001-0 Bagaimanakah Mendatangkan al-Bayan – Ar-Risalah Imam asy-Syafi’i

الرِّسَالَةُ
AR-RISALAH
(Panduan Lengkap Fikih dan Ushul Fikih)
Oleh: Imam asy-Syafi‘i

Penerjemah: Masturi Irham & Asmui Taman
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR

BAGAIMANA MENDATANGKAN AL-BAYĀN?

 

  1. Imām asy-Syāfi‘ī r.h. mengatakan: “Al-Bayān adalah sebuah nama yang menyeluruh atau memiliki pengertian yang kompleks, yang mencakup kaidah-kaidah dan memiliki banyak cabang.
  1. Di antara pengertian-pengertian yang mencakup berbagai kaidah dan memuat banyak cabang adalah bahwasanya al-Bayān atau kefasihan adalah penjelasan terhadap mukhathab atau orang yang mendapatkan pesan al-Qur’ān, yang diturunkan dengan bahasanya dan memiliki pengertian yang sederajat meskipun sebagian darinya bisa dikatakan memiliki pengertian yang lebih dibandingkan yang lain menurut orang yang tidak mengenal bahasa ‘Arab.”
  1. Imām asy-Syāfi‘ī r.h. mengatakan: “Totalitas perkara yang dijelaskan Allah kepada makhluk-Nya dalam kitab suci-Nya yang dianggap beribadah dengan membacanya dan berisi hukum-hukumNya dapat diketahui melalui beberapa dimensi.
  1. Salah satunya adalah penjelasan tekstual kepada makhluk-Nya seperti beberapa kewajiban yang mengharuskan umat manusia untuk mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji, berpuasa, diharamkannya perzinaan baik yang terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, meminum minuman keras, memakan bangkai, meminum darah dan mengonsumsi daging babi, dan menjelaskan bagaimana berwudhu’ serta berbagai perkara lainnya yang dijelaskan secara langsung dan transparan.
  1. Dimensi lainnya adalah penjelasan mengenai hukum-hukumnya yang harus dilaksanakan dan bagaimana pelaksanaannya yang dijelaskan melalui keterangan utusan-Nya seperti jumlah shalat dan zakat serta waktu pelaksanaannya, dan berbagai kewajiban lainnya yang disebutkan dalam Kitāb Suci-Nya.
  1. Dimensi lainnya adalah hukum atau ibadah yang dianjurkan Rasūlullāh untuk melaksanakannya dan tidak disebutkan secara tekstual. Dalam al-Qur’ān, Allah mengharuskan taat kepada Rasūlullāh dan berakhir pada keputusan hukum yang ditetapkan beliau; barang siapa menerima ketetapan hukum dari Rasūlullāh s.a.w., maka ia telah menerima kewajiban dari Allah.
  1. Dimensi lainnya dari perkara yang diwajibkan Allah kepada makhluk-Nya adalah yang mengharuskannya berijtihad dalam mendapatkannya dan ketaatan mereka diuji dalam ijtihad tersebut sebagaimana ketaatan mereka diuji pada kewajiban-kewajiban lainnya.
  1. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal-ihwalmu.” (Muḥammad: 31).
  1. Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (Āli ‘Imrān: 154).
  1. Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi[-Nya], maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (al-A‘rāf: 120).
  1. Imām asy-Syāfi‘ī r.h. mengatakan: “Kemudian Allah mengubah qiblat mereka ke arah Masjid-il-Ḥarām seraya berfirman kepada Nabi-Nya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke qiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid-il-Ḥarām. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (al-Baqarah: 144).
  1. Allah juga berfirman: “Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkahlah wajahmu ke Masjid-il-Ḥarām. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka.” (al-Baqarah: 150).
  1. Dalam ayat di atas, Allah menunjukkan arah Masjid-il-Ḥarām kepada mereka ketika mereka berada dalam posisi jauh darinya dengan cara berijtihad, di mana perintah dari kewajiban ini mereka dapatkan melalui logika atau akal pikiran yang mereka miliki sehingga dapat membedakan antara segala sesuatu dengan lawannya serta tanda-tanda yang dapat mereka kenali ketika berada jauh dari Masjid-il-Ḥarām, yang diperintahkan Allah menghadap ke sana.
  1. Allah berfirman: “Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.” (al-An‘ām: 97). Allah juga berfirman: “Dan Dia ciptakan tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (an-Naḥl: 16).
  1. Tanda-tanda yang berupa pegunungan, malam, dan siang merupakan nama-nama yang telah dikenal meskipun memiliki karakternya sendiri-sendiri. Begitu juga dengan matahari, rembulan, bintang-bintang yang diketahui waktu terbit dan tenggelamnya serta posisi-posisi planet lainnya.
  1. Allah mewajibkan kepada mereka untuk berijtihad dalam mencari arah qiblat melalui tanda-tanda sebagaimana yang telah aku kemukakan di atas. Dengan demikian, mereka tidak akan pernah tersesat dari kewajiban yang diperintahkan Allah kepada mereka selama mereka berijtihad dan Allah tidak membiarkan mereka mendirikan shalat ke arah mana saja yang mereka inginkan.
  1. Di samping itu, Allah menjelaskan kepada mereka tentang ketentuan dan ketetapan-Nya. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban).” (al-Qiyāmah: 36). Kata Suda dalam ayat ini mengandung pengertian sesuatu yang tidak mengandung perintah dan tidak pula larangan.
  1. Hal ini membuktikan bahwa tidak seorang pun selain Rasūlullāh s.a.w. berhak mengemukakan pendapatnya kecuali berdasarkan dalil sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam pembahasan ini, dalam pembahasan tentang keadilan, dan pembahasan tentang balasan orang yang berburu. Seseorang tidak boleh menyatakan sesuatu yang dianggapnya baik (tanpa dasar). Sebab perkataan terhadap sesuatu yang dianggap baik merupakan sesuatu yang mengada-ada dan belum pernah diajarkan sebelumnya.
  1. Karena itulah, Allah memerintahkan kepada mereka untuk mempersaksikan dengan orang yang memiliki sifat keadilan. Adil adalah apabila seseorang melakukan kebaikan karena taat kepada Allah. Mereka yang melakukan hal ini diharuskan untuk mengetahui jalan-jalan keadilan itu dan segala sesuatu yang menyimpang darinya (agar dapat menghindarinya).
  1. Masalah ini telah dijelaskan dalam pembahasannya. Aku telah merumuskannya dalam beberapa kalimat yang kuharapkan dapat menunjukkan pengertian yang dimaksudkan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *