2-2 Arti “Subhana” – Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW

Isra’ Mi‘raj Mu‘jizat Terbesar
Judul Asli: Al-Mu‘jizat-ul-Kubrā, al-Isrā’u wal-Mi‘rāj
Oleh: Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya‘rawi

Penerjemah: H. Salim Basyarahil
Penerbit: GEMA INSANI PRESS

2. Arti “Subḥāna”.

Dalam al-Qur’ān-ul-Karīm kata Subḥāna acapkali dipakai ketika menyebutkan sesuatu yang mempesona, luar biasa, dan merupakan kemu‘jizatan. Karena itulah ketika anda mendengarkan firman Allah s.w.t. hendaknya mengetahui bahwa ini merupakan pensucian terhadap Allah. Kerja yang telah dikerjakan-Nya tidak mungkin dikerjakan siapapun, selain oleh Allah ‘azza wa jalla.

Subḥāna adalah kata nama dan semua nama Allah. Subḥāna menandakan pada ketetapan yang berkesinambungan, seolah-olah Allah Maha Suci sebelum Dia menciptakan makhluk yang akan mensucikan-Nya.

Firman Allah s.w.t.:

سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا.

Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muḥammad) pada suatu malam…..” (QS. al-Isrā’: 1).

Dalam firman-Nya di atas, Allah benar-benar menginginkan kita mengetahui bahwa mu‘jizat Isrā’ dan Mi‘rāj tidak terjadi oleh kekuatan Muḥammad s.a.w. yang manusia. Karenanya surat tersebut dimulai dengan firman-Nya: Subḥānalladzī asrā…., yang artinya: “apapun yang akan terjadi sesudah itu dikaitkan pada kekuatan-Nya semata.”

Apabila saya mengatakan kepada anda bahwa saya hendak pergi dari Mesir ke Iskandaria dengan kereta api, dan tentu saya juga hendak pergi ke sana dengan pasawat terbang, dan teman saya lainnya juga hendak pergi ke sana dengan pesawat jet tentu hal ini ada perbedaannya. Perbuatan yang dilakukan saya dan kedua teman saya memang sama, hendak pergi ke Iskandaria. Akan tetapi kekuatannya berbeda-beda. Perjalanan saya dengan kereta api tentu memakan waktu berjam-jam, sedangkan teman saya bisa mencapainya hanya dalam waktu setengah jam karena menggunakan pesawat terbang. Terlebih-lebih teman saya yang satunya lagi. Dia pasti lebih cepat sampai ke Iskandaria karena menggunakan pesawat jet yang dapat mengantarkannya ke Iskandaria hanya dalam beberapa menit.

Dari contoh-contoh di atas kita dapat melihat bahwa perbuatan senantiasa sesuai dengan kekuatan pelakunya. Dengan demikian, jika Allah ta‘ālā berfirman: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya”, ini berarti perjalanan Isrā’ dan Mi‘rāj merupakan perbuatan Allah ta‘ālā yang berada di atas kekuatan akal untuk dipikirkan.

Karena itu seorang ‘Arab yang mempertanyakan dengan nada mengolok-olok dan penuh tanda hanya besar kepada Rasūlullāh s.a.w. setelah beliau menceritakan kisah Isrā’ dan Mi‘rāj, hal itu menandakan bahwa dia tidak memahami mu‘jizat.

Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah berkata: “Aku telah pergi ke sana”, akan tetapi beliau selalu mengatakan: “Aku telah diperjalankan ke sana.” Siapa yang memperjalankannya ke sana? Tentu saja Allah ta‘ālā yang melakukan semua itu. Karenanya, ketika kaum kafir Quraisy menasabkan mu‘jizat ‘Isrā’ pada kekuatan manusia, mereka lupa pada kekuatan Allah ta‘ālā. Mereka lupa bahwa Muḥammad tidak pernah mengatakan: “Saya telah Isrā’ ke Bait-ul-Maqdis.” Beliau selalu mengatakan bahwa dirinya di-isrā’-kan ke Bait-ul-Maqdis. Maka dari itulah, seyogianya kita memperhatikan benar kekuatan Pelaku dan kelakuan-Nya. Jangan membandingkan mu‘jizat dengan perbuatan dan kekuatan manusiawi kita.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *