1-3 Kewajiban Mempelajari Ushuluddin – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Kewajiban Mempelajari Ilmu Ushūluddīn.

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ بَعْدُ فَالْعِلْمُ بِأَصْلِ الدِّيْنِ مُحَتَّمٌ يَحْتَاجُ لِلتَّبْيِيْنِ
لكِنْ مِنَ التَّطْوِيْلِ كَلَّتِ الْهِمَمْ فَصَارَ فِيْهِ الْاِخْتِصَارُ مُلْتَزَمْ

Adapun sesudah itu, maka ilmu tentang pokok-pokok agama

Hukumnya wajib dan membutuhkan penjelasan”

“Akan tetapi, panjangnya (penjelasan) membuat penat orang

Yang bercita-cita, maka meringkasnya menjadi sesuatu yang diharuskan.

Setelah membaca basmalah, shalawat, dan salam kepada Nabi Muḥammad s.a.w., Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelaskan bahwa mengetahui pokok-pokok agama hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Ilmu ini butuh untuk dijelaskan, jika dijelaskan secara panjang lebar, orang-orang awam akan sulit mempelajarinya. Oleh karena itu, wajib menjelaskan secara ringkas agar memudahkan orang yang mempelajarinya.

 

Penjelasan.

Mempelajari ilmu ushūluddīn (ilmu tauhid dan aqidah) hukumnya wajib. Adapun ilmu yang wajib dipelajari ada tiga:

  1. Ilmu Tauhid yang telah ditetapkan oleh para ulama Ahl-us-Sunnah wal-Jama‘ah.
  2. Ilmu Fiqih, yaitu ilmu untuk membenarkan ibadah jasmani, seperti wudhu, shalat, dan puasa.
  3. Ilmu Tasawwuf, yaitu ilmu untuk membersihkan hati dari sifat-sifat madzmūmah (tercela) untuk dihiasi dengan sifat-sifat maḥmūdah (terpuji), sebagaimana telah dijelaskan dalam munjiyāt (sifat-sifat atau perbuatan yang menyelamatkan) dan muhlikāt (sifat-sifat atau perbuatan yang merusak).

Hal yang wajib diketahui oleh seorang mukallaf adalah 50 (lima puluh) akidah secara terperinci beserta dalilnya secara global saja, tidak wajib mengetahui dalilnya secara terperinci. Contohnya, jika engkau ditanya: “Apa bukti wujudnya Allah?” Engkau menjawab: “Bukti wujudnya Allah adalah adanya alam semesta ini, yakni langit dan bumi”. Sang penanya bertanya lagi: “Bagaimana caramu mengetahui bahwa adanya alam ini adalah bukti dari keberadaan dan kekuasaan Allah?” Engkau menjawab: “Saya tidak tahu caranya, saya hanya yakin bahwa alam ini ada yang menciptakan, dan yang menciptakan tiada lain adalah Allah s.w.t.” Jawaban seperti itu dinamakan dalīl ijmālī (dalil umum).

Orang awam cukup mengetahui dalīl ijmālī (dalil umum), tidak wajib mengetahui dalīl tafshīlī (dalil terperinci). Hal ini sebagaimana keterangan dalam kitab Umm-ul-Barāhīn, bahkan hukumnya haram (121) bagi orang awam yang tidak bisa nazhar dan tidak memiliki akal yang sempurna mempelajari semua burhān-ul-‘aqā’id, sebagaimana disebutkan dalam Syarḥi Umm-il-Barāhīn, kitāb mughīd. Juga hukumnya haram menurut pendapat yang mu‘tamad mempelajari kitab Umm-ul-Barāhīn bagi anak-anak yang akalnya belum sempurna. Hal ini karena untuk mempelajari kitab Umm-ul-Barāhīn perlu mengerti ilmu mantiq (logika) agar mengerti muqaddimah (132), kulliyyah (143), dan juz’iyyah (154), itu semua bukan pelajaran bagi anak kecil dan orang awam. Oleh karena itu, hukum mempelajarinya adalah fardhu kifāyah, maksudnya dalam satu daerah harus ada orang yang mampu menolak kaum syabīhah dan kaum mu‘tazilah.

Awal mula wajibnya mempelajari ilmu barāhīn (165) dan ilmu mantiq adalah sejak munculnya akidah-akidah orang ahli bid‘ah, yaitu setelah tahun 500 H. Ketika masa Nabi Muhammad s.a.w., akidah Islam masih sesuai dengan apa yang disebutkan dalam al-Qur’an dan sabda Nabi. Baru pada tahun 500 H. muncul beberapa golongan mu‘tazilah dan syabīhah. Hal ini telah diprediksi oleh Nabi dalam sabdanya:

اِفْتَرَقَتِ الْأُمَمُ السَّابِقَةُ عَلَى اثْنَينِ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُوْنَ ثَلَاثًا وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً، مِنْهُمْ فِرْقَةٌ وَاحِدَةٌ نَاجِيَةٌ وَ اثْنَانِ وَ سَبْعُوْنَ فِي النَّارِ.

Umat-umat terdahulu terpecah menjadi 72 golongan, kalian semua akan terpecah menjadi 73 golongan, dari 73 golongan tersebut hanya satu golongan yang selamat, adapun 72 golongan yang lain, semuanya masuk neraka.

Golongan yang selamat adalah yang sesuai dengan apa yang telah dijalankan oleh Rasūlullāh s.a.w. yaitu akidahnya Ahl-us-Sunnah wal-Jama‘ah Asy‘ariyyah dan Māturīdiyyah.

Dalam riwayat lain disebutkan:

سَتَفْرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً، النَّاجِيَةُ مِنْهَا فِرْقَةٌ.

Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, adapun yang selamat hanya satu golongan (yakni golongan Ahl-us-Sunnah wal-Jama‘ah).”

Di pembahasan selanjutnya in syā’ Allāh akan dijelaskan golongan yang dhalāl (tersesat) dan yang nājiyah (selamat).

Karena masalah ushūluddīn (tauhid dan aqidah) ini sangat membutuhkan penjelasan, maka Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelaskan secara ringkas agar bisa dipahami orang awam. Sebab, jika dibahas secara panjang lebar, tidak akan bisa dipahami oleh orang awam, karenanya wajib dibahas secara ringkas saja.

Catatan:


  1. 12). Allah berfirman: فَلَا تَضْرِبُوْا للهِ الْأَمْثَالَ.Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.” (an-Naḥl [16]: 74). Dalam kitab Umm-ul-Barāhīn ada banyak contoh yang tidak bisa difahami oleh orang-orang awam, seperti kalimat: بِأَنْ يَكُوْنَ ذَاتُهُ الْعَالِيَةُ جِرْمًا أَوْ يَكُوْنَ فِيْ جِهَّةٍ لِلْجِرْمِ.Seperti jika Dzāt Allah yang Maha Tinggi itu berupa jirm (sesuatu yang membutuhkan ruang kosong untuk bertempat) atau berada di arah-arahnya jirm.” Penjelasan seperti ini tidak boleh disampaikan kepada anak-anak yang belum sempurna akalnya. Apakah engkau belum tahu bahwa orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat (kalimah thayyibah): “lā ilāha illallāh”, sebelum mengucapkan lafazh “illallāh” hatinya harus meyakini mustahilnya ketiadaan tuhan dan memantapkan keyakinan adanya Allah, Tuhan Yang Esa? Jika tidak demikian, dia dihukumi kafir. Di bagian belakang in syā’ Allāh akan dijelaskan secara jelas tentang kalimah thayyibah. Bagaimana caranya meyakinkan anak-anak bahwa Allah tidak berupa jirm? Sedangkan jika meyakini bahwa Allah berupa jirm akan dihukum kafir. Anak-anak belum bisa berfikir sejauh itu. Inilah yang mendasari keharaman mempelajari kitab Umm-il-Barāhīn bagi anak-anak. Adapun bagi orang dewasa yang telah sempurna akalnya, wajib mempelajari kitab Umm-il-Barāhīn. (Sabīl ‘Abīd, hal. 27-29). 
  2. 13). Muqaddimah yang dimaksud di sini adalah premis, yakni kalimat atau proposisi yang dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dalam logika. Contoh: – Alam raya ini adalah sesuatu yang baru (Premis Minor/Muqaddimah Sughrā) – Segala sesuatu yang baru pasti memiliki pencipta (Premis Mayor/Muqaddimah Kubrā). – Alam raya ini ada yang menciptakan (Konklusi/Natījah). 
  3. 14). Al-Kull (General, umum, atau keseluruhan). Sedangkan Kulliyyah artinya menentukan hukum secara keseluruhan satu persatu. Contoh: – Tiap-tiap yang bernyawa pasti merasakan mati. – Tak satupun makhluk hidup kekal di dunia ini. 
  4. 15). Al-Juz’ī (particular, bagian). Sedangkan al-Juz’iyyah artinya menetapkan hukum atas sesuatu, secara tidak keseluruhan tetapi sebagian dari keseluruhan (diri). Contoh: – Sebagian pemuda Indonesia bekerja di luar negeri. – Tak semua pemuda Indonesia bekerja di luar negeri. (Syaikh ‘Abd-ur-Raḥmān al-Ahdharī, Sullam-ul-Munauraq, terj. HM. Fadhlil Sa‘id an-Nadwi, Surabaya: Al-Hidayah, 29). 
  5. 16). Barāhīn merupakan bentuk jama‘ dari kata burhān, yakni dalil yang tersusun dari beberapa muqaddimah yang rasional dan meyakinkan (Syaikh Muḥammad ad-Dasūqi, Ḥāsyiyah ad-Dasūqi al-Umm-ul-Barāhīn, Surabaya, al-Haramain, tth. hal 17). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *