2-7-1 Bab Sifat Shalat (Bagian 1) – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 002 Bab Shalat - Fikih Empat Madzhab

Bab: Sifat Shalat.

(Bagian 1)

 

236. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa rukun shalat ada tujuh, yaitu:

(a). Niat;

(b). Takbīrat-ul-Iḥrām;

(c). Berdiri bila mampu;

(d). Membaca surah di 2 rakaat bagi Imam dan orang yang shalat sendirian;

(e). Rukū‘;

(f). Sujūd; dan

(g). Duduk di akhir shalat yang lamanya sampai mengucapkan salam. (3911).

 

237. Mereka berbeda pendapat tentang selain yang disebutkan di atas, baik bagi Imām maupun orang yang shalat sendirian. Ini adalah syarat dan rukun yang disebut fardhu-fardhu yang berhubungan dengan shalat dan terpisah dengannya yang telah disepakati keempat Imām madzhab.

Selain itu berupa perbuatan dan dzikir, maka mereka berbeda pendapat, sebagaimana yang akan diuraikan nanti secara global dan terperinci. Di antaranya adalah sebagai berikut:

 

238. Mereka sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu hukumnya wajib bagi yang mampu. Apabila seseorang tidak berdiri dalam shalat padahal dia mampu maka shalatnya tidak sah.

 

239. Mereka berbeda pendapat tentang orang yang shalat di dalam perahu.

Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Tidak boleh meninggalkan berdiri saat shalat fardhu.”

Abū Ḥanīfah berkata: “Boleh, dengan syarat perahunya berjalan.” (3922).

 

240. Mereka sepakat bahwa niat dalam shalat hukumnya wajib, sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.

 

241. Mereka berbeda pendapat tentang niat, apakah boleh mendahulukannya atas Takbīr atau berbarengan dengan Takbīr?

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Boleh mendahulukan niat setelah masuk waktu sebelum Takbīr selama tidak dipotong dengan perbuatan tertentu, meskipun dia membulatkan niat saat Takbīr.”

Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Niat wajib berbarengan dengan Takbīr.”

Sifat niat adalah berniat menunaikan shalat untuk membedakan antara shalat dengan amalan-amalan lainnya. Kemudian niatnya harus shalat fardhu untuk membedakannya dengan shalat sunah, juga harus berniat menunaikan shalat Zhuhur atau ‘Ashar untuk membedakannya dengan shalat-shalat lainnya.

Tentang niat Ada’ (melaksanakan pada waktunya), menurut madzhab Syāfi‘ī dan salah satu dari dua riwayat Aḥmad, tidak disyaratkan meskipun disunnahkan agar disebutkan. Sedangkan menurut riwayat lain dari Aḥmad hukumnya wajib. (3933).

 

242. Mereka sepakat bahwa Takbīrat-ul-Iḥrām merupakan salah satu fardhu shalat, sebagaimana yang telah kami sebutkan.

 

243. Mereka sepakat bahwa shalat tidak sah kecuali dengan mengucapkannya. Sekedar berniat dalam hati tidak cukup tanpa mengucapkan Takbīr. (3944).

 

244. Mereka sepakat bahwa Takbīrat-ul-Iḥrām sah dengan mengucapkan Allāhu Akbar.

 

245. Mereka berbeda pendapat tentang lafazh-lafazh lainnya yang menunjukkan pengagungan, apaka ia bisa menggantikan ucapan Allāhu Akbar?

Abū Ḥanīfah berkata: “Shalat hukumnya sah dengan setiap ucapan yang menunjukkan pengagungan, seperti al-‘Azhīm dan al-Jalīl. Apabila seseorang mengucapkan Allāhu tanpa menambah dengan kalimat lain maka Takbīrnya sah.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Takbīrat-ul-Iḥrām sah dengan mengucapkan Allāhu Akbar dan Allāh-ul-Akbar.”

Mālik, dan Aḥmad berkata: “Tidak sah kecuali dengan mengucapkan Allāhu Akbar saja.” (3955).

 

246. Mereka sepakat bahwa mengangkat kedua tangan saat Takbīrat-ul-Iḥrām sunnah dan tidak wajib. (3966).

 

247. Mereka berbeda pendapat tentang batasannya.

Abū Ḥanīfah berkata: “Batas mengangkat kedua tangan adalah sampai sejajar dengan kedua telinganya.”

Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Batas mengangkat kedua tangan adalah sampai sejajar dengan kedua bahu.”

Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada tiga riwayat.

Pertama, yang paling masyhur adalah sejajar dengan kedua bahu.

Kedua, sejajar dengan kedua telinga. Pendapat ini dipilih oleh ‘Abd-ul-‘Azīz.

Ketiga, boleh sejajar dengan kedua telinga atau kedua bahu, tergantung mana yang disukai. Pendapat ini dipilih oleh al-Khiraqī. (3977).

 

248. Mereka berbeda pendapat tentang mengangkat kedua tangan saat Takbīr ketika rukū‘ dan ketika bangkit dari rukū‘.

Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya sunnah.”

Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak perlu mengangkat kedua tangan dan hukumnya tidak sunnah.”

Ada pula riwayat dari Mālik yang sama dengan pendapat Abū Ḥanīfah. (3988).

 

249. Mereka sepakat bahwa disunnahkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat. Kecuali menurut salah satu dari dua riwayat dari Mālik bahwa hukumnya tidak sunnah tapi mubah. Sedangkan menurut riwayat lain hukumnya sunnah, seperti madzhab Jamā‘ah. (3999).

 

250. Mereka berbeda pendapat tentang tempat meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.

Abū Ḥanīfah berkata: “Kedua tangan diletakkan di bawah pusar.”

Mālik dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Kedua tangan diletakkan di bawah dada di atas pusar.”

Menurut Aḥmad, dalam hal ini ada tiga riwayat.

Pertama, yang paling masyhur adalah seperti madzhab Abū Ḥanīfah. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqī. (40010).

Kedua, seperti madzhab Mālik dan asy-Syāfi‘ī.

Ketiga, boleh memilih antara keduanya dan keutamaannya sama. (40111).

 

251. Mereka sepakat bahwa doa Istiftāḥ dalam shalat hukumnya disunnahkan. Kecuali Mālik yang mengatakan bahwa hukumnya tidak sunnah. (40212).

Sifatnya (redaksinya) menurut Abū Ḥanīfah dan Aḥmad adalah: (سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ وَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَ تَعَالَى جَدُّكَ وَ لَا إِلهَ غَيْرُكَ.) “Ya Allah, Maha Suci Engkau dengan pujian-Mu, Maha Berkah dan Maha Tinggi kemuliaan-Mu serta tidak ada tuhan selain Engkau”, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a. dan ‘Ā’isyah r.a.

Sedangkan menurut Imām asy-Syāfi‘ī adalah: (وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَ مَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّ صَلَاتِيْ وَ نُسُكِيْ وَ مَحْيَايَ وَ مَمَاتِيْ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.) “Aku menghadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan lurus dan berserah diri, sedang aku tidak termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya karena Allah Tuhan semesta alam”, sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Alī r.a. (40313).

Abū Yūsuf berkata: “Disunnahkan agar menggabungkan keduanya.” (40414).

Aku mengatakan: “Inilah (yakni menggabungkan keduanya) yang lebih aku suka.” (40515).

 

252. Mereka sepakat – kecuali Mālik – bahwa membaca doa Istiftāḥ dengan salah satu dari dua redaksi doa di atas hukumnya dibolehkan.

Mālik berkata: “Disunnahkan agar orang yang shalat membaca keduanya setelah Takbīrat-ul-Iḥrām. Adapun ketika dia Takbīr dianjurkan agar menyambung bacaan dengan Takbīr.” (40616).

 

253. Mereka sepakat bahwa membawa Ta‘awwudz dalam shalat sebelum membaca al-Fātiḥah hukumnya sunnah. Kecuali Mālik yang mengatakan: “Tidak perlu membaca Ta‘awwudz dalam shalat fardhu.” (40717).

 

254. Mereka berbeda pendapat tentang membaca Bismillāh-ir-Raḥmān-ir-Raḥīm setelah membaca Ta‘awwudz.

Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Dianjurkan membaca Basmalah.”

Mālik berkata: “Tidak dianjurkan membacanya dalam shalat fardhu, tapi boleh membacanya dalam shalat sunnah.” (40818).

 

255. Mereka berbeda pendapat, apakah Basmalah dibaca dengan suara keras atau lirih?

Abū Ḥanīfah, dan Aḥmad berkata: “Basmalah dibaca dengan suara lirih.

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Basmalah dibaca dengan suara keras.” (40919).

 

256. Mereka berbeda pendapat, apakah Basmalah dibaca pada setiap rakaat dan diulang saat memulai setiap surah atau tidak?

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Ia dibaca pada setiap rakaat dan diulang saat memulai setiap surah.”

Menurut Abū Ḥanīfah, dalam hal ini ada dua riwayat.

Pertama, Basmalah hanya dibaca pada rakaat pertama saja.

Kedua, Basmalah dibaca pada setiap rakaat tapi tidak diulang saat memulai setiap surah. (41020).

 

257. Mereka berbeda pendapat, apakah Basmalah termasuk ayat surah al-Fātiḥah atau bukan?

Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Ia tidak termasuk ayat surah al-Fātiḥah.”

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad dalam salah satu dari dua riwayat darinya berkata: “Ia termasuk ayat surah al-Fātiḥah.” Sedangkan menurut riwayat kedua, ia tidak termasuk ayat surah al-Fātiḥah, tapi ayat tersendiri yang ada pada setiap surah.

Aku mengatakan (41121): “Yakni bahwa Basmalah merupakan firman Allah s.w.t. yang diturunkan untuk memisahkan antara setiap dua surah.” (41222).

 

258. Mereka berbeda pendapat, apakah Basmalah merupakan ayat pada setiap surah?

Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Ia bukan ayat dari surah al-Fātiḥah dan bukan pula ayat pada setiap surah atau seluruh al-Qur’ān, kecuali dalam surah an-Naml, karena ia merupakan salah satu ayatnya.” (41323).

Aḥmad berkata: “Ia bukan ayat pada setiap surah.” Dalam hal ini hanya ada satu riwayat darinya.

Para pengikut Imām asy-Syāfi‘ī berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka meriwayatkan dua pendapat dari Imām asy-Syāfi‘ī.

Pertama, ia merupakan ayat pada setiap surah.

Kedua, ia bukan ayat dari setiap surah, tapi merupakan ayat dari surah al-Fātiḥah.

Ada pula yang mengatakan bahwa ada dua pendapat fuqahā’ Syāfi‘iyyah.

Abū Bakar asy-Syāsyī (41424) berkata dalam kitab al-Ḥilyah: “Mayoritas teman kami mengatakan bahwa Basmalah dibaca di awal setiap surah dan keabsahan shalat berkaitan dengannya.” (41525).

 

259. Mereka berbada pendapat, apakah disunnahkan membaca Basmalah dengan suara keras selain surah al-Fātiḥah?

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad berkata: “Tidak disunnahkan.”

Mālik berkata: “Tidak disunnahkan membacanya. Kalaupun dibaca tidak dianjurkan dengan suara keras.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Hukumnya disunnahkan.” (41626).

 

Catatan:


  1. 391). Menurut ulama Ḥanafiyyah: rukun shalat ada enam selain niat. Lih. al-Hidāyah (1/49) dan Raḥmat-ul-Ummah (36). 
  2. 392). Lih. al-Mudawwanat-ul-Kubrā (1/250), dan Nail-ul-Authār (3/252). 
  3. 393). Lih. al-Majmū‘ (3/242), al-Hidāyah (1/49), at-Talqīn (94) dan Raḥmat-ul-Ummah (37). 
  4. 394). Lih. al-Mughnī (1/542), al-Majmū‘ (3/257), dan Raḥmat-ul-Ummah (37). 
  5. 395). Lih. Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/287), al-Mughnī (1/540), al-Majmū‘ (3/260), dan at-Talqīn (98). 
  6. 396). Lih. Al-Ijmā‘ karya Ibn-ul-Mundzir (18), al-Mughnī (1/547), dan al-Ausath karya Ibn-ul-Mundzir (2/72). 
  7. 397). Lih. Mukhtashar-ul-Khiraqī (22), Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/285), dan al-Ausath (2/72, 73). 
  8. 398). Lih. al-Mughnī (1/547), Syarḥu Fatḥ-il-Qadīr (1/315), dan at-Talqīn (101). 
  9. 399). Lih. al-Majmū‘ (3/268), al-Mughnī (1/549), al-Hidāyah (1/51), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/256). 
  10. 400). Lih. Mukhtashar-ul-Khiraqī (22). Ini adalah masalah kedua belas yang terjadi perselisihan di dalamnya antara al-Khiraqī dengan Abū Bakar ‘Abd-ul-‘Azīz. Silahkan baca uraiannya dalam Thabaqāt-ul-Ḥanābilah (2/67). 
  11. 401). Lih. al-Hidāyah (1/51), al-Majmū‘ (3/269), al-Mughnī (1/550). 
  12. 402). Lih. al-Majmū‘ (3/275), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/233), dan al-Mughnī (1/550). 
  13. 403). Hadits ‘Alī r.a. diriwayatkan oleh Muslim dalam Shaḥīḥ-nya (202), Abū Dāūd (760), at-Tirmidzī (3423), an-Nasā’ī (896), Ibnu Mājah (864). 
  14. 404). Lih. al-Hidāyah (1/51), al-Majmū‘ (3/279), dan Raḥmat-ul-Ummah (38). Pendapat Abū Yūsuf bahwa disunnahkan menggabungkan keduanya adalah yang dipilih oleh Imām Ibnu Ḥubairah. Ini termasuk salah satu masalah yang ditarjih (dipilih yang paling kuat) oleh sang imām yang menunjukkan bahwa beliau sangat keras berpegang pada dalil. 
  15. 405). Dalam manuskrip “Z” dan naskah yang dicetak tertulis: “Al-Wazīr Yaḥyā bin Muḥammad berkata: “Pendapat inilah yang aku pilih”.” 
  16. 406). Lih. al-Mughnī (1/551), al-Majmū‘ (3/278), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/35). 
  17. 407). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/37), al-Mughnī (1/554), al-Majmū‘ (3/280), dan Raḥmat-ul-Ummah (38). 
  18. 408). al-Mughnī (1/556), al-Majmū‘ (3/289), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/234), dan al-Hidāyah (1/52). 
  19. 409). Lih. at-Taḥqīq (3/49), al-Majmū‘ (3/289), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/38), al-Mudawwanah (1/186). 
  20. 410). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/42), al-Majmū‘ (3/289), dan al-Istidzkār (1/444). 
  21. 411). Kalimat ini tidak ada dalam naskah yang dicetak. Adapun dalam manuskrip “Z” tertulis: “Al-Wazīr berkata – semoga Allah memberi kekuatan kepadanya.” 
  22. 412). Ini merupakan penjelasan dari Ibnu Ḥubairah untuk menghilangkan salah sangka berkenaan dengan perkataan Imām Aḥmad r.h. Lih. al-Majmū‘ (3/289), al-Mughnī (1/557), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/39). 
  23. 413). Dalam manuskrip “Z” tertulis: “Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Ia bukan ayat dari surah al-Fātiḥah dan bukan pula ayat dari setiap surah, tapi hanya bagian dari surah an-Naml.” Sedangkan dalam naskha yang dicetak tertulis: “Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Ia bukan ayat dari surah al-Fātiḥah dan bukan pula ayat dari setiap setiap surah, tapi merupakan ayat dalam surah an-Naml.” Bagian ini digabungkan dengan masalah sebelumnya dan bukan masalah yang independen. Masalah ini secara lengkap dapat ditemukan dalam manuskrip “C”. 
  24. 414). Dia adalah Abū Bakar Muḥmmad bin ‘Alī bin Ismā‘īl al-Qaffāl al-Kabīr asy-Syāsyī, salah seorang Imām kaum muslimin. Madzhab Syāfi‘ī tersebar luas di kawasan belakang sungai berkat jasanya. Di antara karya-karyanya adalah al-Ḥilyah, Adab-ul-Qudhāt, Maḥīsin-usy-Syarī‘ah. Dia wafat pada tahun 365 Hijriyyah. Lih. Thabaqāt-usy-Syāfi‘iyyah karya al-Isnawī (2/4). 
  25. 415). Lih. at-Taḥqīq (3/50), al-Majmū‘ (3/289), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/39). 
  26. 416). Lih. Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/38), at-Taḥqīq (3/59), al-Mudawwanah (1/186), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/234). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *