6-4 Rahasia di Balik ‘Amil-‘amil Mubtada’ dan Khabar – Huruf-huruf Magis

Dari Buku:
Huruf-huruf Magis
(Judul Asli: Maniyyah al-Faqir al-Munjarid wa Sairah al-Murid al-Mutafarrid)
Oleh: Syaikh Abdul Qadir bin Ahmad al-Kuhaniy
Penerjemah: Diya' Uddin & Dahril Kamal
Penerbit: Pustaka Pesantren

Rangkaian Pos: 006 Rahasia-rahasia di Balik Isim-isim yang Di-rafa'kan - Huruf-huruf Magis

Rahasia di Balik ‘Āmil-‘āmil yang Masuk pada Mubtadā’ dan Khabar

بَابُ الْعَوَامِلِ الدَّاخِلَةِ عَلَى الْمُبْتَدَأِ وَ الْخَبَرِ

وَهِيَ ثَلاَثَةُ أَشْيَاءَ كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا وَ إِنَّ وَ أَخَوَاتُهَا وَ ظَنَنْتُ وَ أَخَوَاتُهَا

فَأَمَّا كَانَ وَ أَخَوَاتُهَا فَإِنَّهَا تَرْفَعُ الْاِسْمَ وَ تَنْصِبُ الْخَبَرَ وَ هِيَ كَانَ وَ أَمْسَى وَ أَصْبَحَ وَ أَضْحَى وَ ظَلَّ وَ بَاتَ وَ صَارَ وَ لَيْسَ وَ مَا زَالَ وَ مَا انْفَكَّ وَ مَا فَتِئَ وَ مَا بَرِحَ وَ مَا دَامَ وَ مَا تَصَرَّفَ مِنْهَا نَحْوُ كَانَ وَ يَكُوْنُ وَ كُنْ وَ أَصْبَحَ وَ يُصْبِحُ وَ أَصْبِحْ تَقُوْلُ كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا وَ لَيْسَ عَمْرٌو شَاخِصًا وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ

وَ أَمَّا إِنَّ وَ أَخَوَاتِهَا فَإِنَّهَا تَنْصِبُ الاِسْمَ وَ تَرْفَعُ الْخَبَرَ

وَ هِيَ إِنَّ وَ أَنَّ وَ لكِنَّ وَ كَأَنَّ وَ لَيْتَ و لَعَلَّ تَقُوْلُ إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ وَ لَيْتَ عَمْرًا شَاخِصٌ وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ وَ مَعْنى إِنَّ وَ أَنَّ لِلتَّوْكِيْدِ وَ لكِنَّ لِلاِسْتِدْرَاكِ وَ كَأَنَّ لِلتَّشْبِيْهِ وَ لَيْتَ لِلتَّمَنِّي وَ لَعَلَّ للتَّرَجِّيْ وَ التَّوَقُّعِ

وَ أَمَّا ظَنَنْتُ وَ أَخَوَاتُهَا فَإِنَّهَا تُنْصِبُ الْمُبْتَدَأَ وَ الْخَبَرَ عَلى أَنَّهُمَا مَفْعُوْلَانِ لَهَا وَ هِيَ ظَنَنْتُ وَ حَسِبْتُ وَ خِلْتُ وَ زَعَمْتُ وَ رَأَيْتُ وَ عَلِمْتُ وَ وَجَدْتُ وَ اتَّخَذْتُ وَ جَعَلْتُ وَ سَمِعْتُ تَقُولُ ظَنَنْتُ زَيْدًا مُنْطَلِقًا وَ خِلْتُ عَمْرًا شَاخِصًا وَ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ

‘Āmil-‘āmil yang masuk pada mubtadā’ dan khabar ada tiga: kāna dan lafazh-lafazh sejenisnya, inna dan lafazh-lafazh sejenisnya, serta zhanna dan lafazh-lafazh sejenisnya.

Kāna dan lafazh-lafazh sejenisnya berpengaruh me-rafa‘-kan isim dan me-nashab-kan khabar, yaitu kāna, amsa, ashbaāa, adhāā, zhalla, bāta, shāra, laisa, mā zāla, mā infakka, mā fati’a, mā bariḥa, mā dāma, dan lafazh-lafazh yang ter-tashrīf (derivasi) dari lafazh-lafazh ini, seperti kāna-yakūnu-kun dan ashbaḥa-yushbiḥu-asbiḥ. Anda katakan: Kāna zaidun qā’imun dan laisa amru syākhishan. Dan contoh-contoh yang menyerupai itu.

Inna dan lafazh-lafazh sejenisnya berpengaruh me-nashab-kan isim dan me-rafa‘-kan khabar. Yaitu, inna, anna, lākinna, ka’anna, laita, dan la‘alla. Anda katakan: Inna zaidan qā’imun, laita ʻamran syākhishun, dan contoh-contoh sejenisnya.

Inna dan anna bermakna untuk mengukuhkan (taukīd). Ka’anna untuk mempersamakan (tasybīh). Lākinna untuk menyusul, meralat (istidrāk). Laita untuk mengharapkan sesuatu yang sangat sulit, bahkan mustahil (tamanni). Sementara la‘alla untuk mengharapkan sesuatu yang wajar (tarajjī) dan mencemaskan sesuatu yang tidak diharapkan (tawaqqu‘).

Zhanna dan lafazh-lafazh sejenisnya, berpengaruh me-nashab-kan mubtadā’ dan khabar sekaligus, dengan menjadikan keduanya sebagai maf‘ūl baginya, yaitu zhanantu, ḥasibtu, khiltu, ‘alimtu, za‘amtu, ra’aitu, wajadtu, ittakhadztu, ja‘altu, dan sami‘tu. Anda katakan: Zhanantu zaidan munthaliqan; khiltu ʻamran syākhishan, dan contoh yang sejenisnya.

‘Āmil-‘āmil yang menghapus fungsi ibtidā’ (nawasikh-ul-ibtida’) mengisyaratkan pada hal-hal yang mempengaruhi hukum-hukum esensial, berkaitan dengan Sang Dzat yang bersifat qadim yang merupakan permulaan dan puncak dari segala sesuatu.

Naskh (penghapusan) juga terjadi pada hukum-hukum syari‘at. Maksudnya, pembatasan pelaksanaan suatu hukum sampai batas waktu tertentu. Kemudian Allah memperbaruinya dengan hukum-hukum yang lain, sesuai iradat Allah terdahulu. Proses naskh terjadi dalam syari‘at-syari‘at antarkelompok-kelompok umat. Dan dalam syari‘at yang satu, bisa terjadi sebagian aturan meralat yang lain, sebagaimana telah ditetapkan dalam tempatnya.

Naskh juga terjadi dalam keputusan-keputusan yang tampak menuju alam kenyataan. Prosesnya, Allah ta’ala menampakkan bagi malaikat berbagai perkara dengan mengaitkannya pada sebab-sebab dan syarat-syarat. Bahwa perkara-perkara itu tidak bisa terjadi. Namun ketika Allah ta‘ala menghendaki terjadinya satu perkara, Dia memerintahkan malaikat yang diserahi untuk menampakkan perbuatan itu. Lalu Dia menampakkan hal lain yang bertentangan dengan keputusan semula. Hal ini agar makin jelaslah kekhususan mutlak-Nya mengenai pengetahuan sejati yang tidak terganti dan terubahkan. Yaitu, induk dan segala kitab (ummul kitāb). Dengan pengertian seperti ini, terjadilah proses naskh dalam rasa bahagia, celaka, panjang usia, dan ketentuan-ketentuan lain yang tampak dari otoritas al-Haqq.

Karena itulah sayyiduna Umar dan Ibnu Mas‘ud berdoa: “Ya Allah, bila Engkau telah memutuskan diri kami termasuk golongan orang-orang celaka, maka hapuslah (ketentuan diri) kami. Dan tentukanlah kami termasuk golongan orang-orang yang bahagia.

Adapun pengetahuan asal yang merupakan Sang Induk tidak bisa terganti dan terubahkan. Tidak benar adanya naskh dalam berita-beritanya. Karena ini tentu menimbulkan kebohongan atasnya.

Naskh juga terjadi dalam kilasan-kilasan karunia pemahaman hati-hati yang bening. Misalkan suatu perkara tampak terlihat dalam hati seorang wali. Lalu dia menginformasikan tentangnya. Tapi kemudian Allah ta‘ala me-naskh-nya dan menampakkan hal yang berlawanan dengannya. Maka hal itu tidaklah mencemarkan kewalian maupun derajatnya.

Pada bab ini, bahasa naskh diisyaratkan pada talwīn (keberubah-ubahan) al-Hadhrat-ul-azaliyyah dengan elastisitas cabang-cabang penciptaan.

Kāna mengisyaratkan pada: “Yang ada hanyalah Allah dan tidak ada satu pun bersama-Nya”, dari sisi tidak adanya penampakan kecil maupun penampakan besar yang eksis;

Adhḥā, ashbaḥa, dan amsā menunjukkan keberubah-ubahan cabang-cabang penciptaan, dengan perjalanan cakrawala, di waktu pagi, sore, dan dhuha;

Bāta dan zhalla menunjukkan keberubah-ubahannya dengan perjalanan siang dan malam;

Shāra menunjuk pada keberubah-ubahannya dengan kejelasan nyata dan ketersembunyian;

Laisa menunjukkan kesucian, ketidakterbandingan-Nya. Sebagaimana firman Allah ta‘ala: Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. (asy-Syura [42]: 11).

Mā zāla dan lafazh-lafazh sejenisnya, menunjukkan bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan hilang. Tidak pula berubah dari segala yang ada pada-Nya. Berubah bagi Allah ta‘ala merupakan kemustahilan;

Dāma menunjukkan pada keabadian sifat ke-Tuhan-an-Nya. Dialah Sang Pemula segala sesuatu dan merupakan pokok penampakan wujudnya. Pe-rafa‘-an fi‘il-fi‘il ini kepada Sang Isim serta petunjuknya pada keberubah-ubahan atsar dan pergantian-pergantian fase-fase, menunjukkan keagungan Sang Maha Tunggal, Maha Perkasa;

Me-nashab-kan khabar yang merupakan pengungkapan dari atsar karena berlakunya hukum-hukum, tatanan, ketentuan dari Sang Tunggal, Sang Perkasa.

Inna dan lafazh-lafazh sejenisnya mengisyaratkan pada keadaan-keadaan, perilaku makhluk yang tampak dari Hadhrat-ul-Haqq. Itu adalah apa yang muncul, tampak baginya, berupa pengukuhan hal-hal yang ada dan kemantapan atasnya, untuk mencapai buah-buah hasilnya, baik dalam urusan keagamaan maupun keduniawian. Karena hal-hal tersebut tidak tercapai kecuali dengan kemantapan dan keseriusan. Dan, akan ada pembahasan mengenai hal ini dalam Bab Taukid.

Inna dan lafazh-lafazh sejenisnya juga mengisyaratkan pada apa yang tersusun dan tersimpul dengannya, yaitu harapan, kecemasan impian, serta harapan kosong. Dan, Allah ta‘ala benar-benar melarangnya. Dia berfirman: “Janganlah kalian memimpikan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian kalian melebihi yang lain.” (an-Nisa’ [4]: 32).

Sedang yang diperintahkan adalah yang sesuai dengan firman-Nya: “Mintalah kalian kepada Allah dari sebagian anugerah-Nya. Sungguh, Allah terhadap segala sesuatu adalah benar-benar mengetahui.” (an-Nisa’ [4]: 32)

Adapun zhanantu dan lafazh-lafazh sejenisnya mengisyaratkan pada keadaan-keadaan dan perilaku-perilaku hati makhluk. Karena di antara hati-hati ini, ada hati yang dimasuki keyakinan yang besar, timbul dari pencapaian syuhūd dan ‘iyān, yaitu maqam ‘ain-ul-yaqīn. Ini adalah maqam kaum ‘arifin yang menghunjam dalam pengetahuan mereka tentang Allah. Dan, tidak ada cara lain untuk mencapainya kecuali dengan bergaul dan berinteraksi dengan guru yang mendidik, masuk dan tekun di bawah naungan pengajarannya.

Di antara hati-hati ini ada hati yang dimasuki dugaan yang kuat dan unggul, yaitu hati para pemegang argumentasi dan pengungkapan dengan dalil. Suatu saat dalil begitu kuat meyakinkan mereka sehingga mereka menjadi mulia dengan mencapai ‘ain-ul-yaqīn. Pada saat yang lain ada kekhawatiran-kekhawatiran rendah mengganggu mereka sehingga bagi mereka tidak tersisa lagi selain dugaan yang kuat.

Dan, di antara mereka ada hati-hati dipermainkan oleh rasa ragu-ragu dan prasangka-prasangka. Sampai hati-hati itu mati dalam keragu-raguan.

Wal-‘iyādzu billāh.

 

Diceritakan dari ar-Razi bahwa saat mendekati kematian dia berdoa: “Ya Allah, berikan kami keimanan sebagaimana keimanan orang-orang yang lemah.”

Lalu Ibnu al-‘Arabi al-Hatimi berkirim surat kepadanya, mempertanyakan maksud doa tersebut. Dia menjawab: “Datanglah kepadaku. Aku akan memperkenalkan Allah kepadamu sebelum kamu mati sebagai orang yang bodoh, sehingga kamu mengingkari-Nya saat Dia menyingkapkan diri melalui makhluk-Nya.”

Sebagian ulama mengatakan: “Keimanan orang-orang yang pandai bahasa kata-kata seperti benang yang digantungkan di awang-awang, meliuk-meliuk mengikuti setiap hembasan angin.”

Memohon perlindungan hanya kepada Allah, dari segala fitnah dan buruknya cobaan.

Dan, tidaklah aku melihat seseorang yang berhasil mencapai keyakinan yang besar, yaitu ‘ain-ul-yaqīn yang timbul dari pencapaian syuhūd dan ‘iyān, dalam periode kita sekarang ini, selain sang guru dari guru kita, poros perputaran tebaran pendidikan garis kenabian. Tuanku al-‘Arabi ad-Darqawi al-Hasani dan guru kita al-Buzidi, serta sahabat-sahabat tertentu dari keduanya, radhiya Allāhu ‘anhum.

Adapun sisanya, semuanya tersekat dalam penjara perputaran gerak wujud semesta. Mereka menggunakan semua itu sebagai dalil untuk menemukan Pencipta kejadian. Suatu saat keyakinan mereka begitu kuat dan dalil mereka begitu cemerlang sehingga mereka berhasil mencapai ‘ilm-ul-yaqīn. Di saat lain keyakinan mereka melemah, berulang kali mereka dihampiri kekhawatiran-kekhawatiran rendah dan kerisauan-kerisauan setani. Maka yang berhasil mereka capai adalah dugaan yang kuat, baik dia seorang alim, orang yang saleh, seorang ahli ibadah, maupun zahid.

Wa billāh-it-taufīq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *