Rahasia di Balik Tamyiz – Huruf-huruf Magis

Dari Buku:
Huruf-huruf Magis
(Judul Asli: Maniyyah al-Faqir al-Munjarid wa Sairah al-Murid al-Mutafarrid)
Oleh: Syaikh Abdul Qadir bin Ahmad al-Kuhaniy
Penerjemah: Diya' Uddin & Dahril Kamal
Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: 008 Rahasia-rahasia di Balik Isim-isim yang Dinashabkan - Huruf-huruf Magis

Rahasia di Balik Tamyīz

 

بَابُ التَّمْيِيْزِ

التَّمْيِيْزُ هُوَ الْاِسْمُ الْمَنْصُوْبُ الْمُفَسِّرُ لِمَا انْبَهَمَ مِنَ الذَّوَاتِ نَحْوُ قَوْلِكَ تَصَبَّبَ زَيْدٌ عَرَقًا وَ تَفَقَّأَ بَكْرٌ شَحْمًا وَ طَابَ مُحَمَّدٌ نَفْسًا وَ اشْتَرَيْتُ عِشْرِيْنَ غُلَامًا وَ مَلَكْتُ تِسْعِيْنَ نَعْجَةً وَ زَيْدٌ أَكْرَمُ مِنْكَ أَبًا وَ أَجْمَلُ مِنْكَ وَجْهًا وَ لَا يَكُوْنُ إِلَّا نَكِرَةً وَ لَا يَكُوْنُ إِلَّا بَعْدَ تَمَامِ الْكَلَامِ

Tamyīz adalah isim yang dibaca nashab yang menjelaskan kesamaran di antara beberapa dzāt (kebendaan), seperti ucapan anda: Tashabbaba zaidun ‘irqan, tafaqqa’a bakrun syahman, thāba Muḥammadun nafsan, isytaraitu ‘isyrīna ghulāman, malaktu tis‘īna na‘jatan, dan zaidun akramu minka aban wa ajmalu minka wajhan.

(Suatu isim) tidak bisa menjadi tamyīz kecuali berupa isim nakirah, dan tidak bisa (dibuat) kecuali setelah sempurnanya kalam.

Seorang ‘ārif bukanlah orang ‘ārif yang sebenarnya, sampai dia berhasil mencapai at-Tamyīz (membedakan) antara dua sifat berlawanan, yang dengannya terjadi penyingkapan (tajalli). Dia bisa membedakan antara sifat ke-Tuhan-an dan sifat kehambaan dalam satu penampakan wujud yang sama. Antara gejala ruhani dan manusiawi. Antara rasa indrawi dan rasa maknawi. Antara kemampuan (qudrat) dan kebijaksanaan (ḥikmah). Antara perintah dan penciptaan. Antara syari‘at dan hakikat. Antara fana’ dan baqā’. Antara kemabukan dan ketakmabukan.

Demikian juga setiap dua hal berlawanan lain yang ada dalam semesta kejadian yang di sana terjadi penyingkapan, antara sifat ke-Tuhan-an dan sifat kehambaan. Pemahaman ke-Tuhan-an terletak di kedalaman bathin. Sedang kehambaan terletak pada ekspresi penampakan zhahir.

Ini merupakan keajaiban-keajaiban dari rahasia-rahasia ke-Tuhan-an ketika menampak dalam perubahan-perubahan gerak kehambaan. Karena itu pengarang al-Ḥikam, Ibnu ‘Atha’illah menyatakan kekagumannya dengan berkata: “Mahasuci Dzat yang menutup rahasia ke-Khusus-an dengan tampakan ekspresi manusiawi, dan menampakkan keagungan sifat ke-Tuhan-an saat menampakkan sifat kehambaan.”

Al-Hallaj r.a. berkata: “Mahasuci Dzat yang sifat Nāsūt-Nya menampakkan rahasia kemegahan sifat Lāhūt-Nya yang tajam. Lalu Dia menampak dalam makhluk-Nya secara nyata dalam rupa pemakan dan peminum. Sehingga makhluk-Nya benar-benar mampu menyaksikan-Nya, bagaikan bertemunya kedipan bulu mata satu dengan bulu mata yang lain.”

Karena ketidakpahaman atas ucapan itu maka dia dibunuh oleh para pemegang aturan zhāhir. Para pencapai rasa bāthin juga setuju dengan mereka karena dia telah memasyhurkan rahasia ke-Tuhan-an. Padahal dia mengucapkannya sebagai suatu kebenaran.

Adapun sifat-sifat manusiawi, sifat-sifat ruhani menempatinya sebagaimana bertempatnya air pada kayu yang basah, dengan dinisbatkan pada jiwa. Manusiawi adalah tempat pembebanan aturan, dan ruhani adalah tempat pancaran pengetahuan. Manusiawi adalah tempat wujud kehambaan, dan ruhani adalah tempat menyaksikan sifat ke-Tuhan-an.

Ketika sifat-sifat ruhani menguasai sifat-sifat manusiawi dan melingkupinya, sebagaimana pelingkupan api terhadap benda yang dipanggang maka pelakunya menjadi ruhaniawan langit. Tandanya adalah jiwanya tidak tergerak selamanya, kecuali dalam cahaya-cahaya pengesaan Allah (tauḥīd) dan rahasia-rahasia pengasingan bathiniah (tafrīd).

Ketika sifat-sifat manusiawi menguasai sifat-sifat ruhani maka pelakunya menjadi penghuni bumi. Tandanya adalah gejolak jiwanya kebanyakan berkaitan dengan rasa-rasa wujud ciptaan, dan ucapannya selamanya berkaitan dengan kekhawatiran-kekhawatiran.

Mengenai rasa indriawi dan rasa maknawi, maka rasa indriawi adalah apa yang tampak bagi mata, yaitu rasa dari wadah-wadah perwujudan. Sedang rasa maknawi adalah apa yang tersingkap bagi mata hati, berupa rahasia-rahasia pemahaman makna. Maka, barang siapa berhenti pada rasa indriawi, berkaitan dengan wadah-wadah perwujudan, dia terhijab dari Allah. Dan orang yang terus berjalan, sampai menyaksikan rahasia-rahasia makna, dia adalah seorang ‘ārif billāh.

Dalam hal itu, at-Tustari r.a. berkata: “Jangan hanya memperhatikan wadah-wadah perwujudan, menceburlah di kedalaman samudera makna-makna. Barangkali kamu akan bisa melihat-Ku.” Dia juga berkata: “Ucapan-Ku di balik wadah-wadah perwujudan itu. Dan Aku, Sang Abadi dalam segala wadah perwujudan.”

Ketersembunyian pengertian makna-makna di dalam wadah-wadah perwujudan adalah sebagaimana ketersembunyian air di dalam bekuan es. Makna-makna adalah qadīm (dahulu), dan penampakan wadah-wadah perwujudan adalah ḥadīts (baru). Ketika pengertian makna-makna sudah tampak pada wujud-wujud indriawi maka semuanya menjadi qadīm.

Oleh karena itu, kepada orang yang mengucapkan “alḥamdulillāh” tanpa menambahkan “rabbil ‘ālamīn”, al-Junaid mengatakan: “Sempurnakan bacaanmu”. Maka orang itu mengulanginya sehingga “rabbil ‘ālamīn” diucapkan bersama “alḥamdulillāh.”

Kata al-Junaid: “Sempurnakan bacaanmu, wahai saudaraku. Karena sesuatu yagn ḥadīts ketika dibarengi sesuatu yang qadīm, maka yang ḥadīts akan lenyap dan yang tetap adalah yang qadīm.”

Adapun tentang sifat Maha Mampu (qudrat) dan Maha Bijaksana (ḥikmah), maka sifat qudrat, di antara sifatnya adalah tampak dan terlihat. Sedangkan hikmah, tertutup dan tersembunyi. Karena hikmah adalah keterkaitan sarana-sarana dan alasan-alasan, dengan wujud dan kejadian yang dinamainya. Ketika qudrat menjadi lantaran untuk menampakkan kejadian yang telah ditentukan kadarnya, maka hikmah membuatkan sarana-sarana dan alasan-alasan, agar rahasia tetap terjaga dan simpanan tetap terpendam.

Hikmah adalah apa yang dinamakan ulama dengan usaha (kasb) dan mengusahakan (iktisāb), menurut paham Ahlus Sunnah. Sedangkan kaum Jabariyah berhenti pada sifat qudrat, tanpa memperhatikan hikmah. Ini merupakan sebuah kebodohan dan penentangan. Dan, kaum Mu‘tazilah berhenti pada hikmah, tanpa meneruskan sampai menyaksikan qudrat. Ini merupakan kesyirikan atau kekufuran.

Kaum Ahlus Sunnah memperhatikan operasional sifat qudrat, diselimuti selendang sifat hikmah, dan hikmah merupakan kesempurnaan itu sendiri. Hanya saja hikmah menurut kaum sufi lebih luas jangkauannya dibanding kasb menurut pemegang aturan zhāhir. Dan, tidak akan mampu menguraikan antara sifat qudrat dan hikmah, kecuali orang yang telah mencapai syuhūd dan ‘iyān.

Adapun tentang penciptaan (khalq) dan perintah (amar), maka khalq merupakan ungkapan dari penciptaan segala sesuatu secara bertahap sesuai tuntutan hikmah. Hanya saja amar tidak terlepas dari khalq, kecuali dalam mukjizat bagi nabi atau karamah bagi wali, sebagaimana tidak terlepasnya qudrat dari hikmah. Karena dunia khalq termasuk kelompok hikmah, yang dengannya terjadi penyembunyian atas rahasia sifat qudrat.

Adapun tentang syari‘at dan hakikat, maka syari‘at adalah sopan santun perilaku zhāhir, dan hakikat adalah sopan santun perilaku bāthin. Syari‘at merupakan penutup bagi hakikat, sebagaimana hikmah bagi qudrat. Bahkan dia termasuk kelompok hikmah.

Adapun fanā’ adalah kehilangan diri dari merasakan sentuhan wujud ciptaan, karena menyaksikan pengertian makna-makna. Sementara baqā’ adalah menyaksikan keduanya secara bersama-sama. Maka seorang pencapai baqā’ mampu memberikan hak yang tepat bagi masing-masing pemilik hak, dan memberikan bagian yang tepat bagi masing-masing yang layak mendapat bagian.

Wallāhu ta‘ālā a‘lam.

Seorang pencapai tamyīz adalah orang yang mampu menjelaskan kesamaran dari entitas-entitas wujud, bersama pengertian-pengertian makna. Dia bisa membedakan antara keduanya, dan menjaga hak masing-masing pihak dari keduanya.

Wa billāh-it-taufīq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *