4-2 Tentang Iman Kepada Para Rasul – Jawahir-ul-Kalamiyyah (2/3)

JAWĀHIR-UL-KALĀMIYYAH
ILMU TAUḤĪD

(Diterjemahkan dari buku aslinya berbahasa
‘Arab Jawahir-ul-Kalimiyyah, karya Syaikh Thahir bin Shaleh al-Jaza’iri)
 
Penerjemah: Ustadz Ja‘far Amir
Penerbit: Raja Murah – Pekalongan

Rangkaian Pos: 004 Tentang Iman Kepada Para Rasūl - Jawarih-ul-Kalamiyyah

س: مَاذَا يَجِبُ لِلْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ؟

ج: يَجِبُ لِلْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ أَرْبَعُ صِفَاتٍ وَ هِيَ: الصِّدْقُ، وَ الْأَمَانَةُ، وَ التَّبْلِيْغُ، وَ الْفَطَانَةُ. وَ مَعْنَى الصِّدْقُ فِيْ حَقِّهِمْ: كَوْنُ خَبَرِهِمْ مُطَابِقًا لِلْوَاقِعِ وَ نَفْسِ الْأَمْرِ فَلَا يَصْدُرُ مِنْهُمْ كَذِبٌ أَصْلًا. وَ مَعْنَى الْأَمَانَةِ فِيْ حَقِّهِمْ: كَوْنُ ظَوَاهِرِهِمْ وَ بَوَاطِنِهِمْ مَحْفُوْظَةً مِنَ الْوُقُوْعِ فِيْمَا لَا يُرْضَى الْحَقِّ الَّذِي اصْطَفَاهُمْ عَلَى سَائِرِ الْخَلْقِ. وَ مَعْنَى التَّلِيْغِ: فَلَمْ يَكْتُمُوْا مِنْ ذلِكَ شَيْئًا. وَ مَعْنَى الْفَطَانَةِ كَوْنُهُمْ: أَكْمَلَ الْخَلْقِ فِي النَّبَاهَةِ وَ الْفَهْمِ.

Soal: Sifat apakah yang wajib dimiliki oleh para nabi a.s.?

Jawab: Ada empat sifat yang wajib dimiliki oleh para nabi a.s., yaitu:

  1. Shidiq (benar).
  2. Amānah (dipercaya).
  3. Tablīgh (menyampaikan).
  4. Fathānah (cerdik),

Arti shidiq bagi para nabi itu ialah, pengakuan bahwa ajarannya sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu, tidak mungkin timbul dari berita yang bohong dari mereka.

Arti amānah bagi para nabi ialah, keadaan lahir dan bathin mereka terpelihara dari hal yang tidak diridhai oleh Allah s.w.t. yang telah memilih mereka melebihi sekalian makhluk.

Arti tablīgh ialah, mereka selalu menyampaikan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dijelaskan kepada umat dengan penjelasan yang sebaik-baiknya. Dari itu, mereka tidak menyembunyikan sedikitpun apa yang diperintahkan oleh Allah.

Arti fathānah ialah, mereka merupakan makhluk yang paling sempurna dalam kecerdasan dan kepahaman tentang sesuatu.

س: مَا ذَا يَسْتَحِيْلُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ؟

ج: يَسْتَحِيْلُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ أَرْبَعُ صِفَاتٍ وَ هِيَ: الْكِذْبُ، وَ الْعِصْيَانُ، وَ الْكِتْمَانُ، وَ الْغَفْلَةُ. وَ كَذلِكَ يَسْتَحِيْلُ عَلَيْهِمْ كُلُّ صِفَاتٍ تُعَدُّ عِنْدَ النَّاسِ مِنَ الْعُيُوْبِ وَ إِنْ لَمْ تَكُنْ مِنَ الذُّنُوْبِ كَدَنَاءَةِ الْحِرْفَةِ أَوِ النَّسَبِ، أَوْ تَنَافِيْ حِكْمَةَ الْبِعْثَةِ كَالصَّمَمِ وَ الْبَكَمِ.

Soal: Sifat apakah yang mustahil bagi para nabi a.s.?

Jawab: Sifat-sifat yang mustahil dimiliki oleh para nabi a.s. itu ada empat, yaitu:

  1. Kadzib (dusta).
  2. ‘Ishyān (durhaka).
  3. Kitmān (menyembunyikan).
  4. Ghaflah (pelupa),

Begitu pula mustahil bagi para rasul memiliki sifat yang dianggap oleh manusia termasuk cela, sekalipun tidak tergolong dosa, seperti: mata pencaharian yang rendah, keturunan yang rendah, atau sifat-sifat yang menghilangkan hikmah diutusnya para nabi itu, seperti tuli, dan bisu.

س: إِذَا كَانَ الْعِصْيَانُ مُسْتَحِيْلًا فِيْ حَقِّ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ فَكَيْفَ أَكَلَ آدَمُ مِنَ الشَّجَرَةِ الَّتِيْ نُهِيَ عَنْهَا؟

ج: إِنَّ آدَمَ (ع) أَكَلَ مِنَ الشَّجَرَةِ الَّتِيْ نُهِيَ عَنْهَا بِطَرِيْقِ النِّسْيَانِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: (وَ لَقَدْ عَهِدْنَا إِلَى آدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنِسِيَ وَ لَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا) وَ النَّاسِيْ غَيْرُ عَاصٍ وَ لَا مُؤَاخِذٍ. وَ أَمَّا نِسْبَةُ الْعِصْيَانِ إِلَيْهِ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى: (وَ عَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَ هَدَى) فَلِصُدُوْرِ صُوْرَةِ الْمُخَالَفَةِ عَنْهُ بِنَاءً عَنِ النِّسْيَانِ النَّاشِئِ عَنِ عَدَمِ التَّحَفُّظِ التَّامِّ مِنْهُ. وَ الْمُخَالَفَةُ الَّتِيْ تَصْدُرُ نِسْيَانًا لَا تُعَدُّ فِيْ حَقِّ النَّاسِ عِصْيَانًا، وَ عُدَّتْ مَعْصِيَةً فِيْ حَقِّ آدَمَ نَظَرًا لِشَرَفِ وُتْبَتِهِ، وَ عِظَمِ مَنْزِلَتِهِ. وَ الْخَطَأُ الصَّغِيْرُ يُسْتَعْظَمُ مِنَ الْكَبِيْرِ. وَ أَمَّا مُؤَاخَذَةُ الْمَوْلَى سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى لِآدَمَ عَلَى ذلِكَ بِإِهْبَاطِهِ إِلَى هذِهِ الدِّيَارِ. وَ اعْتِرَافُ آدَمَ بِالذَّنْبِ وَ إِشْفَاقُهُ مِنْهُ وَ مُثَابَرَتُهُ عَلَى الْاِسْتِغْفَارِ فذلِكَ لِتَزْدَادَ دَرَجَتُهُ عُلُوًّا. وَ ثَوَابُهُ وَ أَجْرُهُ نُمُوًّا. وَ يُقَاسُ عَلَى ذلِكَ مَا يُنْسَبُ لِسَائِرِ الْأَنْبِيَاءِ مِنَ الذُّنُوْبِ وَ الْمَعَاصِيْ فَإِنَّهَا ذُنُوْبٌ بِالْإِضَافَةِ إِلَى عُلُوِّ مَنَاصِبِهِمْ وَ مَعَاصٍ بِالنِّسْبَةِ إِلَى كَمَالِ طَاعَتِهِمْ. لَا أَنَّهَا كَذُنُوْبِ غَيْرِهِمْ وَ مَعَاصِيْهِمْ لِأَنَّهَا صَادِرَةٌ مِنْهُمْ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ. إِمَّا عَلَى طَرِيْقِ التَّأَوَّلِ أَوْ عَلَى طَرِيْقِ السَّهْوِ وَ عَدَمِ التَّعَمُّدِ. وَ أَمَّا اعْتِرَافُهُمْ بِهَا وَ اسْتِغْفَارُهُمْ مِنْهَا فَلِزِيَادَةِ مَعْرِفَتِهِمْ بِمَوْلَاهُمْ وَ شِدَّةِ وَرَعِهِمْ وَ تَقْوَاهُمْ وَ لِيَزْدَادُوْا أَجْرًا وَ قُرْبَةً وَ عُلُوًّا فِي الدَّرَجَةِ وَ الرُّتْبَةِ.

Soal: Kalau sifat durhaka itu mustahil bagi para nabi a.s. maka bagaimanakah ketika nabi Ādam a.s. makan buah pohon yang terlarang?

Jawab: Sesungguhnya nabi Ādam a.s. makan buah pohon yang terlarang (khuldi) itu adalah karena lupa. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah kami perintahkan kepada Ādam a.s. sebelumnya kemudian ia lupa dan Aku tidak mendapati Ādam itu bersengaja.” (Thāhā: 15).

Dan orang yang lupa itu tidak bisa dikatakan durhaka dan tidak pula dikenal hukum. Adapun nabi Ādam a.s. dikatakan durhaka (‘ashā) dalam ayat: “Ādam durhaka kepada Tuhannya kemudian ia sesat, kemudian ia dipilih oleh Tuhannya, maka Ia menerima tobatnya dan memberi petunjuk.” (Thāhā: 121-122).

Yang demikian ini karena pelanggarannya dikarenakan lupa yang timbul dari penjagaan yang kurang sempurna, sedangkan pelanggaran tadi timbul karena lupa, tidak termasuk perbuatan durhaka. Namun bila dipandang dari segi kemuliaan martabat beliau serta besarnya kedudukan beliau itu, maka hal ini termasuk perbuatan durhaka bagi Ādam.

Memang, kesalahan kecil dianggap besar bila kesalahan itu timbul dari orang yang tinggi martabatnya. Adapun kebijaksaan Allah s.w.t. terhadap nabi Ādam dengan menurunkannya ke bumi, disertai pengakuan Ādam terhadap dosanya dan segera memohon ampun, maka yang demikian itu bertujuan meninggikan derajat beliau dan menambah pula pahalanya.

Dihukumi sama pula segala apa saja yang disandarkan kepada para nabi dari perbuatan yang dianggap dosa dan durhaka. Karena sesungguhnya perbuatan yang dianggap dosa itu hanyalah karena ditinjau dari segi tingginya martabat mereka. Dan tergolong durhaka bila didasarkan atas kesempurnaan ketaatan mereka itu. Bukan karena betul-betul dosa seperti dosa-dosa yang diperbuat oleh orang-orang selain para nabi. Karena kesemuanya itu timbul dari para nabi adakalanya dengan jalan penafsiran yang lebih sesuai dengan larangan itu atau karena lupa dan tidak disengaja.

Adapun pengakuan dan permohonan ampun kepada Tuhan mereka atas kesalahan itu adalah untuk menambah makrifat kepada Allah dan karena sifat jantan dan ketaqwaan mereka, dan agar berlipat pahalanya dan bertambah dekatnya kepada Tuhan sekaligus menambah ketinggian derajat dan martabat mereka itu.

س: مَاذَا يَجُوْزُ فِيْ حَقِّ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ

ج: يَجُوْزُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ وُقُوْعُ الْأَعْرَاضِ الْبَشَرِيَّةِ الَّتِيْ لَا تُؤَدِّيْ إِلَى نَقْصٍ فِيْ مَرَاتِبِهِمُ الْعَلِيَّةِ. كَالْأَكْلِ الشَّرْبِ وَ الْجُوْعِ وَ الْعَطْشِ وَ اعْتِرَاءِ الْحُرِّ وَ الْبَرَدِ وَ التَّعَبِ وَ الرَّاحَةِ وَ الْمَرَضِ وَ الصِّحَّةِ وَ مِثْلُ ذلِكَ التِّجَارَةُ وَ الْاِحْتِرَافُ بِحِرْفَةٍ مِنَ الْحِرَفِ الَّتِيْ لَيْسَتْ دَنِيْئَةً لِأَنَّهُمْ بَشَرٌ يَجُوْزُ عَلَيْهِمْ مَا يَجُوْزُ عَلَى الْبَشَرِ مِمَّا لَا تُؤَدِّيْ إِلَى نَقْصٍ.

Soal: Sifat apakah yang boleh dimiliki oleh para nabi a.s.?

Jawab: Para nabi a.s. boleh melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh manusia pada umumnya, yang tidak mengurangi ketinggian martabat mereka itu, seperti: makan, minum, haus, terasa panas dan dingin, merasa letih, senang, sakit dan sehat. Begitu juga berdagang dan berusaha dengan cara yang tidak hina. Karena sesungguhnya mereka boleh juga bersifat seperti manusia lainnya, asal tidak mengurangi martabat mereka sebagai nabi.

س: مَا الْحِكْمَةُ فِيْ لُحُوْقِ الْأَمْرَاضِ وَ الْآلَامِ بِالْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ؟

ج: الْحِكْمَةُ فِيْ لُحُوْقِ الْأَمْرَاضِ وَ الْآلَامِ بِالْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ مَعَ كَوْنِهِمْ خَيْرَ الْبَرِيَّةِ وَ كُوْنِ سَاحَتِهِمْ مِنَ الْعُيُوْنِ بَرِيَّةً أَنْ يَعْظُمَ أَجْرُهُمْ وَ يَظْهَرَ فِيْ طَاعَةِ اللهِ تَعَالَى ثَبَاتُهُمْ وَ صَبْرُهُمْ، وَ لِأَجْلِ أَنْ تَتَأَسَّى بِهِمُ النَّاسُ إِذَا حَلَّ بِهِمُ الْبَلَاءُ وَ الْيَأْسُ؛ وَ يَعْلَمُوْا أَنَّ الدُّنْيَا دَارُ بَلَاءٍ وَ امْتِحَانٍ لَا دَارُ إِكْرَامٍ وَ إِحْسَانٍ وَ لِئَلَّا يَعْتَقِدَ الْأُلُوْهِيَّةَ أَحَدٌ فِيْهِمْ إِذَا رَأَى الْمُعْجِزَاتِ الْبَاهِرَةَ تَظْهَرُ عَلَى أَيْدِيْهِمْ، وَ يَعْلَمُ أَنَّ ذلِكَ بِإِرَادَةِ اللهِ تَعَالَى وَ خَلْفِهِ، وَ أَنَّهُمْ وَ إِنْ عَظُمَ قَدْرُهُمْ وَ جَلَّ أَمْرُهُمْ، فَهُمْ عَبِيْدٌ عَاجِزُوْنَ عَنْ جَلْبِ النَّفْعِ وَ دَفْعِ الضَّرَرِ.

Soal: Apakah hikmahnya para nabi a.s. tertimpa sakit dan penderitaan?

Jawab: Para nabi dapat tertimpa sakit dan penderitaan meskipun mereka itu adalah sebaik-baik manusia dan terhindar dari berbagai cela, ialah agar supaya menjadi besar pahala mereka, dan tampaklah keteguhan dan kesabaran mereka dalam mentaati segala perintah Allah s.w.t. agar umat manusia bisa mengambil teladan bila tertimpa cobaan dan penderitaan. Dan mereka pun sadar bahwa dunia ini adalah tempat penderitaan dan cobaan, bukannya tempat kemuliaan dan kebaikan yang sebenar-benarnya.

Dan supaya tidak timbul anggapan bahwa nabi yang menerima mukjizat itu adalah Tuhan, dan mengetahui sesungguhnya hal itu terjadi semata-mata karena kehendak Allah dan karena diberikan oleh Allah. Dan sesungguhnya para nabi itu meskipun tinggi kedudukan mereka, tapi tetap mereka adalah sebagai hamba Allah yang lemah dan tidak mampu untuk mendatangkan kemanfaatan dan menolak kerusakan.

س: مَا خُلَاصَةُ مَا يَجِبُ أَنْ نَعْتَقِدَهُ فِي حَقِّ الْأَبْنَاءِ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ ؟

ج: نَعْتَقِدُ أَنَّ الْأَنْبِيَاءَ عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ مَوْصُوْفُوْنَ بِكُلِّ صِفَةٍ تَزِيْنُ، وَ مُبَرَّؤُنَ فِي الظَّاهِرِ وَ الْبَاطِنِ وَ الْفِعْلِ وَ الْقَوْلِ عَنْ كُلِّ أَمْرٍ يَشِيْنُ، وَ أَنَّهُمْ يَجُوْزُ أَنْ تَطْرَأَ عَلَيْهِمُ الْأَعْرَاضُ الْبَشَرِيَّةُ الَّتِيْ لَا تُؤَدِّيْ إِلَى نَقصٍ فِيْ مَرَاتِبِهِمُ العَلِيَّةِ، وَ أَنَّ اللهَ اصْطَفَاهُمْ عَلَى الْعَالَمِيْنَ وَ أَرْسَلَهُمْ إِلَيْهِمْ لِيَكُوْنُوْا بِأَوَامِرِهِ وَ أَحْكَامِهِ عَالِمِيْنَ وَ أَنَّهُمْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا فِيْ أَمْرِ الدِّيْنِ لِكَوْنِهِ أَصْلًا لِتَعَلُّقِهِ بِالْاعْتِمَادِ الَّذِيْ لَا يَقْبَلُ التَّعَدُّدَ وَ التَّحَوُّلَ أَصْلًا، وَ إِنَّمَا اخْتَلَفُوْا فِيْ بَعْضِ أَحْكَامِ الشِّرِيْعَةِ لِكَوْنِهَا فَرْعًا لِتَعَلُّقِهَا بِالْعَمَلِ الَّذِيْ تُوْجِبُ الْحِكْمَةُ اخْتِلَافُهُ بِاخْتِلَافِ الْأُمَمِ زَمَانًا وَ مَكَانًا، وَ حَالًا وَ طَبْعًا.

Soal: Bagaimanakah kesimpulannya tentang sifat yang mesti dimiliki oleh para nabi yang wajib kita yakini?”

Jawab: Dengan meyakini sesungguhnya para nabi a.s. itu mempunyai sifat dengan segala sifat keindahan dan bersih dari segala sifat yang menjadi cela, baik lahir maupun bathin, baik dalam perbuatan maupun perkataan. Dan sesungguhnya mereka itu boleh tertimpa rintangan kemanusiaan yang tidak menyebabkan berkurangnya ketinggian martabat mereka itu.

Sesungguhnya Allah memilih mereka melebihi manusia sealam, dan Dia mengutus para nabi kepada mereka agar mereka mengetahui perintah-perintah Allah dan hukum-hukumNya. Dan sesungguhnya mereka itu tidak berbeda-beda mengenai urusan agama, karena bagian ini merupakan bagian yang amat pokok, karena menyangkut i‘tiqad yang tak akan berbeda-beda dan berubah-ubah sama sekali. Perbedaan pada diri mereka hanyalah mengenai sebagian hukum syara‘, karena hal ini merupakan cabang dalam agama, lantaran berhubungan dengan ‘amal yang menurut kebijaksanaan berbeda karena berbedanya umat dan berlainan zaman, tempat, keadaan, maupun tabiat masing-masing umat.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *