3-6-2 Tahapan Rintangan – Perut dan Penjagaannya | Minhaj-ul-Abidin

Dari Buku:

Minhajul ‘Abidin
Oleh: Imam al-Ghazali

Penerjemah: Moh. Syamsi Hasan
Penerbit: Penerbit Amalia Surabaya

Rangkaian Pos: 003 Tahapan Rintangan - Minhaj-ul-Abidin

Jika anda bertanya, jelaskanlah kepada kami terlebih dahulu mengenai hukum makan yang haram dan syubhat, batasan-batasan, dan definisinya. Sebagai jawabannya, adalah bahwa dalam hal ini sesungguhnya telah kuterangkan dalam kitab Asrāru Mu‘āmalat-id-Dīn, dan aku jelaskan secara tersendiri dalam kitab Iyā’ ‘Ulūm-id-Dīn. Sedangkan dalam kitab Minhāj-ul-‘Ābidīn ini, aku ingin memberikan penjelasan singkat, yang sekiranya dapat dimengerti oleh orang-orang masih lemah dan baru yang mulai belajar. Sebab, maksud kitab ini adalah agar dapat diambil manfaat oleh orang yang baru mulai belajar dalam masalah ibadah dan dapat membantu orang yang menuntut ilmu.

Sebagian ulama mengatakan: “Apa saja yang anda yakini sebagai milik orang lain dan dilarang oleh agama, maka barang tersebut adalah nyata-nyata haram. Tetapi jika anda tidak berkeyakinan demikian, tetapi perkara itu dinamakan syubhat.”

Ulama lain ada yang mengatakan: “Perkara yang jelas haram adalah yang diyakini atau diduga kuat, sebagai perkara yang dilarang Allah. Sebab, kuatnya dugaan itu sama dengan keyakinan dalam sebagian besar hukum-hukum Allah. Sedangkan apabila dua tanda tersebut sama, sehingga timbul keraguan di hati, salah satunya tidak ada yang lebih unggul di hatimu, maka yang demikian itu disebut syubhat, mirip haram dan mirip halal. Jadi, perkara itu samar bagi anda. Menghindarkan diri dari hal-hal yang syubhat merupakan ketakwaan dan sikap kehati-hatian agar tidak terjatuh pada yang haram dan syubhat (wara‘).” Menurut hemat kami pendapat yang kedua inilah yang lebih utama.

Jika ada yang bertanya: “Bagaimana pendapat anda mengenai boleh diterima atau tidaknya pemberian hadiah dari sulthan, penguasa negeri pada zaman sekarang ini?”

Ketahuilah, bahwa dalam hal ini, ada beberapa pendapat. Sebagian ulama ada yang mengatakan: “Setiap perkara yang tidak diyakini keharamannya, maka orang yang diberi boleh menerimanya.

Sementara yang lain ada yang berpendapat: “Tidak boleh menerima harta yang tidak nyata-nyata halal. Sebab, sebagian besar pada zaman sekarang ini harta yang dimiliki para penguasa negeri adalah haram, dan yang halal sangat sedikit jumlahnya.”

Ada pula yang berpendapat: “Pemberian dari sulthan itu halal bagi orang kaya dan orang miskin, apabila yang menerima tidak menyakini bahwa harta tersebut haram. Karena tanggung jawabnya dipikul oleh orang yang memberi.”

Mereka yang berpendapat terakhir ini, mengemukakan alasan bahwa Rasūlullāh s.a.w. juga pernah menerima hadiah dari Muqauqis, raja Iskandariah. Selain itu, beliau juga pernah berhutang kepada orang Yahudi, padahal Allah s.w.t. telah berfirman bahwa mereka, orang-orang Yahudi itu banyak makam yang haram:

…. آكِلُوْنَ لِلسُّحْتِ

Artinya:

“…..banyak memakan yang haram....” (al-Mā’idah: 42).

Para ulama juga mengatakan: “Sekelompok sahabat ada yang mengalami hidup pada era penguasa zhalim. Namun mereka mau menerima hadiah dari raja-raja yang zhalim di masanya. Di antara para sahabat itu ialah Abū Hurairah, Ibnu ‘Abbās, Ibnu ‘Umar dan lainnya.”

Sementara ulama yang lain ada yang berpendapat: “Harta sulthan tidak ada yang halal sedikitpun bagi orang kaya atau orang miskin. Sebab, para sultan dan penguasa negeri itu benar-benar telah kita ketahui akan kezhalimannya. Dan secara umum (kebanyakan) hartanya adalah harta haram, maka hukumnya adalah menurut yang umum, maka menjauhinya menjadi sebuah keharusan.”

Sebagian ulama lainnya berpendapat: “Barang yang tidak diyakini keharamannya adalah halal bagi orang kafir, bukan bagi orang kaya, kecuali jika orang fakir itu benar-benar mengetahui bahwa harta yang diterima itu hasil curian atau dihasilkan melalui cara yang dimurkai oleh Allah. Jika demikian, maka orang fakir tidak boleh mengambil barang tersebut, kecuali jika ia hendak mengembalikan kepada pemiliknya. Dan tidak ada dosa bagi orang fakir mengambil sebagian dari harta para sulthan, karena sekalipun harta itu milik sulthan, tetapi ketika diberikan kepada orang fakir, maka tidak ada keraguan baginya untuk mengambil dan menerimanya.”

Apabila harta itu milik sulthan pribadi, baik dari harta fai’ (rampasan perang) atau hasil pajak atau potongan sepersepuluh, maka dalam hal ini, orang fakir itu mempunyai hak, begitu pula ahli ilmu.

‘Alī bin Abī Thālib berkata: “Setiap orang yang masuk Islam dan taat serta suka membaca al-Qur’ān, secara lahiriah ia memperoleh bagian dari harta Bait-ul-Māl (kas negara) sebesar dua ratus dirham setiap tahun. Menurut riwayat lain menyebutkan dua ratus dinar. Jika ia tidak mengambilnya di dunia, dapat mengambilnya kelak di akhirat. Dengan demikian, orang fakir dan ahli ilmu boleh mengambil hak mereka dari harta tersebut.

Mereka (para ulama) berkata: “Apabila harta tersebut bercampur dengan harta lain yang tidak dapat dipisahkan, atau harta itu harta hasil korupsi atau mengghasab yang tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya dan keturunannya, maka sultan tidak bisa bebas dari harta itu kecuali menyedekahkannya. Dan Allah tidak memerintahkan sultan untuk menyedekahkan harta itu kepada orang fakir, dan melarang orang fakir untuk menerimanya, atau Allah mengizinkan kepada orang fakir menerima sedekah, sementara harta itu harta haram. Jika demikian, orang fakir boleh menerima pemberian sulthan, tetapi jika barang pemberian itu benar-benar harta yang di-ghasab atau harta haram, maka ia tidak boleh menerimannya.

Hal itu, merupakan beberapa masalah yang tidak boleh difatwakan, kecuali dengan penjelasan mendetail. Adapun penjelasan lebih jelas dapat pembaca simak Kitāb-ul-alāli wal-arām dalam kitab Iyā’ ‘Ulūm-id-Dīn yang telah kami susun. Anda akan mendapatkan penjelasan yang lebih lengkap di sana, in syā’ Allāh.

Jika ditanyakan, bagaimana halnya dengan pemberian pelaku pasar yang dalam prakteknya sering sembrono dan penuh kelicikan. Begitu pula hadiah sebagai pelicin dari saudara-saudara kita? Apakah mesti ditolak, atau diteliti lebih dahulu?

Jawabnya adalah bahwa jika secara lahir telah kita ketahui bahwa si pemberi itu baik dan tidak terang-terangan berbuat maksiat, maka tidak dosa bagi anda untuk menerima pemberian sebagai penghubung (pelicin) dan hadiah itu, dan anda pun tidak perlu meneliti dan memeriksanya. Tidak perlu mengatakan: “Karena zaman telah rusak, dan kezhaliman sudah menjadi kebiasaan, maka kemungkinan besar orang ini termasuk di antaranya.” Sebab, yang demikian itu berburuk sangka terhadap sesama muslim, padahal berbaik sangka kepada kaum muslimin merupakan perintah agama.

Selanjutnya, ketahuilah bahwa masalah pokok dalam hal menerima pemberian semacam itu ada dua, yaitu pertama, di pandang dari hukum syara‘ dan zhahirnya hukum; kedua, hukum wara‘ dan hak-haknya.

Hukum syara‘ yaitu kebolehan mengambil pemberian orang yang lahirnya baik tanpa meneliti segala sesuatunya, kecuali jika apa yang diberikan itu barang hasil menggasab atau benar-benar barang haram.

Hukum wara‘, yaitu melarang seseorang menerima sesuatu pemberian sebelum diperiksa secara cermat hingga ia yakin pemberian itu tidak termasuk kategori syubhat. Tetapi, jika tidak yakin maka wajib menolak pemberian itu.

Kami telah meriwayatkan dari Abū Bakar Shiddīq r.a. bahwa seorang budak beliau pada suatu saat mengantarkan susu kepadanya, lalu beliau meminumnya. Setelah itu, sang budak berkata: “Biasanya setiap saya mengantar sesuatu untuk tuan, tuan senantiasa menanyakan dari mana saya mendapatkannya. Tetapi mengapa tuan tidak menanyakan tentang susu ini?” Abū Bakar berkata: “Bagaimana cerita tentang susu ini?” Budak itu menjawab: “Aku pernah memantrai seseorang pada zaman jahiliyah, lalu orang itu memberiku susu ini.” Mendengar jawaban itu, Abū Bakar memuntahkan susu yang telah diminumnya. Kemudian berdoa: “Ya Allah, inilah kemampuanku untuk melepaskannya, sementara susu yang masih tersisa di dalam ototku, maka ku serahkan kepada-Mu.”

Peristiwa tersebut, menunjukkan keharusan memeriksa apa yang hendak anda makan, jika memang anda orang yang menaruh perhatian terhadap kewara‘an dan haknya.

Jika anda berkata: “Seakan-akan terdapat pertentangan antara hukum wara‘ dengan hukum syara‘.” Ketahuilah, bahwa hukum syara‘ itu ditetapkan atas dasar untuk kemudahan dan kemurahan. Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w.:

Artinya:

بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَّةِ السَّمْحَةِ

Aku diutus membawa agama yang hanif dan mudah (toleran).

Sedangkan wara‘, ditetapkan atas dasar memperteguh dengan penuh kehati-hatian. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama: “Agama untuk orang yang bertaqwā, lebih sempit ketimbang menghitung sembilan puluh sembilan dengan jari.”

Dan ketahuilah bahwa wara‘ itu juga termasuk syara‘ dan keduanya menurut asalnya adalah satu. Tetapi, syara‘ mempunyai dua hukum: hukum jawāz (boleh) dan hukum afdhal (lebih utama) lagi lebih berhati-hati. Yang jawāz disebut hukum syara‘, sedangkan yang lebih utama lagi lebih berhati-hati disebut hukum wara‘. Jadi, walaupun keduanya berbeda, tetapi asalnya satu. Pahamilah keterangan ini dengan sebaik-baiknya, semoga kita memperoleh petunjuk kebenaran, in syā’ Allāh.

Seandainya anda bertanya: “Apabila diperbolehkan menyelidiki setiap apa yang datang kepada kita, maka rusak semua apa yang kita ambil di zaman sekarang ini dan sangat sulit menjadi orang yang wara‘, karena harus mempunyai bekal cukup untuk beribadah dan taat kepada Allah.

Ketahuilah, bahwa jalan menuju wara‘ memang begitu sulit. Orang yang bermaksud mencapainya harus kuat dan teguh menanggung kepayahan. Jika tidak, tidak akan sempurna wara‘nya. Oleh karena itu, banyak ahli wara‘ pada zaman dahulu pergi ke gunung Libanon dan sebagainya. Di sana, mereka cukup makan rumput dan buah-buahan yang tidak begitu lezat, namun bersih dari syubhat.

Barang siapa yang tinggi cita-citanya untuk mencapai derajat wara‘ yang luhur, maka ia harus berani menanggung kepayahan dan harus sabar dalam menanggung penderitaan, serta bersedia menempuh jalan para ahli wara‘, agar dapat mencapai derajat yang tinggi sebagaimana derajat mereka.

Adapun jika ia berada di tengah-tengah masyarakat, dan memakan makanan mereka, hendaklah berhati-hati, ibarat menghadapi bangkai, tidak akan memakannya, kecuali dalam keadaan terpaksa. Itupun hanya sekedar sebagai kekuatan untuk berbuat ketaatan. Dengan demikian, ia masuk dalam kategori hukum ‘udzur, dan dibolehkan mengambilnya meskipun asal barang itu syubhat. Karena, sesungguhnya Allah lebih berhak menerima ‘udzur.

Syaikh Ḥasan Bashrī mengatakan: “Pasar telah rusak, maka hendaklah anda membatasi pada badan makanan pokok saja. Sungguh telah sampai warta tentang Wahb bin al-Ward bahwa ia sengaja berlapar-lapar dalam waktu sehari, dua hari, atau tiga hari, lantas mengambil sepotong roti dan berkata: “Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa akau tidak kuat melakukan ibadah dan takwa, kalau kondisiku sangat lemah. Jika aku kuat tanpa makan roti, tentu aku tidak akan memakannya. Ya Allah, sekiranya terdapat unsur syubhat atau haram dalam roti ini, maka janganlah Engkau menyiksaku karenanya.” Lalu ia membasahi rotinya dengan air dan memakannya.”

Aku berkata, kalau kedua jalan yang begitu halus dan tinggi itu – yaitu menanggung kepayahan dan sabar dalam penderitaan – merupakan jalan yang berlaku bagi golongan yang telah mencapai derajat tinggi dalam hal wara‘, menurut yang ku ketahui. Adapun bagi orang-orang yang belum mencapai derajat tinggi, maka berhati-hati dan meneliti sesuai dengan kadar kemampuannya. Mereka juga memperoleh bagian wara‘, sesuai dengan kehati-hatian dan ketelitian mereka. Sesungguhnya menurut kadar kepayahan anda, anda akan mencapai apa yang anda cita-citakan. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang membaguskan amal perbuatannya. Dia Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *