Shufi dan Hadits Dha’if dan Palsu – Tarekat dalam Timbangan Syariat

TAREKAT dalam Timbangan SYARIAT
Jawaban atas Kritik Salafi Wahabi

Penulis: Nur Hidayat Muhammad
 
Penerbit: Muara Progresif

SHŪFĪ DAN HADITS DHA‘ĪF DAN PALSU

 

Bukti yang sering diajukan untuk tuduhan ini adalah hadits-hadits yang tercantum dalam kitab Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn karya Ḥujjat-ul-Islām al-Ghazālī, Qūt-ul-Qulūb karya Abū Thālib al-Makkī, dan Ghunyat-uth-Thālibīn karya Syaikh ‘Abd-ul-Qādir al-Jilānī.

Kitab Iḥyā’ misalnya, menurut mereka kitab tersebut dijejali hadits-hadits yang batil, munkar, palsu dan lain-lain. Dan setelah itu, mereka berlindung di bawah nama ‘ulamā’ yang mengkritisi hadits-hadits kitab Iḥyā’. Dan di antara tuduhan yang khusus ditujukan kepada ketiga kitab tashawwuf di atas adalah pelegalisasian shalat raghā’ib oleh ketiga pengarangnya yang padahal hukum shalat tersebut telah difatwa-sesatkan oleh banyak ‘ulamā’ ahli hadits.

Sebelum lebih jauh, layak kami sampaikan, bahwa jajaran ‘ulamā’ hadits yang dalam memberikan raport atau status hadits dengan kriteria berat adalah al-Ḥāfizh Ibn-ul-Jauzī, Imām Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Imām adz-Dzahabī. Ketiga ‘ulamā’ tersebut meletakkan kaidah jarḥ dan ta‘dīl terhadap perawi hadits dianggap lebih ketat dan berat (tasydīd). Hal ini berbalik lurus dengan Imām al-Ḥākim, terutama dalam kitabnya, al-Mustadrak, dan muridnya, Imām Ibnu Ḥibbān, yang lebih lunak dan mudah men-shaḥīḥ-kan hadits. Dan keterangan ini dapat dijumpai dalam kitab-kitab mushthalah hadits.

Lebih lanjut kami sampaikan, bahwa mayoritas dari mereka yang menyoal hadits-hadits dalam kitab-kitab shūfī di atas adalah terbangun dari pendapat mereka yang antipati secara absolut terhadap hadits dha‘īf dalam masalah apapun. Padahal pendapat tersebut lemah bahkan syādz (menyendiri dari mayoritas ‘ulamā’). Sehingga tidak adil rasanya jika kemudian mereka menghakimi kitab-kitab tersebut sebelum membaca komentar ahli hadits terhadap kitab-kitab tersebut.

Yang sangat tidak bisa dimengerti adalah fitnah yang disebarkan Hartono Aḥmad Jā’iz dalam bukunya, Tashawwuf Besitan Iblis, yang menuduh shūfī menolak hadits shahih. Betapa mudahnya dia membuat-buat dusta murahan seperti itu.

Kembali ke pokok pembahasan. Menurut hemat kami, tuduhan seperti di atas, adalah klaim yang tidak tepat. Karena shūfī tidak demikian adanya. Mereka, di bidang syarī‘at maupun hadits, selalu merujuk kepada ahli syarī‘at dan ahli hadits yang teruji dan terakui. Selain itu, shūfī yang muncul dari kalangan ahli hadits jumlahnya juga sangat banyak. Bahkan di antaranya juga pengamal tarekat, seperti al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar al-Asqalānī, al-Ḥāfizh as-Suyūthī, Ibnu Ḥajar al-Haitamī, al-Daqīq-ul-‘Īd, ‘Abdullāh asy-Syarqāwī, dan lain-lain.

Sayyid Muḥammad ‘Alawī al-Mālikī mengatakan, mengamalkan hadits dha‘īf dalam fadhā’il-ul-amal adalah ijma‘ (konsensus ‘ulamā’), seperti yang diungkapkan oleh an-Nawawī dalam kitab-kitabnya, Abū Ḥanīfah, Muḥammad bin Idrīs asy-Syāfi‘ī, Aḥmad bin Ḥanbal, Ibn-ul-Mubārak, Sufyān ats-Tsaurī, Sufyān bin ‘Uyainah, al-‘Anbarī, al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar al-Asqalānī, al-Ḥāfizh Jalāl-ud-Dīn as-Suyūthī, Ibnu Shalāḥ, Ibnu Qayyim, dan lain-lain. (191).

Kami tidak menyangkal jika di beberapa kita shūfī tercantum hadits dha‘īf sebagai acuannya. Akan tetapi, selain karena ijma‘ ‘ulamā’ yang memperbolehkan mengamalkan hadits dha‘īf dalam fadhā’il, apakah layak kita menjustifikasi mereka adalah ‘ulamā’-‘ulamā’ yang dangkal ilmunya? Jika ada sebagian shūfī yang menggunakan hadits palsu sebagai pedoman ibadahnya, misalnya, maka bukankah kesalahan seperti itu bisa saja dilakukan oleh selain shūfī? Semuanya berhak diberi nasehat agar tidak sembarangan menggunakan hadits yang batil yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Al-Lukhnawī dalam al-Atsar-ul-Marfū‘ah mengatakan: “Allah menjadikan ucapan (maqāl) dalam tiap-tiap tempat (maqām) dan menjadikan seseorang yang ahli dalam setiap fann (ilmu).” Berapa banyak kritikus dari ahli hadits yang tidak paham masalah fiqhiyyah dan kaidah-kaidah ushul. Berapa banyak pula seorang ahli tafsir yang hebat akan tetapi tidak dapat membedakan antara mana hadits yang shaḥīḥ dan hadits yang dha‘īf dan mana pula hadits yang masyhur dan hadits yang palsu. Berapa banyak orang shūfī yang bergelut dengan ilmu ladunniyyah yang tidak punya kemampuan memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu lahiriah. Dan berapa banyak ‘ulamā’ yang ilmunya bak laut menguasai ilmu lahiriah akan tetapi sama sekali tidak dapat merasakan lautan ilmu ladunniyyah. Petapah mengatakan: “Yang punya rumah lebih paham isi-isinya daripada oleh lain.” (202).

Apa yang disampaikan al-Lukhnawī tersebut memberikan pemahaman bahwa hadits dapat diamalkan atau tidaknya adalah sesuai apa yang dikatakan seorang yang ahli di bidangnya. Dan karena tashawwuf terbangun dari pondasi syarī‘at, maka dalil-dalil yang dapat dibuat ḥujjah adala pendapat para ‘ulamā’ yang kredibel di bidangnya.

Sedangkan vonis tentang kitab Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn al-Ghazālī yang dipenuhi dengan hadits-hadits palsu dan lain-lain, maka tertolak dengan ucapan al-Ḥāfizh al-‘Irāqī, yakni ‘ulamā’ hadits terkenal dan merupakan guru dari al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar al-Asqalānī. Beliau berkata: “Iḥyā’ adalah termasuk kitab Islam yang paling agung untuk mengetahui tentang halal dan haram.” Beliau juga mengatakan bahwa orang yang menentang Iḥyā’ dengan alasan di dalamnya banyak memuat hadits dha‘īf adalah pernyataan gugur. Sebab, hadits dha‘īf dapat diamalkan dalam kapasitas fadhā’il. Dan memang sudah menjadi kebiasaan para ‘ulamā’ mutaqaddimīn (al-Ghazālī termasuk mutaqaddimīn) banyak mencantumkan hadits dha‘īf dalam kitab-kitabnya. Mereka tidak memberikan komentar status haditsnya, sampai datang Imām an-Nawawī dan mulai memilah mana yang dha‘īf dan tidak boleh dimasukkan dalam kitab fiqh. Beliau menambahkan, pernyataan bahwa dalam kitab Iḥyā’ banyak terdapat hadits maudhū‘ juga salah alamat. Sebab, hadits maudhu‘ dalam Iḥyā’ bisa dibilang sangat sedikit yang diriwayatkan dari orang lain atau mengikuti orang lain dengan shighat tidak pasti seperti menggunakan kata ruwiya minhu dan lain-lain. (213).

Imām an-Nawawī berkata: “Iḥyā’ hampir seperti al-Qur’ān”. Abū Muḥammad al-Kazirunī berkata: “Andai semua ilmu dihapus, pasti dapat dikeluarkan kembali dari Iḥyā’.”

Sedangkan masalah shalat raghā’ib dan hadits yang menjadi sumbernya adalah masalah khilāfiyyah. (224).

Catatan:

  1. 19). Sayyid Muḥammad ‘Alawī al-Mālikī, al-Manhal-ul-Lathīf (ttp; Darur rahmah al-Islamiyyah, tth), hal. 52-53.
  2. 20). ‘Abd-ul-Ḥayy al-Lukhnawī, al-Atsar-ul-Marfū‘ah (Surabaya: Haramain, tth), hal. 7 sampai akhir.
  3. 21). Ba‘dh-ul-‘Ulamā’, Ta‘rīfu Kitāb-il-Iḥyā’ (Surabaya: al-Hidayah, tth), juz I, hal. 32.
  4. 22). Sayyid ‘Alawī bin Aḥmad as-Saqqāf, Tarsyīh-ul-Mustafidīn (Surabaya: Haramain, tth), hal. 101.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *