Suratu ‘Abasa 80 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah (2/2)

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

Rangkaian Pos: Suratu 'Abasa 80 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah

كِرَامٍ بَرَرَةٍ

  1. Yang mulia, berbudi baik.

Kata-kata ini menggambarkan kekuatan pelaksanaan yang menghasilkan realitas penciptaan ini. Kita mesti ingat bahwa al-Qur’an menyatukan gaung keabadian dengan kemanusiaan. Nabi adalah entitas yang bergetar dan berdenyut yang menyampaikan al-Qur’an dengan kata-kata yang dapat kita selami sedalam-dalamnya dalam rangka merenungkannya. Kita tidak bisa hanya memeriksa permukaannya saja. Oleh karena itu, kirām bararah tidak hanya berarti ‘mulia dan baik budi’. Karam berarti ‘kemurahan hati yang mutlak dan menyeluruh’. Jika seseorang benar-benar murah hati, maka ia menjadi saluran tempat lewatnya berbagai hal, baik dalam bentuk harta, ilmu pengetahuan, atau wujud kemurahan hati lainnya. Jika ia adalah karīm (murah hati), ia hanya akan menjadi sebuah instrumen, sementara dirinya sendiri mangkir. Inilah kemurahan hati dalam bentuk terakhir.

Akar kata bararah adalah barra, yang berarti ‘saleh, adil’. Birr, dari akar kata yang sama, dalam kamus-kamus bahasa ‘Arab didefinisikan sebagai ‘kebajikan, penghormatan, atau ketaatan’, tapi hanya sebagian saja yang benar. Kata tersebut juga diartikan sebagai loyal, setia dan konsisten.

Kirām bararah adalah kekuatan-kekuatan yang melaksanakan realitas penciptaan tanpa ada intervensi. Hanya makhluk manusia, sebagai puncak penciptaan, yang diberi kebebasan untuk secara cukup bodoh mengira bahwa dirinya adalah makhluk yang istimewa, atau, dengan cukup bijak membebaskan batinnya [dari persangkaan seperti itu—peny.].

قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ

  1. Celakalah manusia itu! Alangkah tidak berterimakasihnya dia!

Qutila adalah bentuk pasif dari kata kerja ‘membunuh’, dan, dengan demikian, sedikit mengubah maknanya menjadi ‘dikutuk’ dengan konotasi kuat ‘dihukum’.

Al-Qur’an baru saja membawa kita kepada persoalan yang sangat halus, lalu tiba-tiba membawa kita kembali kepada kekasaran manusiawi kita. Kufr—kata benda dari akar kata kerja yang sama dengan akfara (tidak berterima-kasih atau tidak setia)—adalah menutupi kebenaran dalam upaya membenarkan keirasionalan ego kita. Segala sesuatu dalam eksistensi ini menunjukkan kesempurnaan—kita mendapatkan apa yang patut kita dapatkan, bukan apa yang kita inginkan. Karena kita mempunyai berbagai pengharapan maka biasanya kita dilanda frustasi. Dunia secara keseluruhan bergerak ke satu arah, tapi segala pengharapan kita malah berbelok ke arah lain.

Pembunuhan menyiratkan berakhirnya kemungkinan. Sebenarnya kehidupan memancar dari satu sumber ilahiah, dan karena itu eksistensi individual dari masing-masing orang dibangun oleh kerahiman sumber tersebut. Dengan demikian warisan kita yang sebenarnya adalah ketuhanan. Tapi apakah hal itu diakui oleh kita? Bukannya berada dalam kesatuan, kebanyakan kita justru hidup dalam keter-pisahan yang sangat menyedihkan dengan sumber kehidupan.

مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ

  1. Dari benda apakah Ia menciptakannya?

مِنْ نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ

  1. Dari benih kehidupan yang kecil, Ia menciptakannya, lalu Ia membentuknya sesuai dengan ukurannya.

Dari apa manusia diciptakan? Ia diciptakan dari sperma. ‘Lalu Ia membentuk dia’. Qaddara, berarti ‘menyiapkan, merencanakan atau menentukan sesuatu sesuai dengan ukurannya’. Qadr, yang dihubungkan dengan qaddara berarti ‘takdir, ketetapan Ilahi’. Suatu ketetapan bisa diukur.

Ayat ini menunjukkan bahwa pengkodean manusia yang lengkap terdapat dalam sperma. Selanjutnya manusia akan muncul dalam wujud kasar, berinteraksi dengan eksistensi lainnya, dan menemukan jalan kembali ke sumbernya. Al-Qur’an membawa kita ke dalam kemutlakan dan kemudian mengembalikan lagi kepada realitas duniawi ini untuk menyadarkan kita agar bisa lebur ke dalam realitas.

ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَهُ

  1. Lalu Ia menjadikan jalan itu mudah baginya.

Lagi-lagi, ini berkenaan dengan hal positif. Sabīl berarti ‘jalan atau garis edar’. Mengapa kita semua mencari jalan dalam kehidupan? Sabīl dicari untuk menghindari lubang perangkap di jalan yang tidak dipasangi rambu-rambu yang jelas. ‘Jalan’ ini mungkin saja berupa kesepakatan, perkawinan, bisnis, liburan, dan sebagainya. Kita mencari jalan yang jelas karena kita telah menyimpang akibat pilihan-pilihan buruk yang kita buat dalam kejahilan dan kegelapan kita.

Perhatikanlah kata ‘Arab untuk ketidakjelasan atau kegelapan, zhulam atau zhulumāt. Kegelapan dideskripsikan dalam al-Qur’an sebagai selubung yang harus disingkirkan karena hakikat dari segala sesuatu adalah cahaya. Cahaya adalah ilmu pengetahuan, sehingga kita mendapat gambaran: Allah adalah cahaya langit dan bumi (Q.S.24:35). Zhulam, bila menutupi cahaya itu, kadang menjadi hikmah. Segala sesuatu ada hikmahnya, tapi kita tidak selalu memahaminya demikian. Jika, umpamanya, seseorang tahu bahwa kesehatan yang buruk akan menimpanya dalam waktu dekat, maka ia akan sakit karena cemas dari sekarang sampai nanti (saat keburukan menimpa). Oleh karena itu, kegelapan yang menutupi pengetahuannya tentang apa yang akan terjadi merupakan suatu hikmah.

Yassara berarti ‘melancarkan, meratakan, melicinkan, memudahkan’. Yusr dari akar kata yang sama, berarti ‘kemudahan, kemakmuran, kelimpahan’. Yasar berarti ‘kesenangan, kemewahan’, dan juga ‘tangan kiri’. Di semua kebudayaan, selama periode spiritualitas besar, tangan kanan melambangkan tindakan positif dan tangan kiri negatif. Manusia mengambil, memberi dan makan dengan tangan kanan. Ia membuang dan menghambur-hamburkan dengan tangan kiri. Ia mengetahui hal positif dengan meniadakan hal negatif.

Awalnya manusia tidak tahu hal yang positif. Umpamanya, mungkin ia tidak tahu bahwa menjauhi stopkontak adalah tindakan yang positif: ia hanya meniadakan yang negatif. Hikmahnya sudah ada tapi ia harus membukanya, dan pembukaan adalah penyingkapan. Itulah sebabnya kaum muslim menutup diri pada saat salat, agar tidak nampak, yakni menutup apa yang disebut ‘aku’. Saat merendahkan diri mereka berusaha tetap berada dalam profil yang paling hina. Barang siapa tidak mampu memahami sedikit pun makna-makna ini berarti belum benar-benar melaksanakan praktik lahiriah. Setiap tindakan setimpal dengan niatnya. Karena itu, jika seseorang melakukan praktik-praktik ini dengan keyakinan yang benar, meskipun dalam kejahilan, ia akan mendapat keuntungan dari praktik tersebut.

Jalan telah dimudahkan, sangat-sangat dipermudah. Allah berfirman dalam al-Qur’an bahwa jalan menuju penyadaran, menuju pengetahuan batin, adalah mudah. Mengapa mudah? Penjelasannya adalah, kita harus menghindari apa yang pernah kita alami sebagai hal yang tidak kondusif untuk kesejahteraan kita. Nabi bersabda, “Mu’min (orang yang beriman, yang percaya bahwa ia akan mencapai realitasnya secara total) tidak akan terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama”.

ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ

  1. Lalu Ia mematikan dia, dan menguburkannya.

Biografi manusia seutuhnya dibeberkan dalam tiga ayat ini, secara berurutan. Dari sperma kita diciptakan, lalu dibentuk dan dimudahkan jalan bagi kita, asal kita mau sadar dan senantiasa mengingat Allah (zikir); kemudian kita mati dan dikubur! Jika kita memikirkan keseluruhan proses ini pada saat kita sedang marah, sungguh riuh amarah kita kelihatannya, sungguh menggelikan keseluruhan adegan kita jadinya. ‘Dengan zikir hatimu akan menjadi tenang, kata al-Qur’an, karena manusia tidak mengerti bahwa kehidupan ini adalah sebuah cerita yang utuh. Satu-satunya hal yang dapat dimengerti oleh setiap orang, pada setiap waktu, dalam setiap keadaan, adalah bahwa kita ini sedang sekarat. Pada saat lahir, andaikan seorang bayi dapat berbicara, tentu ia akan berkata, ‘Setiap saat aku semakin dekat ke kuburan.’ Hanya inilah pernyataan rasional yang dapat dikemukakan siapa pun, tidak perduli apakah dia sendiri orang rasional atau bukan.

Pernyataan benar kedua yang hanya dikemukakan oleh orang rasional adalah: “Aku tidak ingin mati.” Saat kita gusar menghadapi seluruh problematika dunia, sebagian di antara kita mungkin mengharapkan mati saja. Tapi ingat, keinginan yang serampangan ini tidak muncul dari sikap jiwa yang seimbang. Oleh karena itu, pernyataan kedua hanya bisa dibuat pada saat pikiran dalam keadaan rasional.

Sekarang timbul konflik. Tapi bagaimana bisa ada konflik? Allah adalah Maharahman, dan tidak ada rahmat dalam konflik. Satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah bahwa entitas ini menganggap hidup dan mati hanya sebagai penyimpangan, gaung dari sesuatu yang bersifat abadi, dan dengan demikian sedang mencari keabadian. Setiap orang mencari keabadian dalam segala aspek hidup, dalam kekayaan, hubungan, atau dalam objek-objek yang kita minati. Kita memuja kehidupan; oleh karena itu kita memuja Sang Pencipta kehidupan. Masing-masing kita adalah pemuja, dan yang terpenting dalam upaya mewujudkan pemujaan yang benar adalah melepaskan diri kita dari pemutarbalikan pemujaan itu—yakni memandang kepada apa yang bersifat sementara—tapi hiduplah dalam keabadian mutlak Sang Pencipta.

ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ

  1. Lalu jika Ia menghendaki, Ia membangkitkannya lagi.

Kebenaran akan tersingkap dan diketahui—maksudnya di dunia sini dan saat ini juga. Ansyara (bangkit dari kematian), berasal dari nasyara, berarti ‘membuka, menggelar, mempublikasikan apa pun yang dilakukan dan yang menyenangkannya’, dengan lebih suka menyembunyikan perbuatan yang tidak menyenangkannya. Kita semua terlibat dalam kemunafikan ini. Umpamanya, sebagian besar kejahatan dilakukan dalam keremangan malam, seakan-akan si penjahat sedang berusaha menyembunyikan perbuatan salahnya. Mereka suka kegelapan karena kegelapan dapat menyembunyikan berbagai hal yang menurut lubuk hati mereka pun sesungguhnya memalukan.

كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ

  1. Tidak! Tetapi dia tidak menjalankan apa yang Ia perintahkan kepadanya.

Maksudnya, apa yang telah dijalankan manusia ternyata berlawanan dengan perintah penciptaan. Namun, segala sesuatu akan tersingkap sebagaimana telah ditetapkan.

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ

  1. Maka hendaklah manusia melihat pada makanannya!

Tha‘ām tidak hanya berarti ‘makanan’; maknanya yang lebih luas mencakup segala sesuatu yang menjadi sumber makanan kita. Kata ini berkenaan dengan apa yang dapat kita terima menurut selera kehidupan kita.

أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا

  1. Bagaimana Kami menuangkan air yang berlimpah-limpah.

ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا

  1. Lalu Kami membelah bumi, membelah(nya) sampai cerai-berai.

فَأَنْبَتْنَا فِيْهَا حَبًّا

  1. Lalu Kami tumbuhkan di sana biji-bijian,

Ḥabb maksudnya setiap jenis ‘biji-bijian, sereal, berry atau vanili’. Ia dihubungkan dengan kata ḥubb, yang berarti ‘cinta’. Ḥubb adalah hubungan unik antara seorang ibu dengan anaknya. Ḥubb adalah saluran. Seorang manusia hanya dapat mengatakan cinta jika saluran itu benar-benar terbuka. Cinta didasarkan pada komitmen dan kesinambungan. Seluruh penciptaan dibangun di atasnya, karena setiap orang kalau bukan pecinta tentu yang dicinta. Kita mencintai kehidupan seraya kita dicintai kematian.

وَ عِنَبًا وَ قَضْبًا

  1. Anggur dan sayur-mayur,

Qadhb artinya ‘sayur-mayur’, yakni, setiap tetumbuhan yang dapat dimakan, dan ‘inab maksudnya anggur yang diikat secara menarik, sehingga mengundang manusia untuk memetiknya.

وَ زَيْتُوْنًا وَ نَخْلًا

  1. Dan pohon zaitun dan pohon kurma,

Mengapa Allah menyebutkan dua pohon ini secara khusus? Pohon kurma dan zaitun senantiasa menjadi mata-rantai di antara zaman-zaman yang berbeda. Keduanya bersifat simbolis dan praktis. Mereka ditanam untuk generasi-generasi mendatang sehingga beberapa generasi hidup dari pohon yang sama. Setiap bagian dari pohon zaitun dan kurma ada kegunaannya dan dapat disimpan. Batangnya untuk rumah dan atap, daunnya untuk tali dan tikar, dan buahnya untuk makanan, minyak dan bahkan obat. Bangsa ‘Arab, dan juga umat Kristen awal, tak mempunyai apa-apa selain pohon-pohon ini yang banyak manfaatnya bagi mereka.

وَ حَدَائِقَ غُلْبًا

  1. Dan taman-taman yang rimbun,

وَ فَاكِهَةً وَ أَبًّا

  1. Dan buah-buahan serta rerumputan,

مَّتَاعًا لَّكُمْ وَ لِأَنْعَامِكُمْ

  1. Perbekalan makanan bagimu dan ternakmu.

Ayat-ayat ini mengajak kita memasuki dunia lain, dan mereka berbicara tentang taman-taman yang berlimpah dan subur. Matā‘ artinya ‘kesenangan, perbekalan’. Perbekalan adalah hal yang membantu Anda untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari kandungan ke liang lahat.

فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ

  1. Tetapi tatkala datang teriakan yang memekakkan,

Shākhkhah (teriakan yang memekakkan) berkenaan dengan siklus gerakan kedua atau proses penciptaan terbalik. Al-Qur’an menyebutkan teriakan dan pekikan (sangkakala), maksudnya adalah teriakan atau pekikan yang memproklamirkan proses pembalikkan arah gerakan dan perkembangan bumi, dan awal dari bangkitnya kekuatan-kekuatan energi, yakni arwah.

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيْهِ

  1. Pada hari tatkala orang lari dari saudaranya,

Bila hari itu tiba, bukan saja akan menjadi akhir dari siklus ini, tapi juga merupakan awal dari sebuah siklus baru. Pada saat itu, manusia akan lari sekalipun dari saudaranya. Yawm dalam al-Qur’an tidak hanya berarti ‘hari’, tapi juga ‘saat’ atau ‘jenak’. Kata ‘saudara’ maksudnya semua orang yang memiliki hubungan persaudaraan yang dekat.

وَ أُمِّهِ وَ أَبِيْهِ

  1. Dan ibunya serta bapaknya,

Manusia juga akan lari dari ibu-bapaknya sendiri. Artinya, seseorang akan meninggalkan orang-orang yang sangat dicintainya, yakni ibu-bapaknya; sebaliknya, lari dari mereka tidaklah ada artinya dalam konteks ini.

وَ صَاحِبَتِهِ وَ بَنِيْهِ

  1. Dan istrinya serta anak-anaknya,

Istri dan anak-anaknya juga adalah orang-orang yang dicintainya, bersama mereka ia menjalani dan menikmati kehidupan di dunia.

لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيْهِ

  1. Pada hari itu setiap orang di antara mereka akan mempunyai urusan yang menyibukkannya.

Setiap orang di antara mereka pada hari itu akan berkutat dengan urusan yang menyibukkan dan menyita perhatiannya, dan sama sekali tidak ada kesempatan untuk urusan lain. Ketika seluruh eksistensi dihancurkan dan bergoncang, ketika hal-hal yang hakiki menjadi nyata, maka yang akan tersisa hanyalah individu. Peristiwa ini berlangsung di luar batas-batas waktu, dan manusia tidak akan diberi kesempatan lagi untuk menjadi orang dermawan atau berbuat baik.

وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ

  1. Pada hari itu wajah-wajah akan bersinar laksana fajar menyingsing.

Musfirah berasal dari safara, yang berarti ‘membuka selubung, bepergian’. Pada saat bergerak kita tidak terlindung. Sufur artinya ‘membuka selubung wajah’, yakni, tidak menyisakan apa pun untuk sembunyi. ‘Wajah-wajah yang bersinar, cemerlang’ menunjukkan bahwa mereka tidak dalam keadaan kufur (tertutup), tapi, malah, mereka terbuka dan merasa senang, berada dalam kemerdekaan jiwa yang sempurna. Jika kita bebas sekarang, maka kita bebas selamanya; jika kita terpenuhi sekarang, maka kita terpenuhi selamanya. Dikatakan dalam al-Qur’an, Suatu taman yang luasnya seluas langit dan bumi (Q.S. 3:133). Taman ini berada dalam hati, dan kunci gerbangnya adalah pembebasan diri (dari belenggu nafsu—peny.).

ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ

  1. Tertawa, girang mendengar kabar baik.

Semua rasul ditugaskan membawa kabar gembira (busyrā), yakni bahwa manusia berasal dari suatu sumber abadi yang berjalan dari Allah menuju Allah dan kewajibannya adalah bangun dari keadaan tidur menuju keadaan terjaga. Mustabsyirah berasal dari istabsyara, ‘girang, sangat gembira (mendengar kabar baik)’. Artinya, manusia akan diberi kabar baik lagi. Pada saat itu benar-benar ditegaskan bahwa kabar baik tersebut mengenai keseluruhan penciptaan, dan bahwa manusia adalah wakil dari Sang Pencipta. Dengan demikian di dalam gen manusia terkandung karakteristik dari seluruh penciptaan, sehingga cerita lengkap tentang alam semesta ada dalam mikrokosma manusia.

وَ وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ

  1. Dan pada hari itu wajah-wajah mereka penuh debu,

Ghabarah (debu) berasal dari akar kata kerja ghabara (berlalu, lewat, hal yang sudah-sudah), dan dalam bentuk yang lebih berhubungan erat, ghabbara, artinya ‘mengotori, atau menutup dengan debu’. Debu adalah sesuatu yang turun dan menempel pada suatu permukaan, dan debu itu bukan bagian dari permukaan tersebut. Ayat ini mengatakan bahwa wajah-wajah mereka akan tertutup debu, maksudnya bahwa mereka akan membiarkan realitas yang abadi dan sejati tertutupi dengan sesuatu yang asing.

تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ

  1. Kegelapan akan menutupi mereka.

Rahiqa (datang atau mendekati seseorang), adalah akar dari tarhaqu. Murhiq, yang berasal dari akar yang sama, berarti ‘menyesakkan napas’. Maksud ayat ini adalah bahwa manusia akan tertekan oleh kegelapan. Ini merupakan gambaran tentang kontradiksi antara kebahagiaan orang yang terbebaskan dan penderitaan orang yang tidak terbebaskan. Di sini kondisi tersebut terbagi dua secara kontras menjadi hitam dan putih sehingga dapat dilihat dengan jelas.

أُوْلئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ

  1. Mereka adalah orang-orang yang kafir, yang jahat.

Mereka yang dilanda kelelahan dalam mendung dan kegelapan ini adalah orang-orang yang sangat ingkar atau kufur. Ini merupakan gambaran tentang suatu perbuatan, yakni perbuatan menutupi, yang tidak berlangsung dalam gelanggang amaliah fisik yang normal; sebaliknya, perbuatan tersebut berlangsung di tingkat psikis murni, atau roh. Itulah sebabnya mengapa bahasa manusia yang paling canggih sekalipun hanya dapat sebatas menyinggungnya. Pengetahuan tentang alam psikis bisa datang hanya bila kita mengenal ioh, yang sebenarnya merupakan diri manusia yang sejati. Itulah sebabnya maka dikatakan bahwa jika seseorang sungguh-sungguh mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.

Demikianlah keseluruhan tujuan dan maksud dari jalan spiritual, maksud dari perenungan. Jika perenungan tidak membawa kepada pengenalan, maka setidaknya akan memberikan pengalaman yang luar biasa. Jika perenungan tidak membawa kepada pencapaian ini, maka paling tidak bisa menjadikan kita seorang muslim atau seorang Kristen yang lebih baik. Tapi pesan dari semua nabi, termasuk Nabi Muḥammad, adalah ‘tauḥīd’, Keesaan Allah yang tidak bergantung, dan, dengan demikian, keesaan wujud manusia.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *