Betapapun telah disampaikan kengerian hari kiamat yang mengisyaratkan berbagai bentuk ‘adzab terpedih, manusia tetap melawan dengan tabiat dan kecenderungannya kepada keburukan, disebabkan sifat keluh-kesah, kikir dan bakhil yang mengantarkan dirinya kepada kejahatan. Akan tetapi, meluruskan insting dan memperbaiki tabiat adalah tindakan yang bisa dilakukan. Sangat mungkin untuk melatih akhlak dan solusi berikut dengan hikmah dan perjuangan, serta di bawah naungan perhargaan terhadap nurani, demi keselamatan dari ketakutan-ketakutan yang melingkupi manusia di hari akhiratnya. Al-Qur’ān-ul-Karīm telah mengajarkan solusi bagi tabiat manusia dengan metode yang logis dan jelas, sebagaimana yang dijelaskan di dalam beberapa ayat berikut:
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا. إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ فِيْ أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ. لِّلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ. وَ الَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ. إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذلِكَ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ. أُولئِكَ فِيْ جَنَّاتٍ مُّكْرَمُوْنَ.
70: 19. Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.
70: 20. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh-kesah,
70: 21. dan apabila ia mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir,
70: 22. kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat,
70: 23. mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya,
70: 24. dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu,
70: 25. bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak meminta,
70: 26. dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan,
70: 27. dan orang-orang yang takut terhadap ‘adzab Tuhannya,
70: 28. Sesungguhnya terhadap ‘adzab Tuhan mereka, tidak ada seseorang merasa aman (dari kedatangannya),
70: 29. dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,
70: 30. kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
70: 31. Maka barang siapa mencari yang di luar itu (seperti zina, homoseks, dan lesbian), mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
70: 32. Dan orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya,
70: 33. dan orang-orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya,
70: 34. dan orang-orang yang memelihara shalatnya.
70: 35. Mereka itu dimuliakan di dalam surga.
(Al-Ma‘ārij [70]: 19-35)
Sesungguhnya manusia (kata jenis yang menunjukkan sifat umum) tercipta dengan sifat suka mengeluh, yaitu ambisi yang besar dan sedikit kesabaran. Apabila ia ditimpa keburukan, kefakiran atau penyakit misalnya, ia berkeluh-kesah, atau bersedih hati, atau mengaduh. Apabila ia ditimpa kebaikan, seperti kekayaan, jabatan, kehormatan, kekuatan, kesehatan dan lain sebagainya, maka ia bersikap bakhil dan kikir. Keluhan dalam ungkapan lain ialah: kekacauan dan goncangan yang menimpa seseorang ketika menghadapi ketakutan atau ketika dalam ketamakan. Imām Aḥmad dan Abū Dāūd meriwayatkan dari Abū Hurairah r.a. ia berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
شَرُّ مَا فِيْ رَجُلٍ: شُحٌّ هَالِعٌ وَ جُبْنٌ خَالِعٌ.
“Seburuk-buruk apa yang ada pada diri seseorang: sifat kikir yang menggelisahkan dan sifat pengecut yang menelanjangi.”
Kemudian Allah s.w.t. mengecualikan orang-orang yang memiliki sepuluh sifat, yaitu:
– Orang-orang tersebut disifati dengan sifat tercela, kecuali orang-orang yang mendirikan shalat, menjaga pelaksanaannya pada waktu-waktunya dan memenuhi kewajiban-kewajibannya, merekapun tetap setia menunaikan shalat. Dua sifat ini; mendirikan shalat dan konsisten dalam pelaksaanya, bisa membantu menghindarkan seseorang dari sifat mengeluh, keluh-kesah dan kikir. Artinya, sifat-sifat tersebut berkurang intensitasnya dari diri mereka, sebab mereka melawan diri sendiri dengan taqwa, dan mereka lebih mengutamakan akhirat daripada dunia.
– Orang-orang yang di dalam hartanya terdapat bagian tertentu yang diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan dan yang kekurangan, baik mereka meminta kepada orang lain ataupun menjaga kehormatan diri. Peminta-minta: seorang fakir yang menengadahkan tangan lalu ia mendapat pemberian. Yang tidak meminta: orang miskin yang menjaga kehormatan dirinya sehingga terhalang mendapatkan pemberian. Bagian tertentu: zakat fardhu menurut satu pendapat, menurut pendapat lain yang lebih shaḥīḥ adalah hak-hak lain selain zakat, yaitu berbagai bentuk santunan yang dianjurkan oleh syariat. Ibnu ‘Umar, Tsa‘labī, Mujāhid dan banyak ahli ilmu yang lain berkata: “Sesungguhnya di dalam harta terdapat hak lain selain zakat.”
– Orang-orang yang meyakini keberadaan hari kiamat, hari penghitungan amal dan hari pembalasan, meraka tidak meragukan dan tidak mengingkarinya. Mereka mengerjakan amalan layaknya amalan orang yang mengharapkan pahala dan takut akan hukuman. Hari kiamat disebut sebagai yaum-ud-dīn, sebab pada hari itu terjadi pembalasan amal, ad-dīn maknanya adalah balasan.
– Orang-orang yang takut akan ‘adzab Allah, ketika mereka meninggalkan kewajiban dan melakukan kemungkaran. Sehingga ‘adzab menimpa mereka kecuali karena ampunan dari Allah s.w.t.
– Orang-orang yang menjaga kemaluan mereka dari perkara haram, mereka mencegahnya untuk disalurkan kecuali pada apa yang diidzinkan oleh Allah s.w.t., yaitu istri dan budak perempuan yang dimiliki, ketika sistem perbudakan masih berlaku, sehingga tidak ada celaan untuk bersenang-senang dengan keduanya. Barang siapa mencari kesenangan pada selain dua jalur ini; pernikahan dan perbudakan, maka mereka telah melampaui batas, sewenang-wenang dan mengundang bahaya.
Firman Allah: “mereka tidak tercela.” Artinya mereka tidak tercela untuk melakukannya dengan istri dan budak perempuan. “Ibtaghā” yakni mencari. “Warā’a dzālika,” yakni selain apa yang telah disebutkan.
– Orang-orang yang menunaikan amanat yang dipercayakan kepada mereka, menunaikannya kepada pemiliknya, mereka juga memenuhi perjanjian, kesepakatan dan akad-akad yang telah disetujui. Mereka tidak melanggar akad jual beli dan apapun syarat yang telah disepakati. Apabila dipercaya mereka tidak berkhianat, apabila mengadakan perjanjian mereka tidak berdusta. Ketiganya adalah sifat kaum mu’minin, sedangkan kebalikannya adalah sifat kaum munafiq. Amanat: terkait dengan harta dan rahasia, juga terkait hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, meliputi perintah dan larangan yang Dia berlakukan atas dirinya. Ḥasan berkata: “Agama secara keseluruhan adalah amanat.” Janji: setiap apa yang mengikat seseorang berupa perkataan, perbuatan atau kasih-sayang. Bukhārī meriwayatkan di dalam kitab al-Adab: “Kebaikan janji adalah sebagian dari iman.” Kata “rā’ūn”, adalah bentuk jama‘ dari kata rā‘in, yakni orang yang menjaga.
– Orang-orang yang menunaikan kesaksian atas hak-hak atau persengketaan di ruang pengadilan secara haqq, mereka menunaikan kesaksian itu tanpa mengurangi dan menambah-nambah, tanpa berbasa-basi untuk kerabat ataupun orang yang jauh atau untuk pembesar, pejabat atau orang terhormat. Merekapun tidak menutup-nutupi dan tidak merubah kesaksian. Pelaksanaan kesaksian untuk hak-hak manusia tidak diberikan kecuali setelah ada permintaan terhadapnya, sedangkan kesaksian untuk hak-hak Allah seperti mencegah kemungkaran dan mengantisipasi penyimpangan maka dilaksanakan secara langsung tanpa menunggu permintaan.
– Orang-orang yang menjaga waktu-waktu shalat dan pelaksanaan shalat dengan rukun, perkara wajib dan perkara mandubnya. Mereka tidak menyibukkan diri dengan berbagai kesibukan darinya, tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan shalat usai menunaikannya, sehingga pahalanya menjadi batal dan hasilnya menjadi sia-sia. Mereka menunaikan shalat dengan penuh semangat dan kecintaan, mengosongkan hati dari berbagai kesibukan dunia, merenungkan ayat-ayat al-Qur’ān yang dibaca di dalam shalat, atau dzikir yang diulang-ulang seperti takbīr, tasbīḥ dan taḥmīd. Sehingga hati mereka hadir bersama Allah s.w.t., dan mereka merenungkan makna ayat-ayat Allah s.w.t.
Orang-orang yang disifati dengan sifat-sifat tersebut mendapat limpahan keni‘matan berupa surga keabadian. Mereka dimuliakan dengan berbagai bentuk kemuliaan dan hal-hal yang menyenangkan serta menggembirakan.
Balasan berupa hasil akhir yang mulia ini mendorong orang-orang yang disifati dengan sifat tersebut terhindar dari sifat mengeluh, keluh-kesah dan kikir.