Cabang Permasalahan – Perihal Perkara-perkara Yang Membatalkan Tayammum – Kifayat-ul-Akhyar (1)

KIFĀYAT-UL-AKHYĀR
(Kelengkapan Orang Shalih)
Oleh: Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhamamd al-Husaini

Bahagian Pertama
Penerjemah: K.H. Syarifuddin Anwar, K.H. Mishbah Mushthafa
Penerbit: BINA IMAN

Rangkaian Pos: 013 Perihal Perkara-perkara Yang Membatalkan Tayammum - Kifayat-ul-Akhyar

Cabang Permasalahan (1)

Ketahuilah, bahwa orang yang shalat dengan menggunakan tayammum di tempat yang biasanya tidak ada air tidak wajib mengqadha’. Baik orang tersebut seorang yang musafir maupun orang muqim. Jika dia berada di tempat yang biasanya ada air, maka wajib dia mengqadha’. Baik dia orang musafir maupun orang muqim. Demikian keterangan Imām Nawawī yang terdapat di dalam kitab Syaraḥ al-Muhadzdzab.

Masalah ini juga telah diterangkan oleh Imām Rāfi‘ī pada akhir bab tayammum, fasal mengqadha’ shalat dengan berbagai macam ‘udzur. Oleh karena itu, apa yang selama ini dibuat contoh oleh para Ulama mengenai tidak wajibnya mengqadha’ shalat waktu bepergian, berlaku juga, apa yang biasa terjadi pada waktu bepergian itu biasanya tidak ada air. Lain dengan di rumah, biasanya ada air. Hal yang demikian ini perlu sekali kamu ketahui, sebab masalah ini masalah penting dan bagus. Wallāhu a‘lam.

Ketahuilah, kata pengarang “Riddah” itu yang dimaksudkan ialah bahwa riddah (murtad) itu dapat membatalkan tayammum. Demikian itu yang shaḥīḥ dan masyhur.

Mengenai masalah tayammum dengan wudhu’ itu ada tiga wajah. Qaul yang shaḥīḥ, batal tayammumnya orang yang murtad, dan bukan wudhu’nya. Letak perbedaannya, tayammum itu hanya membuat kewenangan. Kalau orangnya murtad, kewenangan itu tidak akan terjadi. Lain dengan wudhu’, sebab wudhu’ itu boleh menghilangkan hadats. Jadi wudhu’ itu mempunyai kekuatan untuk melestarikan hukum berwudhu’. Oleh karena itulah, maka mandinya orang yang murtad tidak batal dengan sebab murtadnya, menurut qaul yang masyhur. Ada yang mengatakan: tayammum itu sama dengan wudhu’. Wallāhu a‘lam.

 

Berkata Syaikh Abū Syuja‘:

(وَ صَاحِبُ الْجَبَائِرِ يَمْسَحُ عَلَيْهَا، وَ يَتَيَمَّمُ وَ يُصَلِّيْ وَ لَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ إِنْ وَضَعَهَا عَلَى طُهْرٍ.).

[Orang yang mempunyai jabīrah, yakni pembalut pada anggota wudhu’nya, cukup mengusap pembalutnya itu dan bertayammum kemudian shalat. Dan tidak wajib mengulangi shalatnya, jika waktu meletakkan pembalut itu dia dalam keadaan suci].

Ketahuilah, pembalut jabīrah itu ada kalanya karena pecah tulang dan ada kalanya karena tulang yang meleset. Orang yang pecah tulangnya atau meleset tulangnya kadang-kadang memerlukan jabīrah (pembalut) dan kadang-kadang tidak memerlukan. Jika memang pembalutan itu diperlukan, karena khawatir mempengaruhi kesehatan badannya atau anggot badannya menurut apa yang telah diterangkan di muka mengenai masalah sakit, orang tersebut boleh meletakkan jabīrah (pembalut). Kemudian dilihat, jika pada waktu bersuci dia boleh melepaskan pembalut itu tanpa menimbulkan bahaya sebagaimana yang telah diterangkan di dalam bab sakit, maka dia wajib melepaskan pembalut itu dan wajib membasuh bagian yang tidak sakit dan membasuh bagian yang sakit jika dimungkinkan. Jika tidak, harus mengusap pembalut itu dengan tanah, jika tepat pada anggota tayammum.

Jika pembalut itu tidak boleh dilepaskan kecuali menimbulkan bahaya sebagaimana yang tersebut di dalam bab sakit, seperti khawatir hilangnya nyawa, atau hilangnya anggota tubuh atau manfaat dari anggota tubuh itu, atau khawatir timbul cacat yang buruk pada anggota yang kelihatan, maka orang itu tidak diharuskan melepaskan pembalut itu. Tetapi ada beberapa hal yang wajib ia kerjakan, antara lain yaitu:

  1. Wajib membasuh anggota yang sehat menurut madzhab yang kuat.
  2. Wajib membasuh apa saja yang dapat dibasuh, termasuk kulit-kulit yang ada di bawah pinggiran pembalut, dengan meletakkan kain yang telah dibasahi atau dengan memeras kain itu untuk membasuh tempat-tempat yang dapat dibasuh dengan air yang menetes dari kain yang dibasahi itu.
  3. Wajib mengusap pembalut iitu dengan air menurut qaul yang masyhur, sebagaimana yang telah diterangkan oleh pengarang.

Usapan itu untuk anggota yang sehat yang tertutup oleh pembalut. Dan wajib mengusap seluruh pembalut itu menurut qaul yang shaḥīḥ.

  1. Wajib tayammum selain mengusap pembalut, menurut qaul yang masyhur.

Kemudian jika orang itu sedang junub, menurut qaul yang masyhur, orang itu boleh memilih. Boleh mendahulukan membasuh anggota yang sehat dan boleh mendahulukan tayammum. Jika orang itu hanya mempunyai hadats kecil, menurut qaul yang shaḥīḥ, orang itu tidak boleh berpindah dari satu anggota kepada anggota yang lain sebelum sempurna sucinya (anggota yang mesti didahulukan). Jadi kalau pembalut itu ada di tangan misalnya, maka wajib mendahulukan tayammum daripada mengusap kepala. Jika pembalutnya ada di dua atau tiga tempat, maka tayammumnya hendaklah dikalikan, yakni tidak hanya sekali. Imām Nawawī berkata: Jika lukanya menyeluruh pada keempat anggota wudhu’, para Ulama madzhab Syāfi‘ī berkata: Cukup sekali tayammum untuk keempat anggota itu. Sebab dengan demikian, tertib anggota menjadi gugur dengan gugurnya kewajiban membasuh. Wallāhu a‘lam.

Kemudian, apa yang telah saya tuturkan di muka mengenai wajibnya membasuh anggota yang sehat dan mengusap pembalut serta wajib tayammum, itu dapat dianggap cukup setelah memenuhi dua syarat:

  1. Anggota sehat yang tertutup oleh pembalut harus anggota yang tidak dapat ditinggalkan untuk mengikat pembalut.
  2. Meletakkan pembalut harus dalam keadaan suci. Jika tidak, wajib mencopot dan mengulangi meletakkannya dalam keadaan suci jika boleh. Jika tidak boleh, pembalut itu dibiarkan dan wajib mengqadha’ shalat apabila sudah sembuh. Berkata Imām Nawawī di dalam kitab ar-Raudhah dengan mengikuti Imām Rāafi‘ī tanpa khilāf.

Adapun jika orang tersebut tidak memerlukan pembalut, tetapi takut dikenakan air, dia harus membasuh anggota yang sehat sedapat-dapatnya, dengan meletakkan kain yang dibasahi dengan perlahan-lahan dan menekan kain itu agar anggota yang sehat boleh mendapat basuhan dari air yang menetes. Dalam keadaan semacam ini, orang itu wajib tayammum tanpa khilāf, sebagaimana yang dikatakan oleh Imām Nawawī. Maksudnya agar tempat retaknya tulang tidak terkena cucian.

Tidak wajib mengusap tempat yang sakit dengan air. Walaupun orangnya tidak takut apa-apa. Demikian kata para Ulama Madzhab Syāfi‘ī. Kemudian jika orang itu bertayammum, sedangkan yang sakit itu ada pada anggota tayammum, maka wajib menjalankan (menyapukan) tanah di atas tempat yang sakit itu. Demikian juga kalau lukanya berlobang dan terbuka, dan orang boleh menjalankan (menyapukan) tanah di atas lukanya itu, dia pun wajib menjalankan (menyapukan) tanah di atas luka itu.

Ketahuilah, bahwa luka itu kadang-kadang perlu ditempeli dengan kain atau kapas dan lain sebagainya. Jika demikian, maka kain yang ditempelkan itu hukumnya sama dengan hukumnya pembalut dengan segala perinciannya. Dan kadang-kadang luka itu tidak perlu ditempel dengan kain. Jika demikian keadaannya, maka wajib membasuh anggota yang sehat dan bertayammum untuk kulit yang ada lukanya. Tidak wajib mengusap kulit yang luka dengan air dan tidak wajib memberi pembalut untuk diusap menurut apa yang dikatakan oleh Jumhur-ul-Ulama, yaitu qaul yang shaḥīḥ.

Kemudian, jika orang itu membasuh anggota yang sehat dan bertayammum karena retak tulang atau karena luka, serta mengusap pembalut yang menutupi, atau tidak ada yang menutup, dan dia sudah melakukan shalat fardhu, lalu datang shalat fardhu lain, orang tersebut tidak wajib mengulangi mandinya, jika waktu itu dia sedang junub, dan tidak wajib mengulangi wudhu’nya jika waktu itu dia hanya berhadats kecil, menurut qaul yang shaḥīḥ.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *