2-6 Khaulah Binti Malik Bin Tsa’labah – Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah s.a.w.
(Judul Asli: Nisā’u Ḥaul-ar-Rasūl s.a.w.; al-Qudwat-ul-Ḥasanati wal-Uswat-uth-Thayyibah li Nisā’-il-Usrat-il-Muslimah).
Oleh: Muhammad Ibrahim Salim.

Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, Zahrul Fata
Penerbit: GEMA INSANI PRESS

Rangkaian Pos: 002 Wanita Muslimah Teladan Sebagai Istri | Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW

6. KHAULAH BINTI MĀLIK BIN TSA‘LABAH

Dia seorang sastrawati yang ulung sekaligus seorang muta‘abbidah “rajin beribadah” yang selalu mengadukan segala permasalahannya kepada Allah dan Rasūl-Nya.

Kisah perseteruannya dengan suaminya patut dikenang dan dijadikan pelajaran bagi para suami-istri bila terjadi perbedaan atau pertengkaran.

Tentang kisah tersebut, Khaulah berkata: “Demi Allah, karena saya dan Aus ibn-ush-Shāmit (suaminya), Allah s.w.t. menurunkan surah al-Mujādalah. Saat itu, saya adalah seorang istri dan seorang yang sudah lanjut usia (Aus ibn-ush-Shāmit), buruk perangainya dan menjemukan. Pada suatu hari, dia mengajakku berhubungan, namun saya menolaknya dengan beberapa alasan, tapi dia marah seraya berkata: “Bagiku kamu tak ubahnya seperti punggung ibuku.” Setelah itu, dia keluar rumah dan duduk sebentar bersama kaumnya di sebuah halaman lalu dia masuk lagi dan mengajakku lagi untuk berhubungan. Seketika itu juga saya berkata: “Tidak, demi Allah jangan coba-coba mendekatiku. Kamu telah mengeluarkan kata-kata itu. Biarkan Allah dan Rasūl-Nya yang menghukumi antara kita.”

Lebih lanjut Khaulah berkata: “Namun dia (suaminya) tetap bersikeras akan keinginannya sehingga ia berusaha mendekap saya tapi saya mengalahkannya sebagaimana layaknya seorang wanita muda mengalahkan orang yang sudah tua dan saya berhasil lari darinya sampai saya tiba di rumah Rasūlullāh s.a.w.. Di hadapan Rasūlullāh s.a.w., saya menceritakan apa yang terjadi antara saya dan suami saya.

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. menasihati saya: “Wahai Khaulah, anak pamanmu itu adalah orang tua, maka sabar dan bertaqwalah kepada Allah” Tidak lama setelah itu, turunlah ayat al-Qur’ān pada saat Rasūlullāh s.a.w. sedang berselimut untuk tidur. Rasūlullāh s.a.w. memanggil Khaulah: “Wahai Khaulah, sesungguhnya Allah telah menurunkan beberapa ayat al-Qur’ān karena kamu dan suamimu.” Lalu beliau membacakan kepada saya firman Allah dari ayat 1-4.

Rasūlullāh berkata kepada Khaulah: “Suruh suamimu untuk memerdekakan seorang budak.” Khaulah berkata: “Demi Allah, dia (suamiku) tidak mempunyai apa-apa untuk memerdekakan seorang budak.” Rasūlullāh berkata: “Kalau begitu, dia harus puasa dua bulan berturut-turut.” Khaulah menjawab: “Demi Allah, dia sudah tua dan tidak sanggup lagi untuk itu (puasa).” Rasūlullāh berkata: “Kalau begitu, dia harus memberi makanan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang mendapat satu wasaq kurma.” Khaulah menjawab: “Wahai Rasūlullāh, dia tidak mempunyai sedikit pun dan itu (kurma).” Rasūlullāh berkata: “Saya akan membantunya dengan setandan kurma.” Khaulah pun turut membantunya seraya berkata: “Dan saya akan membantunya dengan setandan lagi.” Rasūlullāh berkata: “Sesungguhnya kamu telah berbuat baik. Pergilah dan bersedekahlah dengan kurma tersebut atas nama dia. Bilang pada putra pamanmu untuk selalu berbuat baik.”

Itulah Khaulah dengan kisahnya yang harus dihayati oleh para suami-istri demi menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangga agar tidak terjadi keretakan khususnya bagi para pasangan yang usianya terpaut jauh antara suami dan istrinya.

Dikisahkan dalam suatu riwayat bahwasanya pada saat ‘Umar ibn-ul-Khaththāb mengendarai seekor keledai – pada masa pemerintahannya – ia berpapasan dengan Khaulah. Seketika itu juga Khaulah meminta ‘Umar berhenti dan menasihatinya. Melihat hal itu orang-orang di sekitar ‘Umar kaget seraya berkata: “Mengapa anda berhenti hanya karena seorang nenek yang tua ini?” ‘Umar menjawab: “Tahukah kalian siapakah orang tua ini? Dialah Khaulah binti Tsa‘labah. Allah telah mendengarkan perkataannya di atas langit ketujuh. Apakah ‘Umar tidak mendengarkan perkataannya pada saat Allah mendengarkan perkataannya.”

Dalam menghadapi problematika rumah tangga, Khaulah tidak mengambil jalan kekerasan dan tidak berpikir untuk bertindak brutal. Dia tahu bahwa yang demikian itu bukan etika Islam. Dengan bijaksana, dia memohon kepada Allah dan Rasūl-Nya dalam menghadapi tiap persoalan, karena keyakinanya bahwa hanya Allah Yang Maha Kuasa yang mampu memecahkan segalanya dan menjadikan kemudahan setelah kesulitan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *