebut padat karena ia melampaui kepadatan dan karena orang bisa membayangkan bahwa Allah Sendiri adalah padat; semoga Allah melindungi kita dari pandangan seperti itu. Hal itu adalah masalah kekuasaan yang bersifat total dan mutlak, tidak bersangkutan dengan hal lain.

Ayat ini mendeskripsikan suatu situasi baru yang tidak dapat dicapai oleh pemahaman sadar kita karena pemahaman sadar tidak dapat memahami Kekuatan Absolut. Kekuatan besar dapat dipahami, tapi Kekuatan Absolut tidak dapat dipahami. Ada hubungan intermediasi, suatu ruang antara (barzakh), antara kekuatan absolut dan kekuatan yang sangat tinggi. Suhu nol absolut tidak dapat dimasuki karena kalau bisa maka semua hukum termodinamika akan terganggu. Yang dapat kita lakukan hanyalah mendekatinya, dan, mulai dari titik terbatas itu seterusnya, kita bisa mendapatkan pemahaman atau pengalaman yang subyektif tentang suhu nol absolut.

Sama halnya, kita hanya dapat mendekati pengetahuan tentang Realitas, di luar itu maka pengetahuan tentang realitas yang kita peroleh ‘bukanlah hasil ketekunan dan upaya keras kita, tapi merupakan suatu pemberian dari Yang Maha Pemurah, Pemberi Yang Maha Pengasih kepada hamba-hambanya’. Upaya keras diperlukan sampai suatu titik yang bila dilewati maka akan menjadi kontra-produktif.

Pengetahuan ini pun dipancarkan kembali oleh orang-orang yang mengikuti langkah seorang manusia sempurna dan mereka meneladaninya semampu mereka secara lahiriah. Kedekatan ini dapat juga dicapai oleh mereka yang memikul tanggung jawab sebagai shāliḥūn (orang-orang yang mengatur segala sesuatu dengan benar melalui perbuatannya), yang menempatkan diri mereka dalam sepatu kaum shāliḥūn, dan yang melakukan ishlāḥ (penegakkan kedamaian, kebahagiaan dan ketertiban). Mereka mengamalkannya semampu mereka dan hidup seolah-olah Nabi senantiasa hadir beserta mereka. Mereka berada dalam stasiun kemuliaan (maqām al-iḥsān). Mereka hidup Dengan kesadaran bahwa mereka terus-menerus diawasi: mereka tidak melihat Allah, tapi mereka mengetahui bahwa Allah melihat mereka.

Stasiun kemuliaan sebagian besar dapat dicapai seseorang melalui upayanya sendiri. Keadaan di luar stasiun ini adalah ‘pemberian dari Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih’ dan kalau tidak tercapai dalam kehidupan ini tentu akan datang pada saat kematian. Kita dapat dan mesti berbuat yang terbaik. Setelah itu kita akan menjadi seperti saluran yang terbuka, dan kita akan selaras dengan makna Islam yang sebenarnya, yakni makna batin dari ketundukkan. Kita akan benar-benar memerankan takdir kita, dan tidak akan ada lagi pertentangan antara diri kita dengan ketetapan Allah. Sepanjang memungkinkan secara manusiawi, kita harus berada dalam ketundukkan yang sempurna karena keadaan tersebut adalah satu-satunya keadaan di mana kita dapat mengalami Keadaan Yang Sempurna. Jika kita tidak berada dalam kepasrahan batin yang sempurna, maka hal lain apa pun yang kita bicarakan akan menjadi religiusitas semata.

وَ إِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ

  1. Dan tatkala taman surga didekatkan,

Orang yang mencintai Allah telah mempunyai kunci untuk menuju surga (jannah) dalam hati mereka. Mereka mencintai kehidupan akhirat karena di sana hanya ada kebenaran yang akan mereka terima. Sebenarnya, taman tersebut sekarang pun ada bagi kita. Al-Qur’an jelas mengenai hal ini; al-Qur’an tidak mengatakan bahwa surga hanya akan ada nanti, setelah kematian, karena ia mendeskripsikan penghuni surga sebagai mereka yang berkata, “Kami ingat semua ini! Ini mirip dengan yang pernah kami alami!”. Dengan demikian, kita punya akses ke kondisi itu di sini dan saat ini dengan cara menghindari apa-apa yang membawa kita ke keadaan sebaliknya. Ini merupakan cara satu-satunya, tidak ada cara lain.

Warisan kita, yang sedang kita semua cari, adalah surga. Kita semua mendambakan surga, suasana yang diberikan surga kepada kita, kesentosaan, keberlimpahan, perlindungan, keamanan dan kenikmatan dari semua hal baik dalam kehidupan. Surga yang terlihat secara fisik di atas bumi ini membantu kita memasuki suasana hati yang tenang, pemurah dan suka menolong. Taman Kebahagiaan adalah warisan kita yang nyata dan alami, dan akan ditemukan dengan cara mengikuti hati kita. Kita harus jujur tentang hati kita dan mengetahui isinya. Tak ada yang lebih dekat kepada kita selain kebenaran, dan esensi kita adalah kebenaran. Esensi kita bukanlah kehidupan ataupun kematian, melainkan sumber keduanya, yakni Sang Pencipta.

Ayat ini berkenaan dengan awal penyerahan diri. Sebenarnya, yang ada hanyalah surga dan al-Qur’an mengatakan bahwa luasnya surga adalah seluas langit dan bumi. Lantas, mengapa kita menderita di sini? Tak pelak lagi, kita sengsara di dunia ini karena kita tidak mau menerima stasiun penyerahan diri. Kita hanya dapat menerima apa yang mau kita terima. Bila kita kemudian mau menerima Keabadian Hidup, maka takkan ada hal lain yang akan kita terima, dan kita akan benar-benar hidup dari waktu ke waktu. Ketika akhir zaman mendekat, sudah pasti kita akan merasa lebih mudah untuk menjalani penyerahan diri seutuhnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *